TERANCAM 9

335 7 0
                                    

"Bagaimana kabarmu, Nak?"

Bunda Hanifah memeluk Zara penuh rindu. Semenjak putri asuh kesayangannya itu menikah, baru kali ini bisa bertemu lagi.

"Alhamdulillah, kabar Zara baik, Bunda."

Mereka langsung bercengkrama, karena Zara tidak ingin membuang waktu singkat yang diberikan Rashad.

Terharu Zara melihat betapa antusias anak-anak menyambutnya, bahkan Thomas ikut jadi sasaran serbuan karena membagikan bawaannya. Mereka begitu bahagia.

"Kak Zara, oleh-olehnya banyak sekali, ini semua untuk kami?" Gadis kecil berusia delapan tahun mendekap satu kantung plastik berisi makanan. Diikuti anak lain melakukan hal yang sama.

"Tentu saja, Sayang, itu semua untuk kalian." Zara tersenyum bahagia. Namun hanya sesaat, lengkungan di bibirnya hilang dalam sekejap.

Murung menggayut di wajahnya, pikiran berkecamuk teringat kalimat demi kalimat mengoyak hati dari seseorang yang sengaja mencegatnya di pintu keluar butik, sebelum tiba di panti asuhan ini.

Entah siapa pria tinggi kurus itu. Zara hanya mengingat beberapa deret kalimat yang membuat hatinya memerih, bagai ditancapi ribuan paku.

'Gundiknya Rash ternyata cantik!'

'Mungkin aku bisa mengambilmu sebagai gundik juga.'

'Berapa Rash membayarmu?'

Zara sekuat mungkin menahan cairan bening supaya tetap di muaranya. Ia tidak ingin merusak kebahagiaan dengan kesedihannya.

Semenjak tiba di panti asuhan dia terpaksa memasang topeng palsu yang namanya bahagia. Namun, topeng itu lepas, untung saja tidak disertai jebolnya air mata.

Netra tertuju pada bibir Bunda Hanifah yang sedang berceloteh seputar anak-anak. Namun, pikiran sang gadis entah ke mana, dan itu mengundang kernyitan di dahi pemilik panti asuhan.

Bahkan Bunda Hanifah berhenti bicara pun Zara masih memandang bibirnya, pertanda gadis itu sedari tadi memang tidak menyimak ucapannya. Tatapan itu kosong.

"Sayang!" Bunda Hanifah menyentuh lembut jemari Zara sampai terhenyak.

"I--iya, Bunda." Zara tergagap, jadi malu sendiri. Menunduk menatap jemarinya yang sedang ditangkup tangan Bunda Hanifah.

"Kamu baik-baik saja, Nak?"

"Iya, Bunda, Zara baik-baik saja." Gadis itu mati-matian bersikap biasa. Padahal hati kecilnya menjerit kencang.

"Yakin? Kamu sedang tidak bertengkar dengan suamimu, kan?" Bunda Hanifah kukuh dengan nalurinya yang mengatakan Zara sedang menyimpan beban. Dia jadi khawatir.

"Bunda tidak usah cemas, rumah tangga Zara sama Tuan Rash baik-baik saja. Sungguh."

Bunda Hanifah menghela napas. Ia tahu persis Zara tengah menutupi sesuatu, hanya saja dia tidak suka mendesak.

Bunda Hanifah tidak mudah di manipulasi, karena Zara sudah diasuh belasan tahun, jadi hapal betul mengenai sifatnya. Hanya menunggu waktu, suatu saat pasti bercerita.

***

"Nyonya, Anda tidak apa-apa?" tanya Thomas saat melakukan perjalanan pulang dari panti asuhan.

Zara terlihat banyak diam, kesedihan mendalam tergurat jelas di wajah cantiknya, membuat Thomas bertanya-tanya. Seharusnya sang nyonya kecil bahagia, bersua dengan para penghuni panti asuhan sudah dikabulkan.

"Iya, Thomas, aku tidak apa-apa." Dengan suara sendu, menambah penasaran di hati pria berambut cepak itu.

"Tapi, wajah Nyonya terlihat sedih. Bukannya bahagia sudah bertemu orang-orang yang menyayangi Nyonya." Thomat sesekali mengamati Zara melalui kaca spion.

ISTRI RAHASIA SANG CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang