Lagi, pria yang merenggut makhotanya sudah tidak terlihat di tempat tidur. Zara meraba bagian Rashad berbaring, aroma khasnya masih tertinggal di sana. Setelah apa yang dilakukan semalam mampukah ia menempatkan lelaki itu di tahta tertinggi hatinya. Sementara, di hati sang tuan, ia tidak mungkin memiliki ruang. Ada wanita lain yang lebih berkuasa.
Tanpa sadar air mata Zara meluruh membasahi bantal. Terisak kecil. Nasib istri rahasia ditambah posisinya sebagai yang kedua, merupakan kode keras bahwa ia tidak punya hak menuntut lebih.
Zara mengakhiri meratap nasib dengan bangun dari tempat tidur. Tubuhnya merasa tidak nyaman, ingin secepatnya membersihkan diri. Menggulung tubuh polosnya dengan selimut.
"Ahk!" Zara terhuyung begitu turun dari ranjang. Kakinya lemas bukan main, seperti hilang daya topangnya.
Ini gara-gara perbuatan tuan, sampai tubuhnya ngilu, dan perih dibagian intim. Melintas lagi permainan liar semalam, darah Zara kembali berdesir. Mendadak ada yang menoreh-noreh di segumpal merah bernama hati, rindu.
Ah, sejak kapan dirinya merindukan tuan? Benar ternyata apa yang pernah dikatakan Bunda Hanifah, wanita mudah luluh setelah merasakan sentuhan asmara. Zara menutupkan telapaknya pada wajah. Merasa malu sendiri jika itu benar.
Tertatih-tatih Zara memasuki kamar mandi. Meredam air hangat dalam bathub berharap tubuhnya kembali bugar, supaya tidak dicuriga seisi rumah semalam habis apa, sampai tubuhnya begitu lemah. Rasa malu kembali menggelitiknya
***
"Selamat pagi, Nyonya," sapa Laily.
"Pagi juga, Laily."
Zara baru keluar dari kamar mandi berbalut kimono, dengan rambut basah dililit handuk. Setelah kurang lebih satu jam meredam, tubuhnya benar-benar segar, meski lelah masih menguasai.
Pekerjaan rutin Laily setiap pagi adalah membersihkan kamar Zara, dan sudah tidak perlu menunggu perintah lagi.
"Kenapa, Laily?" Zara menatap heran kepala pelayan itu.
Aktivitas Laily terhenti, tersenyum agak aneh. "Sepertinya saya harus mengganti seprai," jawab Laily seraya melirik ke satu titik, Zara mengikuti arah pandangannya.
Sontak wajah Zara merah bak tomat matang, menggigit bibir bawah, rasa malu ini kembali menggumpal, bercak darah perawannya menghias di sana. Laily tersenyum sambil menggulung kain penutup kasur tersebut.
"Semoga membuahkan hasil ya, Nyonya," ucap Laily sembari mengerlingkan mata.
"Hah? Ma--maksudnya?" Zara semakin heran dengan ucapan serta sikap laily.
"Semoga secepatnya penerus generasi Reagan hadir di dalam sini." Laily mengusap perut sang wanita, membuat Zara menggelinjang geli.
"Laily, aku tidak mengerti maksudmu." Zara mendelik manja. Entah Laily serius atau sedang menggodanya
Laily terkekeh, nyonya kecilnya ini benar-benar polos. Bagaimana Tuan Rashad bisa mendapatkan gadis selugu ini, untung cantik. Kecantikannya seimbang dengan nyonya besar.
Istri pertama tuannya memang mantan model papan atas, dan kini kembali berkarir, kecantikannya dibantu perawatan dan riasan mahal. Sementara Zara cantik natural. Namun, keduanya memiliki kecantikan paripurna sesuai kelebihan dan sudut pandang masing-masing orang.
"Semoga secepatnya Nyonya Zara hamil. Karena Tuan Rashad sangat mengharapkan keturunan sebagai pewaris keluarga Reagan." Laily menjelaskan lagi lebih gamblang.
Zara manggut-manggut. "Memangnya dengan nyonya besar, tuan tidak punya anak, kah?"
Laily menggeleng seraya menghela napas. "Nyonya besar tidak akan pernah memiliki keturunan. Pernikahan yang sudah berjalan lima tahun tidak dikarunia anak. Salah satu dari pasangan fenomenal itu bermasalah."