BAB 3

117 10 0
                                    

"Mbak Nita!" Langkah gadis yang dipanggil namanya itu langsung terhenti saat sebuah suara tenang memanggilnya.

"Ayu?"

Gadis berwajah tenang dengan rambut pendeknya itu hanya tersenyum tipis. "Ini!" ucapnya sambil menyerahkan sebuah kunci emas.

"Ini bukannya...?"

"Kunci emas Prafindah. Yang sebagai tanda Menantu Keluarga Utama yang memikul Rumah Tangga Keluarga Utama," jawab Ayu, cepat dengan wajah tenangnya.

Nita menghela napas. "Jadi secara nggak langsung lo nyuruh gue mengurus Rumah Tangga Prafindah?" Nita sudah dapat menebak dengan mundurnya Ayu sebagai Menantu Prafindah akan membuat tanggung jawab gadis itu berpindah ketangannya karena Nancy; Putri Sulung Prafindah telah menikah dan kita tidak boleh mengharapkan banyak dari tunangan Rendi.

Ayu hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Apa lo nggak bisa bertahan sebentar sampai Keluarga Prafindah mendapatkan pengganti lo dan juga persetujuan Direktur Le?"

Gadis itu menggeleng. "Karena gue ingin mempersiapkan diri sebagai Menantu Alexander."

"Segitu terobsesinya lo sama Zero," ujar Nita, tidak habis pikir. "Padahal kalau lo jadi Menantu Prafindah sudah pasti lo bakal jadi yang pertama." Kemudian membalikkan tubuhnya untuk melanjutkan langkahnya ke arah lapangan volly.

"Tapi gue ingin menjadi yang satu-satunya bukan yang pertama!" tegasnya lalu ikut berbalik karena tujuannya berbeda, yaitu ruang rapat.

Sontak saja Nita yang mendengar hal itu langsung menghentikan langkahnya kemudian tersenyum miris. "Benar kata lo, di Prafindah mewajibkan Putra mereka untuk memiliki dua pendamping demi memperkuat posisi," lirihnya, pelan. Kemudian kembali melangkah walaupun berat.

.
.
.

"Kalau kita tidak bisa bersama di kehidupan ini, apakah kamu akan mencariku, Mahen?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Lentera; gadis cantik dengan rambut panjang dikepang satu itu tersenyum manis. Jari lentiknya masih asik menyisir rambut Mahen yang asik mengerjakan lukisannya.

Lelaki itu tersenyum, mendongakkan pandanganya ke arah mata sendu Tera. Kemudian tanpa kata memeluk pinggang gadisnya, menenggelamkan wajahnya pada perut rata Tera. Entahlah, itu adalah tempat ternyaman bagi Mahen.

"Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?"

Mahen masih diam.

"Bagaimana kalau aku yang lebih dulu meninggalkanmu?"

"Tera... I'll found you, bahkan kalau aku harus ke neraka sekalipun buat sama kamu. Aku siap."

"Mahen Yundawa..."

"Kenapa? Tidak percaya?"

Lentera menggigit bibir bawahnya, menahan kristalnya yang akan turun menyentuh pipi mulusnya. "Jangan menyusulku, Mahen. Biarkan, aku yang menunggumu sampai kita bisa bertemu di kehidupan selanjutnya, dengan tempat dan waktu yang lebih baik."

Mahen mendongakkan pandangannya. Lalu berdiri menatap wajah Tera yang menunduk, ia tangkup wajah kecil itu. "Aku tidak punya waktu untuk menunggumu kamu, Tera. Aku tidak mau membuang-buang waktuku seharipun tanpa kamu. Tera, aku akan melawan seluruh dunia supaya kita bisa bersama," ujar lelaki itu, yakin.

"Kamu yakin? Aku bisa percaya?"

"Iya, Tera..."

"Kamu bisa lawan Mamiw demi aku? Atau lawan Kakek kamu demi aku?"

Napas Mahen tiba-tiba terasa sesak. Tangan yang tadi dia pakai menangkup pipi Lentera, seakan mengundur dengan sendirinya.

"Kamu gak bisa?"

"Tera... Aku udah lawan Mami aku demi kamu, lho."

"Kamu cinta sama aku, Mahen? Sebesar apa? Kamu bahkan gak ngelakuin apa-apa demi aku, Mahen!"

"Ter, please."

.
.
.


"Sepertinya Tuan Mahen kembali mengunjunginya."

Langkah cepat tapi pasti membawah gadis bersurai hitam itu ke ujung koridor, tak lupa dengan ponsel di genggamannya. "Mas!" panggilnya, dengan nada sedikit membentak. Tatapan nanar dan napas yang berusaha ia atur membuat lelaki yang masih fokus berbicara di telepon itu tersikap.

"Astagah, Velet! Kalau manggil tuh pakai Assalamu'alaikum atau Bismillah," protes lelaki beralis tebal tersebut. Tak lupa buru-buruh memasukkan handphonenya ke dalam saku.

"Teleponan sama siapa? Gak biasanya, reject panggilan dari gue?" 

Awal tersenyum. Lalu mendekat ke arah Ayu. "Kan, sekarang lo bukan proritas gue," ujarnya, dalam hati. Mana mungkin lelaki itu bisa mengatakannya secara langsung di hadapan gadis pemarah itu. "Itu... Mbak Nancy, mau melahirkan," alibinya sambil tersenyum manis.

Ayu mengangkat salah satu alisnya, memandang aneh lelaki di depannya. "Kandungan Mbak Nancy baru 4 bulan."

Awal menggaruk tengkuknya, berpikir mencari alasan yang lebih logis. "Itu... Perutnya Mbak Nancy tiba-tiba keram! Mas Jackson udah panik, apalagi Mbak Nancy udah ngerintih dari tadi! Jadi, gue harus handle beberapa kendala yang diciptain Mbak Nancy di Resto." Alasan yang logis untuk saat ini.

"Really?" tanya Ayu, ikut membuat ekspresi kaget.

Awal mengangguk.

"Kita harus bantu Mbak Nancy lho, Mas."

"Heh!" Awal refleks menahan tangan gadis itu. "Buat apa jauh-jauh ke Belgia? Ini masih jam sekolah Velet!"

Kelopak mata gadis itu mengerjap beberapa saat. "Ahhh... Belgia yah? Emang Mbak Nancy masih megang Resto?" tanya Ayu, dengan nada polos.

"Ehh... Iya juga."

"Kalau mau bohong sama gue itu, pikir dulu, Mas! Dua minggu lalu, lo lolos dari pantauan gue dan diporotin sama beberapa jalang."

FATED: MAYBE, IN ANOTHER LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang