"Maafin keegoisan Ayu yah, Mas." Lelaki dengam kaos oblongnya itu mendudukkan daksanya pada salah satu bangku Kafe yang berada di depan paman kecil yang paling ia hormati. Walaupun seluruh Keluarga Yundawa sudah membuang Mahen, namun Arswal adalah satu-satu orang yang masih mau memaafkannya.
"It's okay. Toh, salah saya juga karena mengganggu hari ulang tahunnya."
"Untuk kali ini aja, Mas." Karena Awal tahu, bahwa Mahen selalu mengunjungi Lentera setiap hari. "Mas secinta itu sama Kak Tera?" Pertanyaan dari keponakannya membuat pergerakan Mahen untuk mengambil cangkir kopinya terhenti.
"Perlu ditanyakan?"
Awal kembali tertawa renyah, seperti mencairkan suasana. "First love yah?" tanyanya lagi, sambil meneguk wine di gelasnya.
Mahen masih diam. Lebih tertarik pada bunga Forget Me Not yang menjadi kesukaan Lentera. "Kenapa ada bunga seperti itu di Kafe?" tanya Mahen, pelan.
"Ayu suka bunga itu."
Awal kemudian mendorong pelan selembar foto polaroid ke hadapan paman kecilnya. "Kak Tera mirip banget yah, sama Yayu'," komentar Awal saat fokus Mahen teralihkan.
"Hm?"
.
.
.Cinta pertama?
Bukan.
Sepertinya ini lebih bisa membuat dadanya berdegub lebih kencang atau para kupu-kupu berterbangan di dalam perutmu. Memang benar, cinta datang tanpa alasan. Sihir cinta tidak bisa terelekan dari sang Cupid yang memanah panah pas di jantungmu. Pertemuan pertama menjadi alibi bahwa kamu terpesona saat menatap matanya, tapi menurutku bukan saat itu aku terpesona. Bukan karena matanya, tapi karena suaranya dan caranya yang tidak menatapku sedikitpun. Dia seperti menganggapku sesuatu yang menganggu jalannya, dan menyuruhku menyingkir tanpa mendorongku.
Harusnya hari itu, gadis bersurai hitam itu tidak melintasi koridor sendirian. Harusnya, ia menunggu di ruang guru dan pergi bersama wali kelas barunya. Dia terlalu penasaran dengan sudut-pudut sekolah ini.
Sampai akhirnya, ia yang punya masalah tentang arah. Tersesat.
Hampir saja gadis itu menangis karena aura dari koridor lab yang kosong dan mencekam. Apalagi bersamaan dengan hembusan angin sepoi-sepoi yang terasa menyesakkan.
"Permisi?" Suara itu langsung membuyarkan seluruh ketakutan dari gadis berparas cantik itu. Semua kegelisahannya langsung hilang saat itu juga. Bahkan, napasnya yang menyesakkan seperti terbebas dari belenggu. Saat berbalik arah, gadis itu menepukan seorang lelaki berseragam acak-acakkan dengan tas di bahu kirinya.
Tampan.
"I-iya..." Belum selesai gadis itu menjawab dan tentunya bertanya, lelaki itu sudah berlari dan tanpa sengaja menubruk bahu dari gadis itu. Bukannya merasa kesakitan, gadis itu hanya diam mencerna apa yang terjadi.
Yaps, dia jatuh cinta.
Harusnya dia marah. Karena orang itu menegurnya akibat menghalangi jalan. Dan tadi juga, bahunya ditubruk dengan begitu keras. Itu sakit.
Harusnya dia mengamuk.
Bukannya berpikiran kosong seperti orang linglung di depan koridor kosong ini.
"I'm enchanted?" Senyuman lebar tercetak di bibir merah jambunya, bahkan pipinya sudah memerah menahan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya.
"I was enchatend to meet you, Strangers boy."
.
.
."Bocah prik," dumel lelaki yang baru saja menghindari guru BK SMAS MERAH PUTIH. Lelaki itu memperbaiki seragamnya dan memasang kacamata bacanya. Karena keponakan kesayangannya rewel tadi pagi, ia harus menenangkannya sampai-sampai mengorbankan jam pertama pembelajaran.
"Pak Berlian masih di ruang guru, katanya ada murid baru. Cewek, cakep!" ujar Perwira, memulai gosipan paginya.
Yang membuat Mahen, lelaki yang sibuk mencari balpoin kesayangannya itu berdecak, "Palingan zonk," cibir Mahen sesaat setelah melihat Pak Berlian masuk dengan senyum lebar khasnya.
Mahen menyandarkan tengkuknya di sandaran kursi, seakan tidak tertarik dengan kicau-kicauan Kelas XI IPS 1 yang setiap hari sudah tidak kondusif.
"Sekarang, Nak Lentera duduk di samping Ketua Kelas saja. Mahen."
Mahen langsung berdecak, saat namanya disebutkan. Dari SD dia sudah terbiasa untuk duduk sendiri, karena dia lebih suka menyendiri dalam belajar. Kehadiran orang lain di dekatnya, membuat proses pembelajarannya terganggu. Belum sempat, Mahen protes. Pak Berlian sudah lebih dulu pergi. Dan gadis itu sudah duduk di sampingnya dengan senyuman paling lebar.
"Hai, aku duduk di sini yah. Gak ada tempat yang kosong."
Harusnya ia menyiapkan dua kursi cadangan untuk Kelas XI IPS 1 kemarin.
"Nama aku, Lentera Velet. Cucu pertama dari WVA group," ujar Lentera, memperkenalkan dirinya dengan percaya diri.
Block utara?
"Tau."
Lentera menghela napas, saat Mahen tidak membalas jabatan tangannya. "Kamu?"
Lelaki jangkung itu langsung membuka matanya, dan mengangkat satu alisnya ke arah Tera. "Mahen."
Tera berdecak, "Tau. Pak Berlian udah ngasih tau nama panggilan kamu, Mahen." Tera menangkup pipinya dengan satunya tangan. Lalu menatap Mahen lekat. "Sepertinya kamu dari keluarga kaya, seperti aku. Siapa tau aku bisa suruh Mamiw jodohin kita," ujar gadis bersurai hitam itu, dengan sangat percaya diri.
Perwira dan beberapa siswa yang tergolong kelas atas di dalam ruangan itu, langsung terbatuk-batuk dan berpura-pura sibuk. Ada juga, yang pura-pura berjalan keluar kelas.
Mahen menegakkan tubuhnya, membalas tatapan Lentera. "Mahen Yundawa. Putra bungsu dari Yanda group."
Seperti tersambar petir.
Daksa gadis itu terasa kaku, bibirnya bahkan terasa keluh. Harga dirinya seperti terhempaskan saat itu juga. Bisakah Lentera menangis saat ini juga? Mahen tidak menolaknya, dunia yang menolak dia dan Mahen.
"Bukannya dijodohin, kita bakal dibunuh karena duduk berseblahan."
KAMU SEDANG MEMBACA
FATED: MAYBE, IN ANOTHER LIFE
Ficción GeneralSebuah janji dari dua manusia di kehidupan terdahulu, membuat keduanya harus menebus janji sekaligus dosa yang membawah dendam. Dendam yang kembali memaksanya untuk memenuhi janji yang bukan tanggung jawabnya. "Kita berdua dilahirkan untuk menebus j...