BAB 10

71 6 0
                                    

"Pembatalan pertunangan berisiko besar terhadap masa depan Nona Velet, Tuan Prafindah. Bagaimana Keluarga Alexander bisa menerima seseorang yang sudah pernah menjadi Tunangan dari pewaris Prafindah untuk mengambil posisi di samping pewaris Alexander?" Kalimat terakhir dari Direktur Le, membuat Arswal harus memikirkannya ribuan kali. Rahayu sudah menjadi tanggung jawabnya sejak meraka berusia 9 tahun. Tapi ia tidak mau membiarkan gadis itu hidup dalam kebutaan terhadap kebencian masa lalu. Dendam Ayu, akan merusak Yanda group suatu saat nanti bila ia tetap terperenggu dalam ikatan pertunangan ini.

"Mereka menolak kan, Mas?" Itu suara Ayu, saat Arswal baru saja keluar dari ruangan Direktur Le. "Lo udah ngelihat double standart kan? Zero yang jelas-jelas pernah bertunangan dengan Esa dibiarkan memilih pendamping lagi, dan Esa dibiarkan mengikuti tradisi untuk tidak menikah seumur hidupnya. Apa lo mau gue seperti itu setelah pertunangan kita dibatalkan?" Ayu kembali bertanya, yang menyudutkan Awal. "Gue mau jadi yang satu-satunya, bukan yang pertama. Biarkan gue menjadi menantu Alexander, Mas."

"Gue udah berusaha, Yu." Kalimat yang selalu ingin diucapkan Awal kalau Ayu sudah mulai menyudutkannya dalam banyak hal. "Nanti gue coba." Dan akhirnya, lelaki itu lebih memilih mengeluarkan kalimat yang sangat dibenci oleh calon mantan tunangannya.

"Nanti lo coba lagi? Lo mau coba ke berapa kalinya, Mas? Sampai Zero udah nemuin pengganti Esa?" Gadis itu sudah mulai membentak, memilih berdiri dari duduknya.

Awal menunduk. Tidak berniat untuk memperpanjang perdebattan dengan gadis egois itu.

"Lo emang gak bisa diandelin, Mas."

Entah siapa yang tidak biasa diandalkan. Ayu yang selalu memerintah, atau Arswal yang sudah berusaha yang terbaik demi masa depannya. Ayu tidak menyadari bahwa pembatalan pertunangan ini berisiko untuk masa depannya, tetapi matanya sudah tertutup hanya karena tujuan dari dendam masa lalu.

"Sampai kapan gue harus menunggu?"

.
.
.

July, 10th.

Dari pertama kali aku melihat Mahen, aku sudah merasa bahwa Mahen terlalu jauh untuk ku raih. Namun di sisi lain, aku selalu merasa aman saat berada di dekatnya.

Aku ingin selalu berjalan berdampingan denganmu, Mahen. Jadi, aku berusaha berlari untuk tidak ketinggalan saat sampai di sebelahmu.

Walau aku harus menangis karena akuntansi, atau menahan gatal karena udang kesukaanmu, atau menahan semua rasa ketidaksukaanku terhadap sesuatu yang dibakar. Tidak apa-apa, asalkan aku bisa selalu berada di dekatmu. Dan menikmati bubur ayam saat pulang sekolah, itu lebih baik daripada berkeliling pusat perbelanjaan.

Asal selalu bersamamu. Aku tidak masalah menunggu selama apapun itu.

Velet.

Hembusan napas terdengar dari pria yang membaca lembaran kertas yang dibawakan sepupunya. "Lo yakin, mau liatin ini ke Mas Mahen?" Gaza bertanya, saat Rendi hendak mengambil kertas itu kembali.

"Mas Awal nyuruh gue."

"Lo yakin? Baca dulu."

Decakkan keluar dari bibir lelaki itu, Kakak sepupunya memang selalu ingin membuang-buang waktunya. "Yah... Ini cuma kertas biasa, Mas. Gue buru-buru nih." Lelaki itu mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Penerbangannya ke Kuala Lumpur sebentar lagi, dan ia belum menemui Mawar. Rendi menghembuskan napasnya dan berkata, "Atau lo aja yang kasih!"

Terlambat. Gaza belum sempat membantah tetapi adik sepupunya lebih dulu meninggalkannya. "Apa boleh buat," lirih Gaza, mendekati pamannya yang sedang membersihkan makam seorang gadis Velet.

Ia masih seumuran Rendi saat Mahen memilih menentang seluruh keluarga Yundawa dan blok selatan demi Lentera. Ia masih ingat saat pamannya hampir dibunuh karena mengatakan, "Lentera Velet. Dia mengandung, bayi saya." Kakek yang tidak pernah marah kepada pamannya waktu itu hampir menghambisi putra bungsunya sendiri. Dan sejak hari itu, Mahen tidak berani menunjukkan wajahnya di depan blok selatan. Termasuk Amhira dan Elmeira; keponakan kesayangannya.

Gaza bahkan tidak yakin, kalau masih ada yang mengingat Mahen Yundawa sebagai anggota keluarga mereka.

"Lo terlalu mencintai Kak Tera, Mas," gumam Gaza, yang masih bisa didengar oleh Mahen.

Mahen mengadahkan pandangannya, memandang sebentar sang keponakan dengan senyum tipis. "Lentera terlalu berharga untuk tidak dicintai." Sembari menaruh bunga forget me not di atas gundukan tanah lembat tersebut. "Saya akan membawakan stroberi bila sudah musimnya, Tera. Tapi saya akan selalu ke sini tanpa melihat musim."

"Loh... Mahen, long time no see..."

.
.
.

Tepakan kaki yang terasa familiar di telinga Rosie membuat gadis itu menoleh. "Nunggu Rendi lagi?" Amhira bertanya, hanya untuk berbasa-basi di samping adik iparnya.

"Hm? Mas Rendi katanya ada urusan penting tadi, Mbak." Rosie berusaha tersenyum, dan Hira bisa menangkap ada nada keraguan yang berusaha menipu diri.

"Udah berapa lama?"

"Cuma sebentar kok, Mbak." Rosie kembali mendudukkan daksanya di kursi taman yang tadi ia tempati untuk menunggu tunangannya. "Mas Rendi udah janji nemuin gue sebelum dia berangkat ke KL," jelasnya, dengan sedikit memupuk rasa percaya.

"Udah berapa kali Rendi ingkar janji?"
Rosie terdiam. Ini bukan pertama kalinya Rendi membuatnya menunggu untuk menghabiskan waktu bersama. Dan bukan pertama kalinya ia menanggung konsukensi dari tunggu yang semakin membuat ragu.

Hira mengangguk-ngangguk, meraih camilan yang tadi disiapkan pelayan keluarga Prafindah. "Waktu yah?" lirih Hira. "Ros, jatuh cinta di usia kita, bukan suatu hal yang lazim lagi. Saat mencintai lelaki yang lebih tua, kita harus menunggu. Dan saat kita mencintai lelaki yang lebih muda, kita membuatnya menunggu. Karena memang dunia kita berbeda karena perbedaan usia, ada suatu hal yang ingin dikejar saat mencapai usia tertentu." Hira meraih cangkir teh, dan meminumnya perlahan. "Yang membuat adanya tembok dalam waktu. Lo sama Rendi cuma gak punya waktu untuk meluruskan kesalahpahaman kalian. Inisiatif untuk berbicara sama Rendi, kalau kalian cuma diam-diaman dengan prinsip yang penting ada waktu buat bersama tanpa krisar. Itu sama aja bohong." Hira tersenyum tipis, mencari serpihan kaca dalam netra indah Rosie. Gadis itu berusaha tidak menangis, ternyata.

"Nanti gue coba bicara sama Mas Rendi, Mbak."

"Jangan nanti. Sekarang." Hira menyerahkan ponselnya yang sudah terhubung dengan Rendi.

"H–halo?"

"Lho, War... Mbak Hira, mana? Bilangin ke dia kalau Mbak Ayu hilang. Cepat!" Netranya membulat seketika saat mendengar suara Rendi yang mengabarkan bahwa Rahayu menghilang.

"Kenapa?" Amhira, bertanya.

"M–mbak, Mbak Ayu hilang..."

"Hah?"

.
.
.

FATED: MAYBE, IN ANOTHER LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang