ELIGIBLE

356 36 0
                                    

"Aku lelah menegurmu. Cukup, jangan datang kemari lagi" tanpa persetujuan, Neji memasukkan semua berkas dan barang pribadi juniornya ke kardus.

"S-sumimasen, Senpai" mendadak cara bicara Sasuke menjadi sopan, "a-aku mengaku salah. Aku janji akan merapikan barang-barangku"

"Satu minggu aku maklumi. Tapi ini dua minggu! Berkasmu terus berceceran Sasuke. Aku tak mau ketidak-disiplinanmu mengganggu" Neji menaikkan nada bicara satu oktaf, "berbagi meja dan ruangan bukan berarti poli ini milikmu"

"Sumimasen, Hyuga-san"

"Aku tau kau menderita PTSD. Tapi dewasalah! Kau tak bisa seenaknya melampiaskan kemarahanmu di sini"

"Sumimasen, Hyuga Senpai" punggung Sasuke makin membungkuk.

Melihat penyesalan sang junior, Neji mendengus. Agaknya ucapan barusan sudah keterlaluan. Neji terduduk di kursi praktik dan memulai obrolan bertempo santai.

"Lagipula aku tak pernah tau meja ini kau buat belajar. Kau serius ingin lanjut spesialis jantung?"

"Hai, Senpai. Tentu saja"

Neji tersenyum simpul. Bersyukur niat Sasuke tak kendur meski telah kehilangan motivasi dalam tujuan itu. Sebab, terkadang rasa frustasi Sasuke muncul lalu melampiaskan pada benda sekeliling.

"Baiklah, kalau begitu tata semua dengan benar. Kemudian pulanglah" ujar Neji berlalu meninggalkan ruang.

Sasuke melakukan perintah senior dengan jengah. Neji benar. Akhir-akhir ini Sasuke makin kacau. Padahal ia sudah melakukan healing ke psikolog.

Pasti gara-gara dia!

Buku, beberapa berkas, dan jadwal shift Sasuke letakkan ke tempat yang sesuai. Textbook tentang penyakit jantung ia simpan bersama buku-buku Neji di rak, sedangkan arsip miliknya dikumpulkan pada suatu ordner. Tak lupa pula jadwal shift ukuran mini ditempelnya kembali pada dinding, bersebelahan dengan jadwal Neji.

"Dan ini akan kuletakkan di sini" Sasuke mengapitkan foto Sakura pada jadwal jaga menggunakan klip kertas.

Setelah sukses berbenah, Sasuke pulang. Namun ia tak langsung menuju rumah. Melihat rumahnya yang bertetangga dengan Sakura selalu membebani pikiran.

"Kau di apartemen?"

"Ya, mampirlah jika tak sibuk" Naruto mempersilahkan sahabatnya.

Sejak mengadu nasib di kota sekarang, Naruto memilih tinggal di apartemen sederhana. Dia ingin tak terlalu jauh dari studio tempat bekerja. Prinsip disiplin yang Sasuke ajarkan rupanya meresap pada paham Naruto.

Sasuke memacu mobil menuju apartemen. Begitu berada di unit Naruto, alisnya naik setengah senti. Kaget melihat Sacchan masih bersama Naruto.

"Kenapa dia masih di sini?"

"Orangtuanya sibuk. Jadi dia tinggal sementara sampai mereka pulang" jawab Naruto sambil mengutak-atik transisi video di laptop.

"Tidak sekolah?"

"Bukan masalah, dia homeschooling"

"Sou ka" decak Sasuke, "benar juga, pamanmu kan kaya raya. Sampai tujuh turunan hartanya tak mungkin habis. Beruntung sekali jadi bocah itu"

"Apa maksud bicaramu, Teme?" Naruto menghentikan aktivitas editing, menanggapi ucapan skeptis Sasuke.

"Iia, nande mo nai. Aku mau numpang tidur"

"Istirahatlah di kamarku. Oh ya, nanti sore aku ada prosesi pemotretan model butik. Kau baik-baik di sini dengan Sacchan ya" pamit Naruto lebih awal. Dirinya amat mengerti, Sasuke yang istirahat karena lelah akan sulit dibangunkan.

True Love of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang