1

42.4K 3.3K 51
                                    

"Napasnya kembali normal, seseorang tolong ambilkan air!"

"Shtt... awhhh!" seorang gadis meringis sembari memegang kepalanya yang terasa seperti dihantam gada.

"Nona, Nona, apa Nona mendengar ku? Apa Anda bisa melihat ini. Ada berapa jariku?" Seorang pria dengan setelah kemeja lengkap menggoyangkan tangannya di hadapan gadis itu. Ia menggerakkan empat jari ke kanan dan ke kiri secara perlahan.

Apa-apaan, pria ini? Apa dia pikir gadis itu buta? Tidak bisa melihat?

Tentu saja gadis itu tidak merespon. Dia menganggap jika pria itu tengah mempermainkan dirinya. Dengan jengah, ia memutar bola matanya. Melirik sekeliling dengan sekilas.

Awalnya gadis itu masih menormalkan napas yang tersendat. Jalur pernapasannya serasa terhenti, lalu sekelibat bayangan mulai menyerang.

Gadis itu adalah Sina, Sina Calista. Seorang cendikiawan muda, yang berhasil menyelesaikan studinya di negeri barat. Lebih tepatnya di Universitas England, hanya dalam jangka waktu dua setengah tahun.

Seingatnya, terakhir kali ia tengah berada di lantai bawah tanah kediaman Lazaro. Rumah besar peninggalan neneknya tersayang itu telah menjadi neraka pencabut nyawa untuknya.

Ia ingat betul, bagaimana adik tirinya itu menancapkan belati ke punggung bagian kiri. Menghina keluarga serta mengatakan ibunya pelacur rendahan.

Sejujurnya, Sina tidak peduli untuk kata-kata yang terakhir. Pelacur rendahan memang terlalu kasar untuk ibunya, tapi jujur saja, untuk yang satu ini Sina menyukai julukan sang ibu kandung.

Rasa pahit, panas, dan mencekik dari cairan hitam kental yang mereka tegukan secara paksa padanya sangat terasa nyata.

"Nona, Anda baik-baik saja. Mohon bersabarlah, sebentar lagi kita akan mendarat. Pihak maskapai akan menyediakan pertolongan medis darurat untuk Anda," ucap seorang wanita yang sedari tadi terus berdiri di hadapannya.

Sina mengangguk. Ia belum terlalu sadar jika sedari tadi ia berada di pesawat. Lalu kemanakah ia menuju sekarang? Apa dia masih di bumi? Apa dia berpindah ke dunia paralel seperti di novel-novel? Transmigrasi? Seperti itu.

Tapi jika begitu, kenapa ia tidak bisa mengingat apa-apa selain kehidupan dia yang sebelumnya? Bukankah biasanya seseorang yang bertransmigrasi akan mendapatkan ingatan pemilik aslinya.

"Ha--us," lirih Sina dengan napas yang sedikit tersengal.

"Sebentar, saya akan mengambilkan Anda air, Nona."

Sina mengangguk, seiring perginya sang pramugari itu. Sina mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

Awan putih yang mengumpul, terlihat halus seperti kapas. Andai Sina bisa terbang ke sana bersama awan-awan, pasti menyenangkan memeluk benda putih sehalus sutra itu.

"Nona, minum Anda."

"Terimakasih," ucap Sina dengan tulus.

"Sama-sama, Nona. Kalo begitu saya permisi terlebih dahulu. Jika Anda butuh sesuatu, Anda cukup angkat tangan Anda lebih tinggi."

"Tunggu! Tu--tunggu sebetar," cegah Sina menghentikan langkah pramugari itu. "E--eh, kita ada di mana? Ma--maksudku, apa kita masih di bumi?"

Ragasina Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang