05_MP

5 0 0
                                    

Weekend adalah salah satu momen liburan berharga bagi para pelajar. Entah untuk jalan-jalan ataupun tidur sepanjang hari. Seperti yang dialami Daffa sekarang, ia lebih memilih jalan-jalan bersama pacarnya dari pada diam dirumah. Daffa berjalan menuju salah satu lorong yang sepi di sebuah pusat perbelanjaan. Ia tersenyum setelah melihat seseorang yang cukup dia rindukan.

"Halo, Dek," Daffa membuka pembicaraan saat sudah duduk di samping Hana.

"Kan udah aku bilang jangan panggil 'Dek'. Panggil beb, ay, yang, honey, darling. Apaan kek," cerca Hana.

Daffa tertawa menampilkan deretan giginya, "Kan itu panggilan sayang."

"Iyain deh.Eh, Eyangmu udah baikan?"tanya Hana.

"Udah, tadi udah dikasih obat penenang sama dokter. Kamu udah makan?"

"Belum, nanti aja pas pulang."

"Jangan!Makan di cafe aja. Biar irit, lagian kamu juga makannya banyak," canda Daffa yang dihadiahi pukulan lirih dari Hana.

Ting

Suara pesan masuk di handphone  Hana membuat Daffa menoleh. Belum sempat di bacanya pesan tersebut Hana sudah lebih dulu memasukkan  handphonenya ke dalam tas. Daffa mengepalkan tangan, berusaha menahan emosinya. Tanpa bertanya kepada Hana pun Daffa sudah tahu pesan dari siapa itu tadi. Anggap saja Daffa bodoh, karena masih bertahan dengan mereka yang telah menghianatinya.

Hana menoleh ke arah Daffa setelah memastikan handphonenya mati. Lagi-lagi tatapan itu yang membuat Daffa luluh. Daffa melanjutkan basa-basinya, sesekali gombalan maut meluncur dari mulutnya.

***
Di tempat lain, Anita sedang menemani ibunya bersih-bersih rumah. Kebiasaan keluarga Anita saat hari libur. Anita dan memilah-milah barang yang sekiranya masih layak pakai atau sudah waktunya di buang. Ayah Anita melihat-lihat kondisi rumah, barangkali ada yang perlu diperbaiki.

"An, tolong kamu panggil Hanan buat kesini deh. Ayah butuh bantuan kayaknya buat renovasi rak tanaman ibumu yang udah reot ini," ucap Ayah Anita yang mulai memindahkan tanaman di rak ke tanah.

"Sama Anita aja Yah." Anita berjalan ke arah ayahnya.

"Ayah butuh bantuan buat potong kayu, emang kamu bisa?"

"Ya enggak sih, cuma kan ini hari libur Yah. Nanti Hanan ke ganggu lagi hari santainya."

"Enggak. Tadi ayah ketemu dia habis shalat subuh di masjid. Katanya hari minggu dia gak ngapa-ngapain tuh."

Anita menghela napasnya pelan. Lagi-lagi begini berurusan dengan Hanan adalah hal yang paling ia hindari. Apalagi kalau sifat tengil Hanan sudah muncul. Namun Anita tetap berjalan ke rumah Hanan.

"Assalamualaikum. "

Tok tok tok

Sepertinya orang yang dibutuhkannya hari ini memang sedang memiliki waktu senggang. Buktinya saja belum ada lima menit pintunya sudah terbuka.

"Waalaikumusalam, calon istri. Pagi pagi udah ngapel aja nih."

Anita bergidig ngeri mendengar Hanan mengucapkan kalimat tadi dengan muka cerahnya.  Tuh kan perasaannya benar, pagi-pagi udah ngeselin aja orang yang ada di depannya sekarang.

"Ayah minta tolong buat bantuin benerin rak tempat tanamannya ibu. Kalau gak mau ya udah," Ucap Anita cuek. Tanpa berlama-lama berdiri di depan pintu rumah Hanan, Anita mulai berjalan kembali ke rumahnya.

"Siapa bilang gak mau. Buat calon ibu mertua mah apa aja aku jalanin."

Hanan lekas mengunci pintu rumahnya dan berjalan mendahului Anita. Senyum tipis di bibir Anita muncul. Ada setitik rasa bahagia saat Hanan begitu sayang terhadap ibunya. Maklum saja, Hanan tidak punya siapa-siapa di sini. Orangtuanya meninggal enam tahun lalu akibat kebakaran yang membumi hanguskan kantor tempat mereka bekerja. Hanan sempat ditawari beberapa kerabatnya untuk tinggal bersama mereka, tapi ia menolak dengan alasan tidak mau meninggalkan rumah peninggalan kedua orangtuanya.

Para kerabat Hanan pun menghargai keputusan Hanan dan akhirnya menitipkan Hanan kepada Ayah dan Ibu Anita. Mereka sudah menganggap Hanan seperti anak kandung mereka sendiri. Anita sangat kagum melihat kedewasaan dan keteguhan Hanan waktu itu. Tapi tidak untuk sekarang, muka menyebalkan Hanan seakan menutupi sifatnya yang Anita kagumi dulu.

Plak

Tepukan tangan di depan wajah Anita menyadarkannya dari lamunan. Anita memundurkan tubuhnya karena kaget.

"Apaan sih Nan."

"Apaan gimana? Lo ngelamun dari tadi di sini," ucap Hanan. Ia terkikik geli sedari tadi melihat Anita melamun. Anita merutuki kebodohannya yang kebiasaan melamun di sembarang tempat.  Bisa-bisa Hanan kesenangan kalau tau Anita sedang memikirkannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Masa PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang