Prolog [Revisi]

231 30 9
                                    

Ini akan jadi yang selamanya cerita yang aku tulis, semoga bisa konsisten, selama setahun Hiatus, dan saya Menyesal telah mempublikasikan cerita pertama saya yang sudah di baca beribu-ribu kali oleh pembaca setia saya.

And, ini adalah kisah yang sangat relate dengan masalah keluarga, pertemanan, ekonomi, sosial.

Dan ada beberapa adegan kekerasan, dan mohon bijak dalam membaca.

Selamat membaca dan berlayar di cerita Prakata. Bagi kalian yang tidak memiliki rumah, Tolong jadikan cerita ini sebagai rumah kalian.

Thank u! And Happy reading!

***

Seorang gadis yang baru saja sampai rumahnya kini menghentikan langkahnya di depan pintu ketika mendengar suara keributan di dalam rumahnya, ia menghela nafas panjang, lagi dan lagi suara keributan itu seolah menjadi sarapan sehari-hari bagi Khalula. Kadang kala Khalula merasa sangat bingung dengan permasalahan di dalam rumahnya, entah itu soal ekonomi, sekolah, masa depan, pekerjaan kedua orang tuanya dan masalah-masalah kecil yang terkadang diperdebatkan hingga menjadi masalah yang besar.

Perbedaan pendapatan antara dua kepala, seringkali menjadi masalah yang sulit diatasi. Khalula menghela nafas kasar, saat ia hendak ia mengetuk pintu, pintu itu sudah terbuka, menampilkan laki-laki paruh baya yang sudah siap dengan kemeja formal, ia menoleh ketika laki-laki paruh baya itu menenteng koper.

"Ke luar kota, lagi, Pa?" kata lagi yang Khalula tekankan, ia menatap wajah lelah laki-laki yang sudah membesarkannya, atau biasa disebut cinta pertama bagi seorang anak perempuan satu-satunya.

David tersenyum, sambil mendaratkan satu tangannya di kepala Khalula. "Iya sayang. Papa ada meeting dadakan."

Bohong.

Itu yang Khalula dapatkan dari raut wajah Papanya, ia tahu Papanya itu sedang lelah karena terlalu sering berdebat dengan Mamanya. Pelarian terbaik adalah melarikan diri dari masalah.

"Berapa hari?" tanya Khalula.

"Satu minggu."

Khalula mengangguk sambil memaksakan senyumnya. "Oke, Pa."

"Kamu mau oleh-oleh?"

Khalula menggeleng, lalu menggenggam tangan Papanya, "Papa kembali dengan selamat ke sini itu udah jadi oleh-oleh buat aku."

David terenyuh dengan perkataan putri semata wayangnya, kemudian ia mengecup singkat kening putrinya. "Papa berangkat dulu."

Khalula mengangguk, ia memperhatikan Papanya sampai masuk ke dalam mobil, ia tersenyum kecil sambil melambaikan tangannya, lalu mobil yang Papanya kendarai kini sudah keluar dari pekarangan rumahnya.

Khalula kemudian masuk ke dalam rumahnya, di ruang tamu, ada Mamanya sedang memainkan ponsel dengan wajah ditekuk, ia menghampiri Mamanya.

"Khalula pulang."

Tidak ada respond, Mamanya kian asyik memainkan ponsel, Khalula inisiatif bertanya. "Tadi Papa keluar kota lagi."

Davina-Mama Khalula mendongak. "Ya, Papa mu itu kebiasaan, masa Mama cuma dikasih sepuluh juta untuk seminggu."

Uang, dari banyak ke khawatiran, Mamanya selalu peduli dengan uang, kenyamanan Papanya seolah bayangan baginya, keharmonisan keluarga kalah dengan uang, bahkan saat itu pernah Papanya tidak pulang selama sebulan, Mamanya bukan menanyakan tentang kabar Sang Papa melainkan menanyakan perihal uang yang telat ditransfer.

"Itu cukup, Ma," jawab Khalula, "Kita cuma berdua di sini," jelasnya lagi. "Lagi pula 'kan gaji Bi Suminah juga suka Papa yang kasih."

"Mama juga, kan, kerja."

PrakataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang