BAGIAN 5 : Not Me

45 4 1
                                    

~Happy Reading~

Support me of u like this story꒰⑅ᵕ༚ᵕ꒱˖♡

Di ruang yang penuh kaca, Khalula hanya duduk diam memperhatikan orang-orang yang kini sudah sibuk dengan rangkaian kegiatan kelas modeling.

Mereka tampak serius melaksanakan kelas modeling, gadis-gadis yang seumuran dengannya begitu excited dari yang Khalula lihat.

Kelas modeling yang di ambil Khalula selama tiga bulan, setelah selesai Namanya sudah merencanakan Khalula untuk ikut open call, untuk menjadi seorang model yang sesungguhnya. Entah Khalula harus senang atau tidak karena masa depannya sudah di atur sedemikian rupa oleh Mamanya, sehingga ia tidak bisa membantah, dan mewujudkan keinginannya.

Ruangan berukuran 5×7.5 meter, yang diisi hanya dengan lima belas orang, tampak luas dengan beberapa pendingin ruangan di atasnya.

"Khalula, Raiha, Neva, Naya, Selina, Kyle, Noona, giliran kalian," titah Hael, salah satu coach di kelas ini, laki-laki dengan tinggi 180 cm, kumis tipis, alis dan bibir yang tebal, serta rambutnya yang berwarna ash grey, tampak stylish.

Khalula mengangguk, mengambil posisi.

"Sebelum mulai gue mau kasih tau ke kalian. Dalam dunia model, harus percaya diri, tampilkan dengan bangga siapa diri kamu yang sebenarnya. Pandangan ke depan seolah tidak takut akan hal apapun," jelas Hael.

"No matter how happen in the front of you, just walk," katanya lagi dengan gigih dan penuh semangat.

"Pertama kita akan belajar catwalk. Di catwalk ini, diajarkan dalam dunia modeling bagaimana cara berjalan dengan baik, menjaga postur tubuh yang baik saat berjalan, ritme langkah kaki, dan yang paling penting, adalah ekspresi di atas panggung," jelas Hael, sambil mengitari mereka.

"Okey, we'll start the catwalk session."

***

Malam harinya, Khalula baru saja selesai berbincang dengan Mamanya, ia menghela nafas panjang. Masuk ke dalam kamar, merebahkan tubuhnya di atas kasur, memandang langit-langit atap rumah, tekanan dari Mamanya membuat ia tidak bisa bergerak dengan bebas, jam main di batasi, semuanya serba terbatas, yang harus Khalula lakukan belajar dan belajar, mendapatkan peringkat pertama, menjadi yang pertama itu adalah tuntutan Mamanya. Ia ingin bebas dan menghirup udara tanpa ada tekanan sekalipun, ucapan Mamanya terngiang di kepalanya.

"Menjadi yang pertama itu harus. Kamu masih dalam pengawasan Mama, tidak ada kata membantah."

"Kamu harus peringkat pertama."

"Kamu harus bisa mewujudkan mimpi Mama, itu cara berbakti."

"Tidak perlu pacaran, apalagi dekat dengan laki-laki, akan membuat fokus kamu teralihkan."

Ia mengusap wajahnya dengan kasar, selama hidupnya Khalula hanya bisa berinteraksi dengan beberapa orang, bisa terhitung dengan jari, mungkin interaksi paling intens adalah ketika di sekolah, itupun hanya orang-orang tertentu, Khalula sadar, ketika teman sekelasnya ingin berinteraksi dengannya, Khalula kesulitan untuk mencari topik komunikasi, membuatnya merasa takut jika orang lain tidak nyaman, dan itu membuat Khalula membatasi segala pertemanannya, terkecuali dengan kedua sahabatnya.

Tapi, kini pikirannya tertuju dengan Haga, ia merasakan perbedaan saat berkomunikasi dengan Haga, ia pun tak tahu mengapa selancar itu ia bertukar obrolan dengan Haga, rasanya seperti menemukan bangunan yang menampung ketakutannya.

Tangannya bergerak untuk mengambil ponsel, lalu membuka room chat dengan Haga, membaca ulang percakapan itu. Chat terakhir dari Haga hanya ia baca saja, lalu tergerak tangannya untuk menyimpan nomer ponsel Haga.

Ia kembali meletakkan ponselnya, sekilat perlakuan Haga terbesit di dalam pikirannya, saat Haga mengantarnya pulang, saat Haga memberikan batagor, saat pertemuannya di gerbang sekolah. Khalula masih sangat ingat jelas, ia dan Haga pernah saling beradu pandang ketika ia tengah berlatih marching band, dan saat itu ia tahu tatapan Haga tak biasa.

Lamunannya tersadar ketika ketukan pintu terdengar.

"Ada teman kamu," ucap Papanya. "Tadi dia izin ke Papa, katanya mau keluar," kata Papanya lagi.

"Siapa, Pa?"

"Nuka."

***

Khalula dan Nuka kini tengah berjalan di trotoar Jl. Gatot Subroto, malam-malam seperti ini rasanya tenang sekali, kedua insan itu hanya diam, menikmati sentuhan angin malam, keduanya kini berhenti di sekitar pedangan kaki lima.

"Makan kue balok, aja, yuk?" ajak Nuka.

Khalula mengangguk menyetujui, lalu segera berjalan ke arah tukang kue balok itu. Tempatnya sangat nyaman dengan beberapa kursi kayu yang mengelilingi penjualnya, Khalula dan Nuka memesan pada wanita paruh baya berumur enam puluhan itu, lalu Khalula memesan satu bandrek.

"Oh, iya, tadi Mama lo keliatan enggak setuju banget main sama gue. Untung ada Papa lo," ujar Nuka, lalu bergidik ngeri membayangkan wajah ketus Mama Khalula. "Mama lo ketat banget, ya?"

Khalula mengangguk, "gue enggak boleh dekat sama cowok, sebelum gue bisa banggain Mama."

Nuka meneguk ludahnya, membayangkan seberapa tertekannya Khalula, ia mengenal Khalula sejak kelas sepuluh, dan sampai sekarang mereka di satukan lagi, Nuka tahu perjuangan Khalula mempertahankan peringkatnya.

"Lo udah banggain Mama lo, gila, lo udah ikut beberapa lomba," kata Nuka tak habis pikir. "Gila aja kalo lo bilang belum banggain Mama lo."

Khalula menghela nafas panjang. Tak lama kue balok dan bandrek yang mereka pesan sudah berada di depannya, mereka segera melahap kue balok itu.

"Gue ikut kelas modeling," beritahu Khalula membuat Nuka tersedak.

Nuka menoleh dengan tatapan tak percaya. "Lo? Bukannya itu yang selalu hindari? Lo enggak takut nanti kalo lo udah terkenal, lo di bayang-bayangin netizen untuk menjadi yang sempurna, lo tau itu kan?" ucap Nuka. "Kekuatan mental lo belum cukup Khal untuk hadapi nanti, gue takut lo kenapa-kenapa. Asli deh, itu bukan passion lo, kan?"

Khalula diam, lalu menatap Nuka. "Mama yang daftarin."

Nuka menghela nafas panjang, "Mama lo lagi? Apa lo enggak cape jalani hal yang enggak lo sukai? Apa perlu gue tegur Mama lo?" kata Nuka berapi-api.

"Gue enggak tahu harus ngapain selain nurut sama Mama. Kalau gue enggak nurut, Mama pasti lukai hati gue, Ka." Khalula berbicara dengan nada rendah. "Ucapannya kadang lukai mental gue."

Nuka mengusap pundak Khaula, merasa kasihan dengan sahabatnya ini, harus menjalani hari-hari dengan besi yang terikat ditubuhnya. Nuka berharap Khalula bisa bebas dari besi itu, dan berharap menemukan titik terang. Ia takut Khalula kehilangan jati dirinya.

***

TBC

THANKS YOU!

NEXT KAPAN?

PrakataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang