Seratus persen Masih Kusut

9 1 0
                                    

Aku harus memulai yang baru lagi, dengan kertas baru

.

.

bab 4

.

Bel pulang sekolah berbunyi membuat seluruh siswa di kelas bersemangat mengumpulkan barang-barangnya dan keluar kelas. Keramaian ini rasanya sudah seperti di pasar.

"Aw!" teriak Fhina melangkahkan kakinya terburu-buru ketika melewati lantai depan papan tulis. "Sorry," lanjutnya dengan lembut.

"Lo buta? Sengaja, kan?" seru salah satu siswa yang menjadi petugas piket hari ini sambil menarik kerah baju Fhina. Dia cewe namun seperti cowo, jadi ya maklum saja.

"Kamu lagi haid apa? Gak usah gitu marahnya, dia gak sengaja." Farla mendekat dan menghentikan aksi teman sekelasnya itu yang membuat Fhina ketakutan. Ia langsung merangkul erat Fhina dan membawanya keluar kelas.

"Nyebelin tu anak manja, La. Kurang gede nih sapu, gak keliatan emang. Woy bendahara, beliin sapu yang panjang tangkainya sampai atap kelas! Atau gak guenya kurang gede kayanya, makanya sampah-sampah bisa dia tabrak. Ah, bikin emosi aja dah!" teriaknya sambil melihat Fhina dan Farla menjauh lalu melempar sapu yang ia pegang. Teman piketnya pun berusaha menenangkan dan ikut menguji kesabaran melihat singa betina ini ngamuk.

"Makasih, La. Rada sebel emang aku kalau kelas di acak-acak gini setiap dua semester. Padahal udah nyaman sekelas sama dua sahabatku dari SMP pas kelas sepuluh. Eh, malah dipisahin pas kelas sebelas." Farla tertawa mendengar ocehan dan ketakutan Fhina dengan teman tomboynya itu.

"Aslinya baik, kok. Baik banget!"

"Enggak baik, La. Sesama aja bisa disikat apalagi kalau cowo, kayanya udah dia injek-injek." Lagi-lagi Farla tertawa melihat Fhina gemeteran. Akhirnya ia pun ikut menertawai dirinya sambil mengelus lehernya yang hampir tercekik tadi.

"Mending langsung balik rumah, Fhin. Kalau gak, kamu bakalan dicari lagi sama dia terus diterkam. Haaummm!!"

"Ihh, Farla!" Senang rupanya Farla mengerjai teman sekelasnya ini.

"Ya, udah La. Aku balik dulu, thanks!"

"Yaps! Sama-sama." Sudah dua langkah, namun ia kembali membalikan badannya.

"La, kamu orangnya receh juga. Kirain selalu serius sama belajar, apalagi sama hubungan. Ups!"

"Hubungan mana yang mau diseriusin? Udah sana pulang, bentar singa nyamperin lagi baru tau rasa. Haaummm!!" serunya sambil memperagakan gaya singa memangsa dan mendekati wajah Fhina.

"Yang hubungan kamu sama-"

"Apa? Dikit lagi singa datang."

"Duh, sama itu!" Fhina mulai greget sendiri akan menyebut nama seseorang. Namun kepanikannya juga berjalan seimbang di otaknya.

"Kamu beneran mau diterkam? Udah sana!" pinta Farla sambil tertawa dan mendorong Fhina melangkah pergi menjauhi dirinya.

"Sama pemain basket yang ganteng, yang inceran ciwi-"

"Buruan pulang singa dateng!" Farla masih berusaha menakutinya.

"Duh, iya! Bye!" Ia tertawa sendiri melihat tingkah mantan seorang Darrel. Polos, ceplas-ceplos, jujur dan mudah untuk bercerita dengan siapa pun.

Kriuk...

Spontan tangan Farla memegangi perutnya. Matanya langsung bergerak melihat sekitar, apa ada yang mendengarkan atau hanya dia sendiri yang merasakan. Tapi memang rasa laparnya sekarang sedang memuncak. Langsung saja kakinya membawa dirinya ke kantin sekolah.

"Mbak'e, nasi ayam masih ada?" tanyanya pada salah satu kantin.

"Masih, dek. Mau?"

"Mau, pesen 1 makan disini." Pemilik kantin itu menyetujui permintaan Farla dan langsung menyiapkan pesanan. Usai bercakap, Farla mencari tempat untuk bisa makan dengan tenang, aman dan nyaman, meskipun suasananya sudah sepi dan beberapa sudah tutup. Namun matanya mendapati punggung seorang diri.

"Ngapain coba melamun sambil minum teh manis sendirian?" Yang diajak bicara pun menengok Farla. Ia terlihat kaget dengan kehadiran Farla yang seperti wujud hantu gentayangan berdiri disampingnya.

"Lagi pengen menyendiri aja," ucapnya datar. Tanpa meminta, Farla langsung meletakan tasnya di meja dan duduk di sebelahnya.

"Belum makan satu hari pasti, kan?" Ia hanya melihat Farla sekilas tanpa menjawab. Lalu tangan kirinya sibuk menopang dagu dan yang kanan asyik mengaduk es teh manisnnya dengan sedotan.

"Masih galau?" Lagi-lagi yang ditanya tidak menjawab. Farla yang geregetan pun menarik tangan kiri laki-laki dihadapannya, sehingga dagunya terjatuh dari topangannya. Jelas saja, pertahanannya lemah.

"Apa?!"

"Galak amat, Rel." Pesanan Farla akhirnya tiba, tangannya langsung saja menggerakan sendok dan garpu lalu melahapnya.

"Udah makan belum? Galau itu butuh energi juga."

"Aku lagi fokus galau, bisa gak kamu gak usah ganggu?" Farla yang sementara mengunyah malah jadi menahan tawa dan secepat mungkin langsung meneguk air.

"Jangan-jangan ada sesuatu sama hari ini yang sampai bikin kamu galau lagi." Darrel langsung menengok wajah Farla.

"Ada, sesuatu paling mencengangkan." Farla melihat mata sayu itu dan memperlambat tempo mengunyah. Sesuatu dari Darrel yang ia pendam sendiri.

"Apa?"

"Kata Fhina, jatuh cinta terlalu mudah buat dia, apalagi melupakan rasa itu. Lebih sangat mudah." Setelah mengatakan, Darrel tersenyum dan menganggukan kepalanya sembari meminum kembali minumannya. "Selama ini cuma dianggap bermain," lirihnya terdengar menahan tangis. Farla berhenti melahap dan mengelus pundak temannya itu. Ia mulai menyesal mempertanyakan hal itu.

"Kita healing jalan-jalan keliling kota gitu, yuk!" Darrel hanya diam. Sikapnya membuat Farla kebingungan dan melanjutkan makannya. Suasana hening sejenak. Namun, ia merasa tidak bisa dalam suasana ini.

"Gavin habis minta balikan juga kan, sama kamu?"

"Ha? Nanya sama aku?" Farla cepat-cepat meminum air setelah mendengar Darrel akhirnya memulai pembicaraan.

"Cuma kamu mantannya Gavin."

"Emang tahu info darimana?" Ia mulai resah mendengar nama makhluk itu.

"Satu angkatan udah tahu, lah. Kamu datang ke kelasnya bawa makanan yang ia kasi ke kamu." Farla mematung, tidak menyangka gosip itu menyebar secepat kilat.

"Hebat banget dari ngembaliin makanan, semua orang nyimpulin dia minta balikan sama aku. Syukur bukan aku yang dianggap minta balikan," keluh Farla seperti emak-emak yang lelah melihat kelakuan anaknya.

"Tapi kamu terima?"

"Emang dia minta balikan?"

"Jawabannya cuma dua, iya atau enggak?" Sungguh menjebak dan membuat emosinya agak terguncang mendengar gossip menyebar itu. Lalu, Farla mengeluarkan buku tulisnya dan merobeknya hingga didapatlah dua lembar kertas kosong.

"Gini, kamu lihat dua-duanya masih bersih, kosong dan rapi. Kalau salah satunya aku coret-tangannya mulai menulis kalimat asal di salah satu kertas dengan pulpennya-jadi ada isinya, kan? Ternyata ada seseorang yang menghancurkan tulisan rapi ini dengan meremas kertas ini. Terus setelah diremas, aku sendiri mencoba buka kertas ini. Hasilnya, kusut. Aku coba rapiin, tetep kusut. Terus gimana aku bisa ngumpulin tulisan ini ke guru?" Darrel menggeleng kepalanya yang nampak bingung melihat Farla menjelaskan.

"Aku harus memulai yang baru lagi, dengan kertas baru–sembari mengambil sisa kertas yang ia robek tadi–menulis tulisan baru lagi di kertas yang baru yang lebih bersih dan rapi. Menjaganya setelah ditulis, biar gak ada lagi orang lain yang mau ngancurin." Farla memberikan kertas itu kepada Darrel.

"Tulis masa depan kamu disitu. Lalu simpan dengan baik jangan sampai ada yang meremuknya."

"Jadi ini intinya apa, sih?"

"Intinya, jangan mau kembali sama orang yang pernah mengecewakan kita. Sampai sakit sekarang pun, jangan mudah goyah buat ngarepin orang yang tetap sama, yang tetap bikin sakit."

Dua lembar kertas kusutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang