Darrel Ganendra pernah milik Anamaria Dafhina

12 3 0
                                    

Kalau rasa suka dan sayang yang pernah aku rasain itu mudah, apalagi untuk perasaanku yang tiba-tiba hilang. Sangat lebih mudah.

.
.
bab 3
.

"Panas banget!" keluh hampir seluruh murid dalam barisan upacara.

"Tinggal berdiri aja, deh. Gak usah bacot!" perintah anggota OSIS yang selalunya berjaga di belakang barisan setiap hari Senin yang selalu dianggap menyebalkan ini.

Barisan telah rapi sesuai urutan kelas. Mulai dari kelas X dari arah kiri hingga berjejer ke kanan menuju barisan kelas XII. Namun ada satu barisan berbeda di arah pojok kiri dan menghadap ke arah matahari. Bahkan seluruh murid bisa melihat barisan berbeda itu.

"Ini aku gak salah lihat kan, seorang bestie kita yang rajin, bisa ada di barisan sanksi?" tanya seseorang pada teman lainnya sembari melihat gadis dihadapannya dengan nametag baju bertuliskan Anamaria Dafhina.

"Duh, bacot!" sahut Fhina yang merasa diledek pagi ini.

"Ada apa gerangan sih, bestie?"

"Dia kesepian tiap hari Senin di barisan disiplin terus, makanya nyusul kita."

"Bisa diem, gak? Lapor guru BK baru tau rasa!" ancam Fhina kepada dua sahabatnya itu yang hanya bercanda. Dua sahabatnya itu langsung terdiam dan ikut berbaris dengan rapi sesuai perintah guru yang ikut mengatur barisan sanksi. Sepertinya OSIS sudah tidak mempan untuk kelompok ini. Fhina berbaris paling ujung urutan kedua dan menunduk kepanasan.

"Masing-masing pemimpin pasukan menyiapkan barisannya," seru pembaca susunan acara dengan suara yang menggelegar.

Bayangan hitam datang dari sebelah kiri Fhina. Terlihat jelas rambut itu, rambut lurus yang pernah ia elus dan tubuh itu yang selalu melindunginya setiap upacara meskipun ia berbaris bukan pada barisan kelasnya. Badan tegapnya dan hembusan nafasnya terasa disamping Fhina ketika ia mencoba menyesuaikan dirinya dengan barisan. Ia kenal jelas. Dengan cepat ia menangadahkan kepalanya dan menengok pada sumber.

"Darrel?" bisiknya sambil mencoba menunduk kembali. Matahari begitu menyengat pagi ini. Darrel menoleh pada Fhina dan memberikan ekspresi sebagai tanda isyarat maksud dari raut wajah Fhina yang kaget.

"Tumben," lanjutnya membisik.

"Kamu juga," balas Darrel dengan bisikan dan tak lupa senyuman yang bikin semua wanita klepek-klepek.

Fhina bisa menebak laki-laki di sebelahnya ini memiliki kasus yang berbeda dengannya. Dasi, topi dan ikat pinggang lengkap ia gunakan. Pasti karena terlambat. Sedangkan dirinya menahan kepala dan wajahnya yang memanas karena lupa membawa topi. Bahkan keringatnya mulai mengucur deras disertai rasa malu dan gugup berada di sebelah seorang Darrel.

Gak guna banget orang di depan aku. Malah bikin kepanasan juga. Batinnya benar-benar menyiksa hari ini hingga ia selalu menunduk dan hanya mendengar pembawa acara mengarahkan upacara.

"Pengibaran bendera merah putih diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya." Klimaks dari upacara akan segera dimulai. Namun Fhina sudah nampak lemas dan makin kepanasan.

Ini gak ada angin apa, ya. Matahari semua, kaya ada 10. Batinnya terdengar semakin menyiksa dan tangannya mencoba untuk mengipas dan sesekali menunduk lagi, tidak peduli pembawa bendera telah melakukan tugasnya sampai mana. Mata Darrel juga tidak bisa berbohong, beberapa kali melirik gadis di sampingnya, memastikan kondisinya masih berdiri dengan baik atau tidak.

"Kepada, bendera merah putih hormat gerak," teriak pemimpin upacara dengan lantang yang membuat seluruh barisan serentak mengangkat tanganya. Namun arah tangan Darrel melenceng, dengan cepat kilat ia melepas topinya dan menaruh begitu saja di kepala Fhina yang masih saja menunduk.

Bahkan sedikit lagi tangannya akan mendekati ujung alis untuk melakukan gerakan hormat. Sontak saja ia kaget dan membeku seketika. Ujung jarinya yang ia gunakan untuk hormat, diam-diam memperbaiki topi yang ada di kepalanya.

Ia tahu ini ulah siapa. Pipinya hampir saja merah merona lagi. Pandangannya kini bisa menghadap lurus ke depan. Sesekali melirik ke kiri dan mendapati Darrel tidak memakai topi. Berarti tebakannya benar. Ia telah mengorbankan kepalanya agar terbiar panas matahari.

Usai paduan suara bernyanyi, ia kira Darrel akan mengambil topi tersebut sembari menurunkan tangannya dari sikap hormatnya. Fhina masih merasakan topi itu masih di kepalanya, berusaha tenang dan tidak gugup dari kepanasan manusia dan duniawi. Namun keringatnya masih saja mengalir membasahi tangannya. Sesekali tangannya mengipas agar ada angin yang ia rasakan. Tiba-tiba tangan Darrel menyodorkan sapu tangannya. Mata mereka bertemu tanpa ucapan apapun dan Fhina pun menerimanya.

Sesekali Fhina menengok ke arah kanan, barisan sanksi memang berisikan manusia tidak tau berdosa. Masih sempatnya mereka bergosip dengan suara besar meriuhkan barisan. Sedangkan Darrel, bola matanya melirik Fhina yang masih saja seperti orang merindu akan tingkahnya.

"Upacara selesai, barisan dibubarkan oleh pemimpin upacara." Belum selesai aba-abanya, barisan sudah kacau, melebur dan ribut. Namun tidak untuk barisan sanksi, guru-guru sudah siap menahan mereka dengan membawa buku catatan sanksi.

"Yah, bapak!" keluh siswa kompak.

"Mulai dari barisan ini." Ditunjuk lah barisan paling kiri, "barisan terlambat?" Salah satu murid pun mengiyakan termasuk Darrel.

"Kalian cabut rumput dan pungut sampah-sampah di sebelah sana," suruhnya sembari menunjuk area depan kantor guru. Kemudian ia lanjut dengan mencatat 38 siswa yang terlambat hari ini.

"Ini barisan tidak lengkap memakai atribut?" tanyanya dengan balasan iya yang keras dari siswa-siswanya.

"Kalian cabut rumput di sebelah sana," suruhnya lagi sambil menunjuk area taman outdoor kelas. Setelah mencatat, barisan itu bubar dan mengikuti perintah guru tadi.

Dari kejauhan, Darrel melihat Fhina yang masih memakai topinya. Hanya itu caranya melindunginya. Sesekali memungut sampah, sesekali juga pantauannya tidak pernah lepas melirik dari kejauhan.

Usai 15 menit bergotong royong, Fhina menhampiri Darrel di westafel taman sekolah yang baru saja selesai mencuci tangan.

"Thanks! Sapu tangannya aku cuci dulu," serunya dengan mengembalikan topi yang ia gunakan.

"Tumben kamu lupa bawa topi," katanya memulai percakapan.

"Kamu juga tumben lambat. Ada masalah?" tanyanya balik dengan penasaran.

"Nothing. Cuma lambat bangun. Kamu?"

"Aku udah ingat banget naruh topi di tas, ternyata gak ada. Kayanya gara-gara buru-buru."

"Terakhir kamu di barisan itu sekitar setahun lebih yang lalu." Fhina terdiam berpikir keras mengingat kapan hal yang Darrel maksud.

"Oh iya, kamu juga!"

"Iya, hari pertama lihat kamu dan kenal kamu. Sama persis seperti tadi." Fhina bergumam dan mengangguk ingat akan kejadian itu.

"Thanks, aku balik ke kelas duluan." Namun Darrel berhasil mendekap pergelangan tangan Fhina yang mungil.

"And I still love you." Keduanya saling menatap beku hingga Darrel memuaskan hatinya yang sangat merindukan menatap dekat wajah Fhina.

"Comeback, please!" Mata Darrel tidak bisa lepas sedangkan Fhina beberapa kali menunduk. Tangannya mulai bergerak untuk melepas genggaman.

"Jangan coba memohon lagi. Aku gak bisa, Rel."

"Beri alasan!"

"Aku udah bilang, kita udah gak searah bahkan perasaanku udah berbeda. Gak bisa dipaksain."

"Semudah itu?"

"Kalau rasa suka dan sayang yang pernah aku rasain itu mudah, apalagi untuk perasaanku yang tiba-tiba hilang. Sangat lebih mudah, Rel." Darrel mengangguk dan langsung pergi meninggalkan Fhina tanpa sepatah kata kelanjutan atau penjelasan arahnya percakapan.

🍃

So, want to geplokin Fhina atau Darrel?

Dua lembar kertas kusutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang