Membuka lembaran kertas baru

16 1 0
                                    


Biar bisa dibawa kemana-mana dan bisa dilihat setiap saat terus disimpan dengan rapi biar gak ada orang yang buat hancurin, begitulah namanya harapan. Ya, kan nona?
.
.
Bab 13
.

Memikirkan kembali yang telah usai dan hilang, memang sakit rasanya ternyata. Dunia rasanya begitu pintar meletakan kata penyesalan pada akhir cerita. Bahkan Fhina tidak mengerti, mengapa harus rela melepaskan hatinya yang sudah ia pertahankan setahun sudah. Ia juga bingung dengan dirinya yang tidak konsisten, masih sakit diingatannya melihat Darrel menggenggam erat tangan Farla, teman sekelasnya, teman ceritanya, teman sebangkunya.

Hatinya juga sudah terlanjur ia percayakan untuk Farla sebagai teman, atau mugkin bisa menjadi sahabat. Namun masih sangat iri melihat perakuan Darrel yang peduli terhadap Farla. Panas sekali rasanya dunia ini meskipun sudah menyalakan AC di suhu 16 derajat celcius.

"Oh?" Gavin berdiri tepat dihadapan mereka berdua dengan menaikan salah satu alisnya. Bukan Gavin yang Darrel tatap. Tapi Fhina yang tidak sengaja berada berdiri di belakang Gavin dan dua bocah pengikut di belakangnya, Akas dan Reyan. Itupun hanya beberapa detik saling tatap mereka, kemudian menanggapi raut wajah Gavin yang semakin penasaran.

"Iya." Farla yang sibuk dengan dirinya, sama sekali Fhina yakin 100% dia tidak mengetahui keberadaannya yang mematung ini. Usai saling tatap tidak jelas, Farla ditarik menjauh berjalan berbalik arah meninggalkan Gavin yang berdiri sendirian. Fhina lihat jelas itu, begitu juga Gavin yang seperti patah semangat hidup. Padahal tubuhnya baru saja patah habis ditonjok lawan berkelahinya yang entah apa masalahnya.

Fhina belum kunjung pulang. Mau ke kantin, tapi malah sembunyi dan mengintip.

"Lucu amat helmnya, beli?"

"Buat kamu tapi simpan helmnya sama aku. Jadi gak ketinggalan setiap pulang atau berangkat sekolah bareng aku."

Fhina mendengus kesal.

"Cie... pake helm bekas gue," bisiknya pada diri sendiri. Helm pink itu, warna itu adalah favoritnya. Darrel membelikannya untuk Fhina biar gak ditangkap polisi di jalan dan karena waktu itu si cowo masih bucin banget, jadi demi keselamatan Fhina dibelilah helm lucu itu.

Fhina menghela napas panjangnya usai melihat mereka berdua pergi saling berboncengan.

"Cie... jomblo lagi liat mantannya bonceng cewek baru," ejeknya pada diri sendiri sembari menarik ingus dan menahan air mata.

***

"Wajib buat tau?" tanyanya dengan intonasi tegas yang membuat Darrel ragu untuk menjawabnya.

"Ya, apa salahnya?"

"Salah, karena mengungkit masa lalu itu tidak baik!"

"Yaudah gak papa kalau gak mau cerita, yang penting sekarang hidup kamu udah lebih tenang." Ia rebahkan tubuhnya diatas rumput hijau dan melipat kedua lengannya ke belakang sebagai bantalan kepalanya.

"Iya, ternyata terima dia dan menganggap dia jadi teman itu bikin hati kita tenang. Gak ada perasaan buruk gitu. Mungkin ini saatnya aku coba hal-hal yang baru juga."

"Ha? Coba hal baru apa?" tanya Darrel yang kaget dan membuat otaknya berkeliling dunia.

"Ih, kok kaget! Maksudnya itu, aku mau balik ikut bimbingan olimpiade kimia di sekolah. Jadi kan masa SMA aku ada manfaatnya juga, ya kan?"

"Emangnya selama ini kenapa?" Darrel jago memancing juga ternyata. Suasana hening sejenak, ia pikir pancingannya gagal.

"Sama Gavin banyak sakitnya, tapi banyak hal yang bikin aku bahagia juga. Dia terlalu mengekang, tapi bodohnya aku pahamnya itu artinya tanda sayang. Tapi dia juga terlalu menjadi emas buat aku punya, sampai bangga setiap orang-orang muji dan teriakin dia karena permainan basketnya yang... boom!" Tangan Farla ikut mengartikan ekspresinya seperti ada ledakan.

Dua lembar kertas kusutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang