Ingat, bukan balas dendam!

11 2 0
                                    


Yang tadi bukan balas dendam namanya. Itu namanya menguji kesabaran seseorang
.
.
Bab 12
.

"Darrel!" panggil Farla usai melangkahkan kaki keluar kelas dan melihat punggung Darrel dari jauh dengan hoodie kebangaannya berwarna biru. Lelaki bertubuh tinggi itu menengok ke belakang dan langsung mendapati Farla dengan senyuman manisnya.

"Nih, makasih banyak nasi gorengnya. Enak!" Farla memberikan tempat bekal milik Darrel lalu memperlihatkan dua jempolnya.

"Udah dicuci belum?" tanya Darrel usai menerima tempat bekalnya kembali.

"Aman, mas! Aku juga tau diri kali," ucapnya sembari menyamakan langkah dan berjalan melewati lorong kelas. "Emang dalam rangka apa, sih ngasi aku sarapan enak?"

"Ini ikhlas gak bilang enaknya?"

"Iyalah! Malah aku mau minta resepnya."

"Rahasia!"

"Ih, pelit. Ada acara ya, di rumah kamu?"

"Gak ada, La. Iseng aja buatin buat kamu, kebetulan aku buatnya banyak tadi pagi."

"Bukan mama kamu yang masakin, ya?" Farla masih berusaha memancing berbagai pertanyaan, rasa penasarannya mulai muncul akhir-akhir ini.

"Enggaklah, emangnya cowo kaya aku gak bisa masak?" tanya Darrel kembali pada si wanita kepo ini dengan tatapan manisnya.

"Ya, bisa aja."

"Kamu pulang sama siapa? Sama aku aja, deh!" Darrel langsung mengalihkan pembicaraan.

"Belum sempet jawab, dia yang nanya dia juga yang jawab," sindir Farla yang sedang berjalan menunduk dan berusaha menyamakan langkahnya lagi. Namun, ia berhenti karena serangan cepat tangan Darrel yang memegang tangannya. Matanya membesar kaget dan langsung melihat yang terjadi di hadapannya.

"Oh?" Gavin berdiri tepat dihadapan mereka berdua dengan menaikan salah satu alisnya.

"Iya." Farla tidak mengerti dengan jawaban Darrel yang sama sekali tidak nyambung dengan raut wajah Gavin. Usai saling tatap tidak jelas, Farla ditarik menjauh berjalan berbalik arah meninggalkan Gavin yang berdiri sendirian.

"Ada barang aku yang ketinggalan di kelas."

"Harus banget sampai narik tangan?" usai ditegur, Darrel melepas genggamannya dan berjalan seperti biasa diikuti Farla yang masih bingung dengan kelakuan dua bocah tersebut.

"Apa yang ketinggalan?" tanyanya saat di dalam kelas. Suasana sepi dan sudah bersih serta rapi.

"Langkah kakiku ketinggalan."

"Ha? Ngaco lo, ya! Wah, kebangetan banget bercandanya, mana capek!" Darrel tertawa melihat emosi Farla yang meledak. Gayanya sudah seperti preman yang mau malak minta duit.

"Gak, gak, ini pulpen aku di laci meja ketinggalan."

"Cuma pulpen doang, gue punya satu pak, gue kasi dah ke lo. Gak segininya juga kali!"

"Kok marah, sih? Gak sempet nyapa nanya kabar sama Gavin, ya tadi?" Farla mulai melipat kedua tangannya di dada. Kedua alisnya mulai menyatu dan dahinya mengkerut.

"Okey, kita pulang." Darel mulai menebak, api-api akan keluar dari kepala dan telinga Farla. Sebelum meledak lagi, Darel buru-buru merangkul Farla dan menariknya bergegas keluar kelas dan menuju parkiran.

"Kamu bisa gak, gak mancing?"

"Aku gak suka mancing, La."

"Terus tadi apalagi tuh yang kamu bikin?"

Dua lembar kertas kusutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang