.
.
Bab 17
.
Farla yang ditarik menjauh dari keramaian oleh seseorang secara tiba-tiba tidak membuat Fhina tersadar. Namun setelah Gavin berhasil membuat poin baru dalam pertandingannya, ia baru menyadari temannya sudah tidak ada di sampingnya. Ia tahu siapa yang menarik Farla, namun belum pernah ia melihat sekasar itu. Hoodie warna biru langit polos tanpa gambar atapun tulisan, serta sepatu sneakers berwarna putih, itu Darrel.
Ia sengaja membiarkan mereka berdua pergi, tidak ada panggilan dari Farla ataupun dari dirinya. Bahkan hatinya sekarang, tidak bisa diartikan melihat tingkah dua manusia itu yang semakin dekat. Raut wajahnya semakin datar dan rasa minat untuk melihat pertandingan sudah tidak ada.
"Ke... kenapa ka... mu seposesif ini?" tanya Farla dengan intonasi pelan dan ragu yang menujukan keluguannya. Bukan, bukan, itu rasa takut, rasa trauma, rasa ingin segera menjauh dari Darrel sekarang.
Darrel menghela napas panjangnya, "sorry, La." Ia menyapu rambutnya ke belakang dan memijat pelipisnya. "Serindu itu kah, La?"
Farla meneteskan air matanya dan mencoba menjawab dengan suara bergetar, "maaf, Rel. Soal rindu, itu pasti ada."
"Terus kenapa nolak Gavin? Terus kenapa masih coba buat lupain dia? Masih coba buat move on, ujung-ujungnya kesini lagi buat lihat dia, itu kan bisa bikin flashback. Kenapa, La?" Darrel memperbaiki intonasi suaranya, lebih lembut. "La, kalau masih mau kembali aku bantu."
"Enggak," tangkas Farla menggelengkan kepalanya berulang. "Bantu aku lagi, Rel. Rindu itu wajar, kembali melihat dia juga wajar, yang gak wajar kalau aku sejak kemarin bertingkah di depan dia seolah-olah minta kembali padahal otakku udah bilang gak mau," tegas Farla. Jari-jarinya tidak bisa diam, saling memainkan seperti mengotak-atik sesuatu.
"Aku antar kamu pulang." Darrel yang melihat permainan jemari Farla, ia tahu itu tanda takut ataupun gugup, langsung digenggamnya.
"Tapi aku sama Fhina, dia disana." Farla menunjuk ke tempat mereka bersama tadi. Namun tidak ada tampaknya disana.
"Mana?"
"Tadi disitu, sekarang..." Ia langsung pergi meninggalkan Darrel dan berjalan mencari Fhina. Tetapi yang dicari sama sekali tidak menunjukan keberadaannya.
"Coba telfon!" suruh Darrel yang menyusul langkahnya, juga sebenarnya ikut khawatir, namun ia berusaha menyembunyikan raut wajahnya itu. Matanya tidak berhenti juga melihat sekeliling.
"Gak diangkat," lanjut Farla kepada Darrel, ia tatap wajah Darrel untuk mendapatkan responnya, namun pandangan Darrel sibuk sendiri kesana kemari tanpa melihat Farla lagi.
"Coba cek, parkiran!" suruh Darrel lagi tetapi ia lebih dahulu pergi menuju ke tempat parkiran. Farla yang melihat tingkahnya seperti merasakan ada rasa gelisah yang ia usahakan disembunyi sedari tadi.
"Motornya juga gak ada, tadi di parkir disini," sahut Farla yang juga mengikuti Darrel ke tempat parkiran. Ia langsung menekan tombol panggilan yang ketiga kalinya.
"La, gak usah ditelfon lagi. Kayanya lagi di jalan. Dia gak suka diganggu kaya ditelfon gitu kalau bawa motor, nanti kamu kena marahnya lagi. Mau seratus kali ditelfon, dia gak akan menepi berhentiin motornya buat angkat. Kalau pun mau suruh dia pake earphone buat telfonan, dia gak mau. Fokusnya cuma buat nyetir. Jadi, percuma aja. Coba chat buat tanya keberadaannya, mungkin sekitar lima belas menit atau dua puluh menit lagi bakal dia balas." Bahkan sedetail itu Darrel mengetahui Fhina tentang bagaimana ia berkendara, bagaimana caranya memberi dan diberi kabar.
Lantas, semudah itu rasanya hilang? Mungkin belum hilang, Farla bahkan baru sadar Darrel menggunakan cara berbeda. Menjadikan dirinya sebagai teman, bersikap peduli dalam diam seperti sekarang, menampakan dirinya terlihat bahagia, tidak mau menyapa Fhina. Itu bukan balas dendam, kan? Farla langsung mematikan panggilan tersebut dan terdiam. Tidak ada yang bisa ia ungkapkan. Teringat pembicaraannya dengan Fhina yang masih ingat jelas sikap Darrel dalam menyelesaikan masalah bukan dengan perkelahian. Namun nyatanya, saksi mata yang menceritakan dengan Farla, justru Darrel yang terpancing emosi dan menarik kerah Gavin duluan.
"Yaudah, pulang sama aku aja." Ia langsung menggenggam tangan Farla dan membawanya ke tempat parkiran yang lain. Tiba di motornya, ia langsung menggunakan helm pink tersebut pada Farla.
Bahkan helm pun masih kamu bawa kemana-mana. Aku rasa ini awalnya bukan untuk aku.
***
Gavin baru saja tiba di rumah. Masih mengenakan baju yang ia gunakan saat pertandingan tadi dan menggendong ranselnya pada satu sisi lengan saja. Ia menuangkan air dari teko ke gelasnya di dapur untuk melepas dahaganya. Hingga ia terduduk dan membayangkan betapa semangatnya melihat senyuman Farla dulu saat ditemani pertandingan seperti ini. Rasanya berbeda energinya akhir-akhir untuk bertanding. Cuih! Syukurnya team-nya menang.
"Gavin! Sudah datang anak mama!" seru mama yang membawa dua tas belanjaan, tangan kanan dan tangan kirinya penuh dengan bawaan.
"Beli apa ma?"
"Tadi, mama habis dari toko kue teman mama yang baru buka. Terus tau gak?" Darrel menggeleng-geleng.
"Ya gak tau, ma."
"Tanya dong, apa tuh ma. Gitu kek." Mama ternyata makin jago melucu dan menggoda anaknya ini.
Gavin menghela napas melihat kelakuan mama yang makin gaul, "apaaaa maaaa?" Nadanya memelas dan tiap kata disebutnya dengan panjang.
"Taraa!!" teriak mama memberikan kejutan yang mengeluarkan setoples kue ukuran kecil. "Warnanya lucu banget, ini rasa matcha, Vin! Pasti Farla suka."
"Ha?" Darrel mulai panik nama Farla disebut kembali. Tapi, ya Farla suka matcha.
"Liat, warna ungu, cantik banget! Farla suka pasti." Mama mengeluarkan toples kedua.
"Kenapa Farla lagi, ma? Buat Gavin gak ada gitu yang cokelat?"
"Ada! Tapi kamu harus kasi dua toples kue ini sama Farla besok di sekolah," pinta mama dengan cengiran tidak jelas. Seperti ibu-ibu yang mengalami masa pubertasnya lagi.
"Maaa, gak mau ketemu dia lagi aku ma."
"Loh, kok? Kalian kan masih teman-an. Ayolah, Farla tuh sering banget bawain kue buat mama, sering ke toko kue sama mama, gimana caranya bisa lupa buat beliin Farla kue apalagi warna dan variannya cantik, lucu kaya gini setiap ke toko kue?"
Ini yang gak move on siapa, sih?
"Tapi janji ya, ma kue cokelat satu toples buat aku!"
"Mama, justru punya yang spesial buat Gavin, kalau sekarang juga sepakat buat bawain Farla kue ini besok."
"Tapi ma, ini rasanya enak gak? Mending cicip dulu deh satu biji sebelum kasi ke orang, takutnya gak enak terus dia gak suka." Tangan Gavin langsung membuka toples tersebut, namun tangannya langsung disentil dengan mama. "Aduh!" Tampak raut muka kesakitan dan tidak suka tanggapan mama. Toples tersebut direbut mama dan tutupnya diperbaiki kembali.
"Ada desert pokoknya buat kamu. Tapi sepakat dulu!" Sungguh pemaksaan bagi Gavin, berat rasanya untuk bertemu Farla lagi usai mengingat perjuangannya meminta balikan sudah sia-sia.
"Sepakat," tegas Gavin sembari mengetok meja sebanyak tiga kali, memperagakan orang yang mengikuti persidangan musyawarah besar.
"Ah, jadi sayang!" Peluk mama dengan erat meskipun Gavin sudah mandi keringat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua lembar kertas kusut
Teen FictionRekomendasi WattpadRomanceID bulan November 2022 Segelas caramel macchiato dan suasana yang tidak terlalu ramai, menemani dua sejoli yang bercerita kisah cinta mereka masing-masing yang baru saja usai. Satu tahun Darrel pupus, begitu juga delapan bu...