| DELAPAN |

165 1 32
                                    

Gadis itu kini membawa nampan yang berisi bubur dan juga obat yang diperlukan. Setelah mengecek kondisi Jeksa yang masih dalam keadaan demam tinggi.

“Jeksa bangun. Makan dulu.”

Laki-laki itu hanya membalas dengan gelengan kepala.

“Makan ya? Gue udah bikin bubur ini loh. Kalau nolak gue pulang nih?.”

“Pusing Tha.”

“Minum dulu coba biar gak pusing.” Tawar Kanietha kali ini diangguki oleh Jeksa. Ia memberikan gelas berisi air putih dan membantunya untuk minum.

“Makan ya dikit aja.”

Jeksa mengangguk pasrah. Kanietha memilih menyuapkan bubur itu, dirasa Jeksa terlihat lemas.

Alhasil Jeksa hanya bisa memakan bubur itu sebanyak dua sendok. Yang terpenting bagi Kanietha ada makanan yang masuk ke dalam perutnya.

“Sekarang tidur aja ya? Istirahat dulu biar gak pusing. Nanti pas bangun baru minum obat.”

Jeksa terdiam tak membalas ucapan Kanietha.

“Jeksa, tidur..” Titahnya lagi.

“Nanti,” balasnya sambil menatap Kanietha.

“Biar pusingnya ilang. Sebelum minum obat istirahat dulu.”

“Nggak mau tidur.” Ucap Jeksa seperti anak kecil.

"Kenapa? kan biar cepet sehat. Bentar lagi turnamen kan?.”

Jeksa memijat pelipisnya pelan. “Nanti kalau gue tidur lo malah pulang.”

Sungguh, Kanietha ingin menahan tawanya. “Gue gak bakal pulang sebelum lo minum obat. Udah ah sana tidur.”

“Bener ya?.”

“Iya Jeksa.” Balas Kanietha dengan nada yang malas. Sebelum ia pergi ke bawah gadis itu merapikan mangkok bekas tadi.

“Udah tidur?.” Namun tak ada jawaban dari Jeksa.

“Syukur deh. Selamat tidur dan cepet sembuh.” Ucapnya sambil mengelus puncak kepala Jeksa dengan lembut.

Sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan ruangan itu.

____

“Gimana Non? Jeksa mau makan?.”

“Cuman dua suap Bi. Tapi seenggaknya udah ada makanan yang masuk.”

“Syukurlah kalau gitu. Bibi khawatir dari semalam dia nggak mau makan. Den Jeksa kalau lagi sakit suka gitu Non.”

“Gitu gimana Bi?.”

“Selain nggak mau makan. Dia juga nggak mau minum obat, Jeksa lebih milih buat nunggu sembuh dengan sendirinya.”

“Kok gitu sih Bi? Mama sama Papa nya emang nggak khawatir?.”

“Nyonya sudah meninggal Non. Waktu Jeksa umur 11 tahun.”

Gadis itu sangat terkejut mendengar penuturan dari wanita paruh baya yang kini sedang mencuci beberapa piring kotor. Kanietha menutup mulutnya.

“Maaf Bi. Kanietha nggak bermaksud.”

“Nggak apa-apa Non. Lagian Non Kanietha baru kenal dengan Jeksa sejauh ini kan?.”

“Bibi hanya bisa memberitahu sebagian. Selebihnya biar Jeksa yang menjelaskan semuanya ya. Kalau Non Kanietha masih penasaran.”

Ucapan wanita itu sambil sedikit tersenyum. “Iya Bi makasih ya.”

Tak lama terdengar suara mobil yang masuk ke dalam garasi rumah itu. “Itu siapa Bi?.”

“Itu Papa nya Jeksa.”

Jayden melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Ia mengerutkan dahinya saat melihat kehadiran Kanietha di dalam sana.

“Ada siapa ini?.”

“Saya Kanietha Om. Temannya Jeksa.”

“Oh iya lagi jenguk Jeksa ya. Gimana keadaan dia sekarang?.” Balas Jayden ramah sambil membalas uluran tangan gadis itu.

“Jeksa tadi tidur om. Dia udah makan bubur tadi.”

“Apa? Bubur? Jeksa mau makan waktu dia sakit?.”

“Iya tuan. Tadi dia mau makan, buburnya aja tinggal sedikit lagi.”

“Tumben loh. Dari dulu kalau dia sakit nggak mau makan selain minum susu.”

“Saya sangat berterimakasih pada kamu. Berkat kamu Jeksa mau makan, terimakasih telah menjadi teman yang baik bagi Jeksa.”

“Sama-sama Om.”

“Yasudah kalau begitu saya izin ke atas dulu. Kamu kalau mau makan silahkan ya, anggap saja rumah sendiri.”

Selepasnya Jayden pergi menuju kamar tidurnya untuk sekedar bersih bersih. Begitupun Kanietha ia memilih kembali ke kamar Jeksa untuk mengecek keadaan laki-laki itu.

“Jeksa masih pusing?,” tanya Kanietha sambil menempelkan punggung  tangan nya di dahi Jeksa dengan suhu tubuh yang masih sama.

“Sekarang minum obat ya.” Kata nya sambil menuangkan Paracetamol ke dalam sendok.

Dengan berat hati, Jeksa bangun dan membuka mulutnya untuk  menerima suapan obat itu bersamaan dengan air putih.

“Tha,” panggil Jeksa, dengan sedikit tersenyum.

“Kenapa?.”

“Tadi pas gue tidur ngapain aja? Pasti bosen ya.”

Gadis itu dengan cepat menggelengkan kepalanya. “Tadi ebawah simpen mangkuk sama ngobrol dikit sama Bibi.”

“Ngobrolin apa?.”

“Bukan apa-apa kok.”

“Masa sih? gue gak percaya.”

“Nanti aja deh gue ceritain. Sekarang lo istirahat lagi.”

Dengan pasrah laki-laki itu menurut. Namun tak lama matanya kembali terbuka ketika melihat Kanietha yang membereskan barang miliknya.

“Lo mau pulang?.”

Gadis itu mengangguk sebagai jawaban. “Nggak bisa ya nginep disini?.”

Pertanyaan dari Jeksa membuat Kanietha membulatkan kedua bola matanya. “Lo aneh-aneh deh. Masa gue nginep.”

“Terus yang ngasih obat gue siapa?.”

“Kan ada Bibi. Papa lo juga tadi udah pulang.”

Perkataan Kanietha tidak mendapatkan respon apapun dari Jeksa.

“Besok deh gue kesini lagi jenguk. Besok katanya sekolah setengah hari, jadi bisa disini lama.”

“Beneran?.”

“Iya Jeksa.”

“Yaudah deh. Eh lo pulang sama siapa? gue anter.”

“Dih apa-apa an lo lagi sakit ya jangan banyak gerak. Gue udah telfon supir kok.”

“Udah ya gue mau pulang takut keburu malem. Jangan lupa makan lagi nanti malem sama minum obatnya juga. Kalau ada apa-apa chat aja.”

“Kalau nggak ada apa-apa tapi chat lo boleh?.”

Namun pertanyaan itu tak mendapatkan respon dari Kanietha. Malah gadis itu melenggang pergi meninggalkan Jeksa.

Padahal Jeksa tau kedua pipi Kanietha terlihat merah saat ia mengatakan hal itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ARCHIVE JEKSA [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang