Chapter 6 : Kebetulan Sekali

5.1K 38 7
                                    

*Sebelum baca tolong jangan lupa klik Vote dan Follow akunnya dulu karena itu sangat berarti untuk penulis. Happy reading ^^* 


"Sekarang, Tuan? Pagi dini hari?" Saat itu Bi Inah membawa pakaian kerja Dicky yang tercium bau harum perfume wanita.

"Kecilkan suaramu. Iya, sekarang. Apa ada masalah? Saya mau baju itu sudah dalam keadaan tercuci dan bersih besok pagi," jawab Dicky seraya berbisik.

"Ba-baik, Tuan. Kalau begitu saya cuci sendiri saja tidak perlu pakai mesin cuci."

"Ya tidak apa-apa. Saya istirahat dulu."

"Oh ya, Tuan. Apa mau teh hangat atau susu hangat?" tanya Bi Inah sebelum beranjak pergi dari tempatnya berdiri.

"Tidak perlu, saya mau langsung tidur saja. Besok pagi buatkan seperti biasa."

"Baik, Tuan."

Lalu, Dicky masuk ke dalam kamar tidurnya, sementara Bi Inah pergi ke teras belakang tepatnya ke tempat untuk mencuci pakaian, kemudian mengisi ember berukuran sedang dengan air dingin dan memasukkan detergen cair secukupnya, lalu memasukkan kemeja kerja Dicky ke dalamnya.

Sambil menunggu kemeja yang sedang direndam, Bi Inah duduk di kursi kecil di samping ember. Malam itu, secara kebetulan Tejo terbangun dan ingin buang air kecil. Pria paruh baya itu bangkit berdiri dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar. Saat kakinya melangkah menuju ke kamar kecil yang terletak di samping dapur. Secara samar dia melihat Bi Inah yang sedang duduk seorang diri sambil merenung di pagi dini hari yang dingin. Karena penasaran, lantas dia pun menghampiri Bi Inah dan memanggilnya, "Inah, ngapain kamu di situ? Ngelamun lagi."

Bi Inah terkejut mendengar seseorang memanggil namanya, dia menoleh dan mendapati Tejo yang sedang berjalan ke arahnya. Dan dia pun menjawab, "Aku diminta Tuan mencuci kemejanya. Kamu mau ke mana?"

"Aku mau ke kamar mandi, mau kencing. Kenapa nyucinya enggak besok pagi aja? Apa harus sekarang?"

"Iya, harus sekarang katanya."

"Hah? Kok bisa? Masa Tuan bilang begitu?"

"Iya, Tuan bilang begitu. Temani aku."

"Lah, napa harus ditemani? Takut ya?" goda Tejo seraya tersenyum jahil.

"Bukan takut, cuma ingin ada teman aja."

"Ya udah, bentar ya. Buatkan aku kopi sama ambilkan makanan apa gitu."

"Oke."

"Lha pakai oke-oke segala. Sudah sana buatkan."

"Iya, sabar."

Pagi dini hari itu, Bi Inah mencuci baju Dicky yang tercium parfume wanita yang cukup kuat. Sebenarnya hati Bi Inah cukup bergejolak melihat dan mengetahui semua hal itu sendiri. Dia tidak pernah menyangka jika Tuan yang selama ini dia hormati tega mengkhianati sang istri yang sudah begitu setia.

Keesokan paginya, kegiatan berlangsung seperti biasanya. Anehnya untuk pagi ini, Dicky ikut sarapan bersama dengan Melinda. Pria itu tampak memperlakukan istrinya dengan baik dan mesra membuat Bi Inah yang sesekali mondar mandir dari dapur ke ruang makan menjadi heran dibuatnya. Wanita paruh baya itu tidak habis pikir dengan perilaku sang majikan.

Setelah makan pagi, Dicky bergegas pergi bekerja ke kantor miliknya yang terletak cukup jauh dari rumah. Sementara Melinda memilih untuk mengisi hari dengan pergi ke tempat pijat langganannya. Sebelum jam menuju makan siang, Melinda berpamitan kepada Bi Inah, siang itu dia diantar oleh Pak Tejo.

Sesampainya di tempat pijat langganannya, Melinda langsung disambut dan diarahkan oleh seorang gadis muda ke sofa pijat yang telah tersedia, berbagai peralatan pun telah tersedia di sampingnya seperti handuk, minyak pijat, majalah, makanan ringan, dan minuman sesuai pesanan Melinda sebelumnya.

Sofa pijat yang terdapat di tempat pijat itu memiliki letak saling berhadapan antara sofa yang satu dengan sofa yang lain, namun berada pada jarak yang cukup jauh dan tidak berdekatan sama sekali. Saat itu, ketika Melinda masuk, terdapat dua orang wanita yang juga sedang dipijat. Satu orang dari dua wanita itu memilih untuk bersandar sambil memejamkan mata dan mendengarkan musik dari ponsel-nya.

Beberapa menit di awal, semua masih tampak biasa. Hingga tiga puluh menit kemudian, wanita yang semula memejamkan mata tersebut tiba-tiba bercerita kepada temannya bahwa kekasihnya akan makan malam di apartemennya.

"Dew, kasih aku saran untuk makan malam nanti. Enaknya makan apa ya?" tanya gadis itu. Melinda yang saat itu cukup penasaran, lantas mengarahkan pandangannya matanya ke dua wanita itu. Penampilan keduanya sangat seksi dan cukup terbuka. Harus Melinda akui jika tubuh mereka berdua memang bagus.

"Memangnya ada acara apa? Tumben kau meminta saran," jawab temannya.

"Mas Dicky mau datang dan makan malam bersamaku."

Mendengar kata 'Dicky', Melinda masih tampak tenang meski sedikit heran.

"Dia tidak makan bersama istrinya? Aku kasihan pada istrinya," ucap temannya.

"Dia bilang dia malas makan di rumahnya, katanya istrinya tidak menggoda seperti aku. Mungkin dia sudah malas dengan pernikahannya karena katanya istrinya mandul."

"Hah? Lalu, apa mereka tidak pergi berobat atau semacamnya?" tanya temannya.

"Sudah tapi tidak membuahkan hasil. Jadi, aku akan memberi anak untuk Mas Dicky."

"Kau sangat beruntung, Nara. Dia sangat memanjakanmu."

"Ya, aku memang beruntung. Aku sangat mencintai Mas Dicky."

Mendengar cerita yang terlalu kebetulan membuat Melinda mengernyitkan dahi dan memandang kedua wanita itu dengan seksama. Dari nama hingga kondisi semuanya terlalu kebetulan. Perasaan Melinda menjadi tidak karuan, bercampur aduk. Dari situ, Melinda tahu jika kedua wanita itu bernama Dewi dan Nara.

Lalu, Melinda meminta kepada sang staff pemijat agar ketika kedua wanita itu selesai dipijat, dia pun selesai. Staff pemijat hanya mengiyakan seraya menganggukkan kepalanya.

Tidak berselang lama, kedua wanita tadi telah selesai dipijat. Lalu, salah seorang dari keduanya yang sangat cantik bernama Nara dengan tubuh mungil, kulit putih bersih, lekuk tubuh bagai biola Spanyol, rambut lurus panjang dan berwarna kecoklatan berjalan menghampiri meja kasir dan terlihat mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan. Tidak mau melewatkan kesempatan itu, Melinda langsung berdiri dan menghampiri meja kasir dan berdiri di samping Nara.

Saat itu, Nara bersikap cuek dan langsung melenggang pergi ketika telah selesai membayar semua tagihannya. Kemudian, setelah Melinda selesai membayar tagihan miliknya, dia bergegas berjalan mencoba mengikuti ke mana Nara dan temannya pergi.

Siang itu terlihat Nara menaiki sebuah mobil bersama dengan temannya. Sebuah mobil keluaran terbaru yang harganya tidak murah dan Naralah yang berada di kursi pengemudi. Mata Melinda terbelalak melihat semua kemewahan yang terpampang di hadapannya.

Melinda bergegas menghampiri mobilnya dan meminta Pak Tejo untuk mengikuti mobil Nara. Terlihat Nara memasuki sebuah apartemen mewah yang memiliki biaya sewa cukup tinggi. Karena penasaran Pak Tejo pun bertanya, "Nyonya, kita nunggu di sini atau pergi?"

"Kita tunggu di sini, Pak. Tolong belikan makan dulu untuk kita berdua, sepertinya kita akan menunggu lama. Oh ya, Pak, kalau bisa kita parkir yang agak tersembunyi, tidak terlihat oleh mobil-mobil yang lewat. Bisa tidak, Pak?"

To be continued ...


Terjerat Cinta Wanita PenggodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang