Chapter 4 : Pelayanan Plus-plus

15K 58 0
                                    

Note : Halo para pembaca. Sebelum kalian mulai membaca, tolong tekan ikuti/follow akun wattpadku dan tekan votenya ya biar kalian dapat notif kalau aku update chapter baru, juga biar aku semangat update. Ayo di boom vote dan komennya donk hehehe ^^ Makasih dan Happy Reading ^^.

"Apa maksud hal lainnya? Bi Inah ini ada-ada saja, bawa-bawa setan segala," tanya Melinda semakin penasaran.

"Loh, itu betul, Nyonya. Zaman sekarang setan itu berkeliaran menggoda para pasangan menikah. Masa Nyonya tidak tahu? Contohnya artis-artis itu," jawab Bi Inah spontan seraya membetulkan letak celana pendek yang dipakainya.

Melinda tiba-tiba terkejut, dia pun teringat semua yang terjadi dalam rumah tangga Kartini. Wanita lain atau orang ketiga dalam pernikahan mereka dapat diibaratkan sebagai setan penggoda. Betul juga apa yang dikatakan oleh Bi Inah, pikir Melinda.

"Nyonya, kok diem?" tanya Bi Inah yang penasaran dengan apa yang ada di pikiran majikannya.

Melinda pun tersadar, kemudian menatap sang asisten rumah tangganya sembari berkata, "sudah, sudah, sebaiknya Bi Inah kembali bekerja. Oh ya, habis ini saya mau pergi ke salon, nanti jangan lupa kunci pintunya kalau Bi Inah mau bersih-bersih halaman belakang atau yang lainnya. Sepertinya saya agak lama di salon."

"Siap, Nyonya. Saya ke belakang dulu," pamit wanita paruh baya bertubuh gempal tersebut. Dia berjalan memasuki dapur, kemudian duduk di samping meja makan seraya bertanya pada Tejo, sang supir, "Tejo, menurut kamu apa tuan itu setia pada nyonya?"

Tejo yang sedang makan pun tiba-tiba berhenti mengunyah dan menengadahkan kepalanya menatap wanita yang dia anggap sebagai kakak kandungnya tersebut, lalu menjawab, "kau ini selalu bertanya hal yang aneh-aneh. Tidak bisakah kalau bertanya hal yang normal gitu?"

"Aku ini bertanya hal yang normal. Kau 'kan laki-laki, menurutmu apa tuan itu setia pada nyonya atau tidak?" tanya Bi Inah untuk kedua kalinya.

"Sstt kalau bicara itu kecilkan suaramu. Tidak enak kalau terdengar nyonya. Kau ini," jawab Tejo seraya kembali memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

"Jadi, apa jawabanmu?"

"Setialah, mana mungkin tuan tidak setia. Nyonya itu cinta pertama tuan. Apa kau lupa?" tanya Tejo seraya menatap serius ke arah Bi Inah.

"Aku tidak lupa, hanya saja—"

"Hanya saja apa?"

"Tidak apa-apa. Sudahlah, cepat habiskan makananmu. Aku mau merapikan peralatan dapur dulu." Lantas, Bi Inah pun beranjak pergi dari meja makan meninggalkan Tejo yang sedang asyik membaca surat kabar sambil menikmati sarapan pagi.

Untuk pagi itu, Dicky memang benar langsung pergi menemui rekan bisnisnya di salah satu kedai kopi. Mereka berbincang seraya menikmati makan pagi bersama. Namun, di sela-sela perbincangan itu, sang rekan bisnis ingin diantar olehnya ke suatu tempat yang menjajakan kehangatan. Tanpa berpikir lama, Dicky pun lantas menawarkan diri untuk mengantarnya sore hati nanti. Pria itu berkata jika dia tahu tempat yang baik dan sempurna untuk menghabiskan malam bersama dengan para penjaja cinta dan kehangatan.

Sementara itu, di suatu tempat di tengah kesibukan Kota Jakarta, Nara tengah melayani seorang pelanggan tetap yang kaya raya, yang melimpahinya dengan berbagai barang mewah serta mahal.

Di dalam kamar yang berukuran cukup besar, tampak Nara sedang berbaring telentang, dan di atasnya seorang pria bertubuh gempal tengah bersiap untuk memasuki wanita itu. Dia membuka lebar kaki Nara dan mengarahkan miliknya ke milik wanita cantik dengan tatapan menggoda tersebut.

Dalam hitungan detik, keduanya telah menyatu dan sang pria tengah memompa miliknya di dalam milik Nara. Wanita itu tampak memejamkan matanya, berusaha menikmati permainan sang pria di atas tubuhnya.

Entah berapa banyak pria yang dilayaninya setiap hari, mengingat Nara adalah primadona baru di tempat penjual cinta Mama Ella. Derit bunyi tempat tidur yang ikut bergerak pun menimbulkan sensasi tersendiri bagi keduanya. Desah dan lenguh kenikmatan pun ikut mewarnai percintaan atas dasar transaksi tersebut. Nara berusaha menikmati gerak tubuh sang pria yang masih berada di atasnya, meski perut besar pria itu menekan perutnya.

Pria paruh baya itu terus mengguncang-guncangkan tubuh langsing gadis di hadapannya. Sambil memejamkan mata. Tidak berapa lama kemudian, pria paruh baya bertubuh gempal itu mencapai pelepasannya dan langsung terkulai lemas di atas tempat tidur, sementara Nara sama sekali tidak mencapai klimaks. Wajahnya menyiratkan rasa tidak puas dan pria itu mengetahuinya.

"Sayangku, maaf. Aku tahu kamu belum puas. Kemari dan berbaringlah. Akan kubuat kamu puas," pintanya seraya menepuk-nepuk samping tempat tidurnya.

"Tidak perlu, aku sudah lelah, rasanya tidak sanggup jika aku harus bersetubuh lagi. Aku akan ke kamar mandi saja," jawabnya seraya bersiap berdiri. Namun kemudian, Tuan Raharja menarik satu tangan Nara dan memaksanya untuk berbaring.

"Aku tidak memintamu untuk melayaniku lagi. Kau hanya perlu berbaring, itu saja. Cepatlah berbaring dan aku akan mengambil alat bantu dari dalam tasku, khusus kubelikan untukmu." Pria paruh baya itupun bergegas berdiri dan berjalan menuju ke sofa kecil tempat di mana dia menaruh tasnya. Kemudian, dia membuka tas kerjanya dan mengambil suatu alat berbentuk milik sensitif seorang pria.

Dengan bangga pria itu menunjukkan kepada Nara apa yang dia belikan untuknya. Nara pun tersenyum bahagia. Lalu, dia pun berbaring sambil menghela napas lega, pasalnya tubuhnya benar-benar telah lelah, bahkan untuk berjalan ke kamar mandi saja mungkin dia sudah tidak sanggup.

"Tuan, kemarilah cepat," goda Nara sambil mengerlingkan sebelah matanya.

Tuan Raharja yang tergoda pun lantas bergegas naik kembali ke tempat tidur dan meminta gadis itu untuk berbaring santai seraya dirinya membuka lebar kaki Nara dan mulai memasukkan alat tersebut ke dalam inti tubuh gadis itu.

Nara yang mulai terpacu gairah dan hasratnya pun hanya bisa meremas sprei dan memejamkan matanya, sementara Tuan Raharja sibuk dengan alat tersebut. Beberapa saat kemudian, gadis itupun mencapai pelepasannya yang pertama dan terkulai lemas dengan napas yang terengah-engah.

"Bagaimana? Apa kau puas? Aku tidak pernah egois dalam bercinta. Kau dapat pastikan itu," ucap Tuan Raharja.

"Terima kasih, Tuan. Hanya kau yang mengerti aku. Sekarang aku harus membersihkan tubuh dan membeli makan ke luar, aku sangat lapar," jawab Nara seraya mengambil tissue yang terletak di atas nakas dan mulai membersihkan inti tubuhnya.

"Tidak perlu pergi keluar, aku sudah meminta supirku untuk membelikan kita makanan. Kita hanya perlu mandi dan bersantai."

Nara duduk di atas tempat tidurnya dan memeluk pria paruh baya itu sambil mengecup pipi dan bibir tebalnya yang berwarna gelap. Meski, Nara enggan untuk berciuman dengan para pelanggannya yang kebanyakan dari mereka memiliki bau mulut, tapi apa daya kembali ke tujuan semula yakni demi lembaran rupiah.

"Terima kasih, Tuan," godanya seraya mengalungkan kedua tangannya ke leher pria itu.

Kemudian, satu tangan pria hidung belang itu memeluk pinggang ramping Nara, sementara satu tangannya lagi bermain-main di salah satu puncak bukit kembar milik gadis itu. Tak ayal, gadis itu kembali melenguh sambil kembali mengecup bibir tebal Tuan Raharja.

"Tuan, Anda nakal. Sudah sana bersihkan tubuhmu. Aku akan menunggu makanan datang," ucap Nara manja.

To be continued ...


Terjerat Cinta Wanita PenggodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang