Chapter 5 : Ketakutan Nara

7.1K 43 0
                                    

Siang itu, Nara dan Tuan Raharja menikmati makan siang bersama, Tidak dapat disangkal Tuan Raharja memang seorang yang kaya raya. Mobil mewah keluaran terbaru selalu menjadi sarana transportasinya ke manapun dia pergi, seperti pada pagi itu ketika dia singgah di Rumah Cinta Mama Ella.

Tuan Raharja memang selalu datang di pagi hari, kemudian siang hari dia akan pergi ke kantornya. Di setiap kunjungannya, dia selalu memberikan uang yang banyak dan barang-barang mewah untuk Nara, maka dari itu Nara tidak pernah keberatan jika pria itu meminta jatah beberapa kali dalam sekali pertemuan. Semua itu dikarenakan ketidakmampuan istri Tuan Raharja melayani suaminya di atas tempat tidur.

Siang hari yang panas di Kota Jakarta, Nara dan Tuan Raharja duduk berdampingan di sofa yang terletak di dalam kamar Nara. Mereka menonton televisi sambil menikmati nasi goreng kambing dan jus jeruk serta martabak telur. Di sela-sela makan itu, Nara yang penasaran lantas bertanya, "Tuan, apa istri Tuan tahu kalau setiap beberapa hari sekali Tuan datang kemari?"

"Dia tidak tahu," jawab pria itu singkat.

"Oh. Lalu, apa kalian masih sering melakukan hubungan intim?" Nara menaruh sendok ke atas piring dan menoleh, menatap lekat pada wajah pria paruh baya yang berada di sampingnya. Dengan sabar dia menunggu sebuah jawaban yang akan meluncur keluar dari bibir sang pria.

"Jarang sekali. Itupun karena dia yang minta. Ada apa kau tanya aku hal-hal seperti ini?" Sekarang giliran Tuan Raharja yang menaruh sendoknya ke atas piring, lalu menoleh dan menatap wajah cantik gadis muda di hadapannya.

"Karena penasaran. Satu pertanyaan lagi, bolehkah?" tanya Nara manja.

"Silahkan. Kau tahu 'kan jika aku tidak bisa menolakmu. Sekarang katakan padaku apa yang ingin kau ketahui?" Lalu, Tuan Raharja kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Sesekali pandangan matanya terarah pada Nara.

"Mengapa kau tidak tertarik padanya? Apa kau tidak mencintainya?" Nara merasa sangat penasaran. Dia takut jika suatu saat rasa cinta dapat hilang atau berkurang kadarnya seiring waktu. Ketakutannya beralasan, semua karena dia telah jatuh cinta pada Dicky dan dia tidak ingin jika pria itu tidak mencintainya lagi suatu saat nanti.

"Sulit untuk dikatakan mencintai atau tidak. Yang pasti aku memiliki fantasi dan kebutuhan biologisku yang tidak dapat kutahan, sementara dia tidak mau berusaha untuk memenuhi kebutuhan biologisku tersebut. Jadi, yang dapat kulakukan adalah mencari kepuasan dari wanita sepertimu. Apa jawabanku sudah cukup?" tanya Dicky.

"Umm su-sudah." Pikiran Nara langsung terfokus tentang bagaimana dia harus dapat memenuhi kebutuhan biologis Dicky supaya pria itu tidak mencari kehangatan di tempat lain.

"Apa kau jatuh cinta pada seorang pria?" tanya Tuan Raharja.

"I-iya. Aku ingin lepas dari pekerjaan penuh dengan lumpur dosa ini. Aku ingin memiliki sebuah keluarga yang utuh dan menjadi seorang istri yang baik." Nara berangan cukup banyak dan menaruh harapannya pada angannya tersebut.

"Kau bertemu dengannya di sini? Dia tamumu?" tanya Tuan Raharja ingin tahu.

"I-iya. Apa yang salah dengan itu?"

"Kau terlalu naïf, Nara. Semua yang di dunia ini tidak ada yang abadi dan satu lagi hati manusia tidak dapat diselami. Mungkin saat ini dia mencintaimu, tapi tidak tertutup kemungkinan dia akan mencintai wanita lain."

"Tidak, tidak mungkin. Aku percaya padanya."

"Baiklah, jika kau percaya padanya. Aku hanya berusaha mengingatkanmu. Oke, aku sudah selesai makan, waktunya kunjungan ke kantor. Aku pergi dulu, mungkin minggu depan aku akan kemari lagi karena ada tugas di luar kota yang harus kuselesaikan. Tidak apa-apa, kan?" Satu tangan Tuan Raharja terulur dan membelai lembut pipi mulus Nara yang bersemu merah.

"Tidak apa-apa. Hati-hati di jalan, Tuan. Aku akan selalu menunggumu." Nara mencium bibir Tuan Raharja, lalu mengantarkannya keluar dari pintu kamarnya.

Sore harinya, sepulang kerja. Dicky bersama dengan satu orang rekan bisnisnya datang mengunjungi Rumah Cinta Mama Ella. Dia meminta Mama Ella untuk menunjukkan wanita mana saja yang dapat menemani temannya tersebut, dengan catatan wanita itu harus cantik dan pandai melayani. Lantas, Mama Ella memanggil beberapa orang gadis termasuk Nara untuk menemani teman Dicky tersebut.

Beruntung bagi Dicky, temannya memilih wanita lain untuk menemaninya. Lalu, mereka berdua masuk ke dalam kamar kedua gadis tersebut. Mereka menghabiskan waktu hingga larut malam bersama dengan para gadis itu.

Sementara itu, di kediaman Dicky, Melinda duduk di ruang keluarga dengan gelisah dan khawatir. Setiap beberapa menit dia menengok jam dinding yang terpasang di atas meja televisi. Malam itu, Bi Inah ikut menemani.

"Nyonya, pergi tidur saja, biar saya yang menunggu tuan pulang." Bi Inah menghampiri Melinda dan memijat kedua kaki sang nyonya.

"Tidak, Bi. Saya mau menunggu tuan. Kasihan dia sudah bekerja keras dari pagi hingga malam, masa saya tinggal tidur." Kemudian, Melinda mengembuskan napas panjang dan menatap pintu masuk.

Bi Inah tahu apa yang mungkin terjadi. Saat itu, waktu menunjukkan pukul sebelas malam, tapi Dicky belum terlihat juga. Dia mengira jika tuannya pasti sedang menghabiskan malam bersama dengan gadis lain. Namun, tidak mungkin baginya untuk mengatakan apa yang ada dalam pikirannya kepada sang nyonya rumah, hanya saja dia sangat sedih melihat keadaan sang nyonya yang tidak tahu apa-apa.

Mereka berdua pun menunggu hingga akhinya tertidur. Melinda tertidur di sofa, sementara Bi Inah tertidur dengan kepala yang menyandar pada sofa. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Tidak lama setelah itu, mobil yang dikendarai oleh Dicky pun berhenti tepat di depan teras. Usai mematikan mesin mobilnya, lalu pria itu turun dan membuka pintu masuk dengan perlahan.

Dia melihat sang istri yang dengan setia menunggunya. Setelah menaruh tas kerja di ruang kerjanya, Dicky membangunkan Bi Inah dan memintanya untuk pergi beristirahat.

"Bi, bangun." Dicky menepuk-nepuk bahu Bi Inah beberapa kali hingga akhirnya wanita paruh baya itu mengerjapkan matanya beberapa kali dan terbangun.

"Oh Tuan. Maaf, saya ketiduran," jawabnya seraya merapikan daster batik yang dipakainya.

"Tidak apa-apa. Sudah sana pergi tidur," ucap Dicky.

"Lalu, Nyonya?" tanya Bi Inah, namun saat itu Bi Inah merasa mencium wangi yang cukup pekat, wangi perfume wanita tapi Bi Inah diam dan menyimpan hal itu di dalam hatinya.

"Saya akan gendong dia ke dalam kamar. Bibi tidur saja tidak apa-apa." Kemudian, Dicky menggendong tubuh Melinda dan berjalan perlahan mulai dari ruang keluarga mereka yang besar hingga ke kamar tidur utama.

Namun, sebelum Bi Inah hilang dari pandangan Dicky, pria itu memanggilnya, "Bi, tunggu sebentar." Lantas, Bi Inah berhenti dan menoleh seraya membalas, "Ya, Tuan. Ada apa ya?"

Setelah membaringkan tubuh Melinda ke atas tempat tidur, Dicky keluar dari kamarnya dan berkata, "Bi, tolong cuci baju ini sekarang. Lakukan sekarang dan jangan banyak tanya."

"Sekarang, Tuan? Pagi dini hari?" Saat itu Bi Inah membawa pakaian kerja Dicky yang tercium bau harum perfume wanita.

To be continued ... 

Terjerat Cinta Wanita PenggodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang