Halo, sebelum baca tolong tekan votenya dan jangan lupa tekan follow/ikuti akunku ya ^^ Makasih.
"Melinda, maaf. Bukannya kau tidak mencintaimu, hanya saja entah mengapa rasa cinta itu terasa semakin jauh bagai pasir di laut yang terbawa ombak. Aku menghormati dan menyayangimu, hanya saja rasa sayang yang kumiliki terhadapmu berbeda dengan rasa sayang yang kumiliki terhadap Nara. Aku berharap kau mau memaaafkanku," ucap Dicky sambil menatap lekat pada wajah Melinda yang basah dan sembab oleh air mata. Perasaannya cukup sedih melihat hal tersebut.
"Baiklah, aku cukup tahu sampai di sini. Tolong kau urus perceraian kita. Dan satu hal lagi, aku akan keluar dari rumah kita, tapi rumah itu harus dijual, hasilnya kita bagi dua. Aku tidak rela jika wanita jalang itu tinggal di rumah kita. Bi Inah dan Pak Tejo akan ikut denganku. Selamat tinggal, Mas," jawab Melinda seraya beranjak dari tempat duduknya, berjalan menuju pintu keluar apartemen Dicky.
"Melinda, tunggu!" seru Dicky.
Melinda berbalik dan menatap pada pria yang sempat dicintainya itu, kemudian dia menjawab, "Ada apalagi, Mas? Di antara kita sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi."
"Kau tidak perlu keluar dari rumah, aku yang akan keluar dari rumah," ucap Dicky.
Namun, Nara yang licik dan serakah, sengaja menyenggol lengan Dicky. Lantas, Dicky yang merasa tangannya disentuh oleh Nara pun menatap dan bertanya padanya, "Ada apa?"
"Mas, ikuti saja apa katanya. Jual saja rumah itu, bukankah uangnya dapat kita gunakan bersama?" tanyanya.
Dicky yang masih berpikir sehat dan merasa kasihan pada Melinda lantas berkata, "Tidak, jika dia memang menginginkan rumah itu, aku tidak akan memintanya. Bagaimanapun dia tidak salah, kitalah yang bersalah padanya."
"Melinda, ambillah rumah itu untukmu. Anggap saja sebagai rasa permintaan maafku padamu," ucap Dicky.
"Aku tidak mau, Mas. Rumah itu kita jual saja agar kenangan di antara kita ikut terhapus. Lalu, kita berdua dapat melupakan masa lalu. Aku pergi sekarang." Melinda pun melenggang pergi meninggalkan Dicky yang menatapnya dengan ekspresi sedih.
Nara yang berdiri di samping pria itu, menatapnya dengan seksama, kemudian dia bertanya, "Mas, kamu tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin minum kopi. Buatkan aku kopi," pintanya.
"Baiklah, Mas. Oh ya, untuk makan malam kamu ingin makan apa, Mas? Biar aku belikan lewat aplikasi online," tanya Nara.
"Apa kau tidak bisa masak? Aku belum pernah makan masakanmu selama ini," jawab Dicky.
"Mas 'kan tahu kalau aku tidak bisa masak. Lagipula kalau memasak nanti kuku palsuku rusak. Aku belikan saja ya," jawabnya manja seraya berjalan menuju dapur, lalu membuatkan secangkir kopi untuk Dicky.
Dicky yang saat itu duduk di ruang keluarga pun menimpali, "Melinda saja bisa masak. Cobalah kau belajar masak. Dia itu serba bisa."
Nara tidak menerima jika dirinya dibandingkan dan merasa tersinggung mendengar perkataan pria itu. Beraninya dia membandingkan dirinya dengan wanita itu, setidaknya wanita itu tidak mampu memberinya keturunan, batinnya.
"Mas menyesal bercerai darinya?" tanya Nara penasaran.
"Tidak, hanya saja dia memang serba bisa. Mana kopiku?" tanya Dicky.
Nara pun mengambil nampan, lalu menaruh kopi tersebut ke atas nampan, kemudian berjalan menghampiri Dicky yang sedang mengirim pesan kepada anak buahnya, memintanya untuk membantu mengurus perceraiannya dengan Melinda.
"Ini kopinya. Mas, aku mandi dulu ya."
"Iya." Lalu, Dicky kembali sibuk mengirim pesan kepada anak buahnya tersebut.
Sementara itu, Melinda yang menahan rasa sakit hati dan tangis berjalan cepat menuju ke lantai satu. Beruntungnya saat itu lift dan lorong apartemen dalam keadaan sepi, hingga tidak ada satupun yang melihat keadaannya yang berantakan.
Tidak berapa lama kemudian, lift pun sampai di lantai dasar. Setelah pintu lift terbuka, Melinda bergegas berjalan cepat menuju ke pintu keluar apartemen, sebelumnya dia mendekati resepsionis.
"Permisi, Mbak. Saya mau mengambil KTP," ucapnya seraya menyeka kedua matanya.
Karyawan resepsionis mendongak dan merasa sedikit terkejut melihat keadaan wajah Melinda yang sembab dan basah oleh air mata.
"Ini KTPnya, Mbak. Apa Mbak tidak apa-apa?" tanyanya iba.
"Saya tidak apa-apa. Terima kasih," jawab Melinda seraya berlalu pergi meninggalkan apartemen yang tidak akan dia injak lagi untuk selamanya. Dia berlari kecil menuju ke mobil. Pak Tejo yang sedang duduk di bawah pohon pun lantas berdiri dan mengambil kunci mobil, lalu masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya.
Singkat cerita setelah Melinda berada di dalam mobil, lantas Pak Tejo melajukan mobil dengan perlahan. Sepanjang perjalanan, Pak Tejo merasa heran dengan sikap sang majikan yang hanya duduk termenung, diam dan memandang ke luar jendela sambil sesekali menyeka kedua matanya. Pak Tejo yakin pasti sang majikan menangis.
"Nyonya, apa Nyonya baik-baik saja? Kita langsung pulang ke rumah atau mampir ke mana?" tanya Pak Tejo.
Sebelum menjawab, Melinda menyeka kedua matanya yang bengkak dan sembab karena air mata. Lalu, wanita itu menjawab, "Saya tidak apa-apa, Pak. Langsung ke rumah saja."
"Baik, Nyonya."
Perlahan mobil pun melaju cukup kencang di jalan raya, hingga akhirnya Melinda pun sampai di rumahnya, rumah yang mewah, luas dengan arsitektur modern. Rumah yang dibangun di atas idenya dan ide Dicky, kini semua tinggal kenangan, kenangan pahit.
Melinda berjalan lunglai menuju ke dalam rumah, dia langsung masuk ke dalam kamar tidurnya, lalu menghubungi sahabatnya yang bernama Dea yang merupakan seorang guru sekolah dasar, sekolah yang sama tempat di mana Melinda juga dulu pernah mengajar.
"Halo," sapa Dea dari ujung telepon.
"Dea," jawab Melinda.
"Melinda, apa kabar? Lama tidak berbincang denganmu. Aku merindukanmu."
"Aku juga rindu padamu. Kabarku tidak begitu baik dan rasanya rindu masa lalu," ucap Melinda.
"Benar, ada apa kau tiba-tiba menghubungiku? Apa kau baik-baik saja? Apa sesuatu terjadi padamu?" tanya Dea.
"Aku ingin meminta tolong sesuatu padamu. Apa kau bisa?" tanya Melinda seraya menarik bantal dan berbaring di atasnya. Dia menarik dan mengembuskan napas perlahan, air mata kembali keluar membasahi wajahnya. Dadanya kembali kembang kempis menahan isak tangis yang akan meledak.
"Aku akan menolong jika aku bisa. Kau terdengar aneh," jawabnya seraya menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi pada Melinda.
"Bisakah kau carikan aku sebuah rumah? Dan aku ingin bekerja lagi menjadi seorang guru. Apakah ada lowongan pekerjaan untukku?" tanya Melinda berharap.
"Bisa dan mengenai lowongan kerja, kebetulan sekolah tempatku mengajar membutuhkan seorang guru. Tapi, apa yang terjadi pada rumah mewahmu? Apa suamimu mengizinkan jika kau bekerja?" tanya Dea penasaran.
"Apa bisa hari ini aku menempati rumahnya? Aku dan Dicky telah sepakat untuk bercerai dan kami juga sepakat untuk menjual rumah ini."
"Apa? Apa aku tidak salah dengar?" tanya Dea.
To be continued ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Cinta Wanita Penggoda
RomanceMature Content 21+ (Jangan baca sendirian ^^) Kehidupan pernikahan yang dimiliki oleh Melinda membuat banyak wanita iri. Bagaimana tidak? Memiliki seorang suami yang gagah, tampan, dan mapan secara finansial merupakan impian semua wanita. Bahkan, sa...