Chapter 3 : Satu Saksi

8.7K 56 0
                                    

"Tapi, aku merasa enggak sempurna sebagai wanita. Kita rutin berhubungan intim tapi nyatanya—" ucap Melinda sedih.

"Sudah jangan bersedih lagi. Aku ikhlas apapun rencana Yang Kuasa untuk kita. Kamu pun harus ikhlas. Anak adalah titipan. Oh ya, aku ngantuk, aku tidur dulu ya, Sayang." Lalu, Dicky pun mengecup lembut ujung kepala Melinda dan wanita itupun melepaskan pelukannya dari tubuh Dicky, kemudian berbaring di sampingnya.

Namun, sebelum ia juga ikut tertidur, Melinda turun dari tempat tidur dan berjalan menuju ke saklar lampu, kemudian menekan tombol off. Setelah itu, dia kembali naik ke atas tempat tidur dan berbaring seraya memandangi wajah sang suami.

Wajah Dicky yang tampan dengan bulu mata yang tebal, alis mata yang tebal meski tidak terlalu tertata rapi, hidung yang mancung serta bibir tipis berwarna merah muda, rahang yang tegas yang ditumbuhi sedikit bulu halus benar-benar membuat Melinda jatuh hati setiap hari. Pria itu adalah dunia dan hidupnya Dia tidak tahu apa jadinya dirinya tanpa pria itu di sampingnya.

Sebelum tertidur lelap, Melinda beringsut mendekati Dicky dan mengecup keningnya seraya berbisik, "selamat tidur, Sayang. Terima kasih kamu sudah bekerja keras demi keluarga. Aku sayang kamu."

Kemudian, Melinda pun berbaring telentang seraya menatap langit-langit kamar. Ia pun berandai-andai, andaikan malam itu mereka berbaring bersama dengan seorang bayi mungil nan cantik. Ah pasti terasa indah, pikir Melinda. Tidak berapa lama setelahnya, ia pun menyusul sang suami masuk ke alam mimpi.

Ternyata Dicky hanya berpura-pura tidur, dia melakukan hal itu agar Melinda tidak mengajaknya berbincang lebih lama. Dia ingin segera menghubungi sang kekasih gelap. Dia pun berusaha bangun dari tempat tidur dengan hati-hati. Setelah benar-benar berdiri, dia mengambil ponsel-nya dari nakas dan berjalan keluar dari kamar dengan mengendap-endap.

Setelah merasa cukup aman dan berhasil keluar dari kamar tanpa menimbulkan suara sedikitpun, lantas Dicky pun berjalan menuju ke taman belakang yang keadaannya jauh lebih sepi. Semua pelayan di rumahnya telah pergi tidur.

Malam itu yang terdengar hanyalah suara hewan malam serta embusan angin yang menerpa kaca jendela. Dicky memutuskan duduk di sofa yang berada di teras, lalu dia menekan nomor telepon Nara hingga terdengar beberapa nada sambung. Tidak lama kemudian, Nara pun mengangkat panggilan masuk tersebut.

"Mas, akhirnya kamu telepon juga. Hampir saja aku ketiduran," ucap Nara sedikit merasa kesal.

"Maaf, Sayang. Mas tadi harus menunggu dulu sampai Melinda benar-benar tertidur. Kamu kangen Mas ya?" tanya Dicky.

"Bukan cuma kangen, tapi aku ingin tidur sambil dipeluk kamu. Kamu jahat, kamu cuma mau memeluk istrimu saja," ucap Nara cemburu dan kesal.

"Jangan begitu, Nara. Bagaimanapun Melinda masih istriku yang sah yang sudah membantuku melewati masa-masa sulit. Kamu harus coba mengerti. Yang terpenting adalah cintaku padamu tidak akan pernah berubah. Apa yang mau kubawakan untukmu besok?" tanya Dicky berusaha menghibur.

"Boleh tidak, Mas, kalau aku minta uangnya saja? Ada yang ingin kubeli di mall."

"Boleh, sebutkan saja berapa yang kamu butuhkan."

"Beberapa juta saja. Mas 'kan tahu kalau harga satu baju saja sudah sekitar lima ratus ribu hingga satu juta lebih. Lalu, aku juga ingin membeli lingerie baru buat menggoda kamu."

"Hahaha tanpa kamu pakai lingerie pun, aku sudah tergoda. Oke, malam ini uangnya aku transfer. Mas, tidur dulu ya, besok banyak hal yang harus dikerjakan. Selamat tidur, Sayang."

"Terima kasih, Mas. Mimpiin aku ya, Mas."

Lalu, Dicky mematikan ponsel-nya setelah pembicaraannya dengan Nara selesai dan dia juga telah mengirim sejumlah uang ke dalam rekening gadis itu. Senyum indah pun tak pernah lepas dari bibirnya, pikirannya melayang membayangkan percintaan panasnya dengan Nara. Gadis itu sungguh liar dan tahu bagaimana caranya memuaskan fantasi terpendam dalam diri Dicky.

Malam itu, semua berjalan lancar, setidaknya itu yang ada dalam pikiran Dicky. Melinda memang masih tertidur lelap di kamar tidur mereka, tapi ada satu orang yang ternyata terbangun tanpa sengaja dan menguping semua pembicaraan Dicky malam itu. Ya, orang tersebut adalah Bi Inah. Dia terbangun di malam hari karena rasa haus mendesaknya untuk bangkit dan berjalan keluar dari kamar, namun belum juga langkah kakinya sampai ke luar pintu, tiba-tiba dia mendengar suara sang tuan yang sedang berbicara mesra dengan seseorang di telepon. Karena penasaran, dia pun lantas memutuskan untuk mendengarkan semua pembicaraan tersebut.

Tidak pernah terbersit dalam pikiran Bi Inah jika sang tuan yang dia hormati selama ini justru menyimpan sebuah rahasia yang dapat menghancurkan mahligai pernikahannya. Dia merasa sangat kasihan terhadap Melinda. Namun, sekali lagi dia meyakinkan dirinya jika itu semua bukanlah urusannya. Tuan dan nyonyanya mungkin memiliki masalah tersendiri.

Keesokan paginya, Melinda bangun lebih awal. Seperti biasa, dia berkutat di dapur bersama dengan Bi Inah dan beberapa pelayan untuk menyiapkan makan pagi untuk Dicky. Meski kaya raya dan memiliki banyak pelayan, namun Melinda tetap ingin membuatkan makan pagi buatannya untuk sang suami.

Setelah makan pagi selesai dan ditata di atas meja makan. Melinda pun langsung membangunkan Dicky, rupanya pria itu telah siap dan hendak melangkahkan kaki ke luar dari kamar.

"Mas, sudah siap rupanya," ucap Melinda terkejut.

"Iya, sudah dari tadi. Aku sarapan di luar saja ya. Maaf, Sayang, aku terburu-buru," jawab Dicky seraya berjalan cepat keluar dari rumah.

Meski kecewa telah bersusah payah membuatkan sarapan bergizi untuknya, Melinda tetap berbesar hati dengan mengiyakan ucapan sang suami. Tanpa berlama-lama, Dicky pun langsung melangkah pergi meninggalkan sang istri yang merasa sedih.

Setelah Dicky pergi dan hilang dari pandangan, Melinda pun memutuskan untuk sarapan seorang diri. Tiba-tiba, Bi Inah datang dengan membawa jus jeruk permintaan sang nyonya rumah.

"Nyonya, ini jusnya. Loh, Tuan tidak ikut sarapan?" tanya Bi Inah.

"Terima kasih, Bi. Tuan sudah berangkat kerja," jawab Melinda.

"Tidak seperti biasanya. Oh ya, Nyonya, apa Nyonya tidak merasa kalau perilaku Tuan akhir-akhir ini berubah?" tanya Bi Inah.

"Berubah bagaimana maksudnya?"

"Berbeda dari biasanya. Coba ingat-ingat lagi, Nyonya. Dulu tuan tidak seperti ini, dia tidak pernah melewatkan sarapan bersama dengan Nyonya, juga selalu pulang awal. Bukankah ini sedikit berbeda dari kebiasaan," ucap Bi Inah sambil berusaha mengingat-ingat semua perbedaan yang ada.

"Hmm iya juga. Tapi, mungkin saja dia memang sibuk dan tidak bisa sarapan bersama saya pagi ini. Saya tidak ingin berprasangka buruk padanya, dia sudah bekerja keras demi keluarga."

"Iya, saya tahu maksud, Nyonya, hanya saja semoga tidak ada hal lainnya. Zaman sekarang cara kerja setan itu pintar."

"Apa maksud hal lainnya? Bi Inah ini ada-ada saja, bawa-bawa setan segala," tanya Melinda semakin penasaran.

To be continued ...

Terjerat Cinta Wanita PenggodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang