0.1

286 29 0
                                    

Dengan langkah cepat Chan mencari kamar mandi terdekat. Ini masih hari pertamanya menjadi siswa berseragam putih abu-abu. Masih menjadi hari pertama pula ia memulai untuk mempelajari dan mengingat bangunan-bangunan yang ada di dalam sekolahnya. Langkah itu seolah memburu bersama tatapan yang pemuda itu dapat dari banyaknya pasang mata. Mereka masih menyapa ramah, memberi senyum hangat serta berusaha untuk lebih akrab. Chan mengabaikan semua itu, maniknya hanya fokus mencari di mana letak toilet saja.

Di pertigaan yang berdekatan dengan taman sekolah langkah itu akhirnya berhenti. Sabit tipis sempat terukir kala manik tajamnya menatap tulisan dari papan kayu berwarna hijau 'toilet'.

"Sekolah ini sebenarnya punya berapa banyak siswa, sih?" tanya Chan pada diri sendiri setelah menyelesaikan urusan. Pemuda itu lantas berjalan ke arah wastafel untuk sekadar mencuci tangan sembari merapikan letak anak rambut yang sedikit berantakan. Menyisirnya ke belakang lantas terdiam lagi.

"Cukup banyak," jawab seseorang yang entah dari bilik mana. Berdiri di samping Chan melakukan hal yang sama-mencuci tangan sembari membenarkan tataan rambut.

Chan bungkam. Memandangi secara diam-diam dari bawah sampai atas penampilan pemuda itu. Pemuda dengan senyum manis yang Chan ketahui adalah kakak tingkatnya-Hong Jisoo, pada tulisan nametag.

Kalau dilihat dari penampilan sepertinya pemuda Hong itu adalah siswa teladan. Tidak bermasalah dan mungkin saja memiliki otak cerdas? Chan tidak bisa memastikannya karna ia baru menilai dari penampilan luarnya saja.

Tidak, jangan terkecoh!

"Kelas berapa?"

Jisoo tak menjawab. Pemuda itu justru memamerkan bet yang terletak disebelah kiri lengan. Menunjukan bahwa ia masih duduk dibangku kelas dua.

Bodoh, Chan!

Kan, sudah dibilang, seorang Lee Chan itu tak pandai bergaul. Ia bukan Lee Seokmin-abangnya, dengan tingkat kewarasan nyaris dikatakan minus atau bahkan tidak ada sama sekali. Ia tetap Lee Chan yang bodoh dalam berbagai hal kecuali juara mengunci mulut satu hari penuh.

Andai Lee Chan bisa mudah bergaul seperti abangnya.

Ya, berandai saja dulu.

"Dari yang gue lihat, lo...cukup terkenal untuk hari pertama ini, Lee Chan." Chan hanya menarik kurva sebisanya, mulai merasa tidak nyaman kalau sudah membahas perlakuan semua orang untuk satu hari ini.

"Gue juga nggak tahu. Mereka...aneh? Atau gue memang bermasalah?" tanya Chan pada Jisoo.

Jisoo menghela nafas lelah sebelum tangan pemuda itu bertengger ke sisi bahu sebelah kanan seorang Lee Chan. Cengkeramannya cukup kuat, Jisoo mendeham rendah sebelum mengatakan, "Lo nggak bermasalah. Cuma..."

"Cuma...apa?" tanya Chan tak sabaran.

"Bukan apa-apa."

Kali ini Chan yang menghela nafas. Jisoo-adalah orang pertama yang bisa Chan katakan normal dibanding yang lain. Kakak tingkatnya itu berlaku biasa, tidak membuat Chan seolah menjadi adik kelas paling istimewa dan dibanggakan. Karna setahu Chan, tingkat kekuasaan seseorang ketika mereka beranjak dewasa ditentukan oleh kelas. Dan biasanya kelas sepuluh adalah masa penderitaan terberat karna mereka harus menghadapi dua tingkat kakak kelas sekaligus. Kelas sebelas dan duabelas.

"Apa lo juga diperlakukan sama, Kak?"

"Hmm?"

Chan meringis ragu, "Gue tahu lo pasti dengar dan paham maksud pertanyaan gue barusan."

"Nggak juga sih. Menurut gue malah kebanyakan dari mereka lebih berlaku kasar dan serakah."

"Hah?" tanya Chan balik. Cukup mengejutkan.

"Gue rasa lo nggak budeg untuk omongan gue barusan!"

Mendengus, Chan memutar bola mata malas. "gue emang nggak budeg. Tapi sedikit kurang mengerti sama apa yang lo bilang barusan."

Jisoo hanya melempar senyum. Merapikan dasinya tanpa melihat ke arah pemuda disampingnya itu, "Lo nggak perlu mengerti, Chan!" lantas Jisoo kembali menatap Chan, "yang lo perluin itu melihat semua situasi disekitar lo."

"ribet amat. Bisa nggak jelasinnya pakai cara yang lebih mudah dan bisa gue tangkep?"

"lo akan tahu dengan sendirinya. Gue duluan."

Setelah kepergian Jisoo, Chan masih terdiam layaknya patung di tempat. Kakinya terasa berat untuk segera melangkah keluar dari kamar mandi. Seolah ada medan magnet yang menahan Chan agar tetap disini. Ucapan Jisoo justru berkeliaran sangat bebas memenuhi seisi pemikiran pemuda bermarga Lee itu. Membuat tanda tanya besar, memberi teka-teki, misteri, yang seolah meminta Chan untuk segea memecahkannya.

Ya, ada begitu banyak kejanggalan yang ia temui untuk hari pertama sekolah. ini bukan lagi hal biasa yang bisa Chan sepelekan. Pemuda itu tak boleh hanya berdiam diri dan seolah menjadi penonton padahal ia adalah peran penting yang harus bergerak cepat menuntaskan segala persoalan yang terjadi.

"gue harus mulai dari mana?"

Masalah pertama muncul. Dan itu berhasil membuat Chan nyaris menyerah. Tak ada satu pun orang yang ia kenali. Setidaknya, teman SMP atau semacamnya. Chan sungguhan bertemu orang baru dan itu mencakup keseluruhan.

Gue bakal mulai dari Bang Seokmin dulu.

Pemikiran gila dan tak terduga.

Chan akhirnya melangkah pergi. Namun ketika sampai diambang pintu maniknya bertemu dengan sekumpulan kakak kelas yang tengah bercerita ria. Salah satu dari mereka, adalah pemuda bertubuh tegap, bertaring, tatapan tegas nan menusuk-Kim Mingyu. Pemuda itu menyeringai ke arah Chan sebelum memberi sapaan, "Chan?" dan langsung membuat rekan Mingyu yang lain menoleh.

Chan tak mengenal mereka semua. Tak ada nametag yang terpasang kecuali milik Mingyu dan Lee Jihoon. Keempatnya tersenyum ramah ke arah Chan. Membuat Chan meneguk saliva susah payah sembari berusaha membalas senyum mereka, "Kak." membungkuk lantas pamit pergi.

"Tunggu." tangan salah satu dari mereka mencekal lengan Chan sampai membuat pemuda itu kaget bukan main. Chan lekas memberi jarak cukup jauh. Ia berbalik lagi untuk menatap satu persatu dari mereka, "Ada apa ya?"

"Lo..."

"Nggak usah mulai. Tobat ngerjain adik kelas bego!" tukas Mingyu memberi pukulan kecil ke kepala sobatnya.

"Nggak jadi."

Chan lagi-lagi hanya tersenyum. Hilang dipertigaan menuju tempat parkir.

"Dia yang gue maksud," kata Mingyu.

Mereka mengangguk saja, "Gue tahu."

"Korban selanjutnya?" tanya Jihoon tenang mengukir senyum miring.

"Kita lihat nanti."

Sore itu, ketika matahari mulai terbenam dan malam hendak menyambut kehadiran rembulan, sekolah yang berdiri kokoh dengan ukiran cantik serta cat berwarna keemasan berubah menjadi banguanan tua tak layak dihuni. Menciptakan atmosfer berbeda dari biasanya. Hawa dingin yang mencekam begitu merasuk ke sela pori-pori. Aungan serigala, teriakan, tangis, segala hal paling menakutkan terdengar dari banguanan yang ditumbuhi rumput liar itu.

Chan meraba kantung celana abunya, mulai panik, "HP gue?"

Ditulis : 27/12/21Jawa tengah, masih di waktu yang sama seperti bab sebelumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ditulis : 27/12/21
Jawa tengah, masih di waktu yang sama seperti bab sebelumnya.
magicho

[𝟏]  𝐬𝐜𝐡𝐨𝐨𝐥 (𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐚𝐤 𝐭𝐞𝐫𝐥𝐢𝐡𝐚𝐭) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang