0.0

513 36 0
                                    

Iris itu terus menelisik secara tidak suka ke arah orang-orang yang berlalu lalang. Maniknya semakin menajam, tangannya mengepal kuat di kedua sisi badan.

"Lo bisa atasi semua ini sendiri, Chan!" ucapnya pada diri sendiri.

Lee Chan hanya pemuda biasa sama seperti teman sepantarannya. Yang berbeda, Chan tak suka suara bising setiap siswa-siswi yang berlaku heboh untuk memecah suasana kelas. Pemuda bermata sipit itu lebih suka ruangan tenang, sedikit remang asal jangan terlalu minim pencahayaan. Chan memang tak suka berkumpul dengan orang banyak layaknya anak-anak seusia dirinya. Biasanya pemuda itu lebih memilih mengurung diri di dalam rumah. Katanya, ngapai keluar kalau di rumah lebih nyaman?

Oke, kita anggap otak pemuda berusia lima belas tahun itu sedikit bermasalah.

Namun Chan merasa ada yang aneh untuk hari pertama sekolahnya. Sebagai siswa baru yang begitu patuh akan aturan dan sikap yang begitu ia jaga terhadap sesama terlebih kakak kelas, pemuda itu merasakan timbal baik yang cukup membuatnya berpikir kembali mereka baik-baik aja, kan? Karna ketahuilah, hampir di setiap koridor yang pemuda itu lalui selalu saja ada sapaan ramah, senyum hangat yang selalu siswa-siswi lain berikan untuknya. Bahkan yang lebih mengejutkannya lagi, kakak kelas justru berlaku lebih sopan...sangat sopan terhadap Chan. Mereka seolah begitu tunduk dan menganggap Chan sebagai pusat pengendali dari semua hal.

Perlakuan semacam itu juga Chan dapatkan ketika di dalam kelas. Perlakuan yang begitu mengenakkan   namun justru membuat pemuda Lee itu merasa tidak nyaman. Setiap sorot mata yang tertuju padanya, senyum yang tercipta, tindakan yang diberikan, tidak mungkin kan, hanya cuma-cuma? Bahkan Chan menjadi pilihan nomor satu ketika pembagian struktur kelas dengan peran penting sebagai ketua kelas. Hello, tidak salahkah ini semua? Chan yang dunia tahu adalah pemuda kuper tak pandai bergaul. Hanya bersama Mark Lee saja—itupun karna Mark dengan segala tingkah laku tidak masuk akalnya yang membuat Chan menyerah. Perlu digaris bahwai berlaku saat SMP. Sekarang keduanya berpisah karna Mark harus ikut bersama kedua orangtua pemuda itu pindah ke luar kota karna tuntutan pekerjaan.

"Mas ketua kelas gue duduk di sebelah lo boleh?" tanya seseorang yang belum Chan ketahui namanya menyapa ramah. Manik keduanya bertemu. Chan dengan tatapan super dingin tak membuat pemuda itu ketakutan sama sekali. Bahkan pemuda itu terus mengembangkan senyum sembari menarik kursi.

"Tunggu," sela Chan langsung. Pemuda itu jelas dibuat bingung oleh sikap teman sekelasnya.

"Kenapa?"

"Maaf tapi gue mau duduk sendiri. Gue harap lo nggak keberatan buat cari teman lain."

Chan sudah sangat terbiasa duduk sendiri. Melakukan semuannya sendiri. Jadi jika dihadapkan pada situasi semacam ini justru pemuda Lee itu akan mudah panik. Merasa tidak nyaman karna seolah terus dimata-matai.

"Oh, oke nggak masalah. Sorry kalau buat Mas Ketua kelas jadi nggak nyaman." Pemuda itu masih tersenyum, namun Chan sangat yakin ada rasa jengkel luar biasa terhadap dirinya. Tak masalah. Dari pada Chan menyetujui pemuda itu duduk bersebelahan dengan dirinya yang sangat memungkinkan hanya akan membuat Chan tertekan. Chan mau jadi egois untuk ketenteraman hidup di masa putih abu-abu.

"Tunggu..." jeda Chan menghentikan langkah teman kelasnya itu.

"Ya?"

"Panggil gue Chan, gue nggak terbiasa dengan sebutan kaya gitu."

"Oke." Chan hanya mengangguk saja. Membiarkan pemuda yang belum ia ketahui siapa namanya itu pergi menghampiri teman lain untuk diajak duduk bersebelahan.

Seperti biasa tempat duduk terbaik di dunia, ya, paling pojok belakang dekat jendela. Dan pemuda bermarga Lee itu mendapatkan tempat duduk ternyaman seperti yang sudah ia rencanakan sewaktu perjalanan ke sekolah.

Chan menatap langit mendung yang tak menunjukkan tanda-tanda akan menerbitkan senyum cerah. Atau teriknya matahari yang bisa membakar kulit. Yang ia lihat hanya gumpalan awan berwarna abu-abu nyaris kehitaman. Tak ada suara dan kilatan petir, namun itu semua sudah sangat cukup membuatnya was-was dan langsung mengalihkan pandang ke seluruh penjuru kelas.

Tidak ada yang aneh.

Bahkan sampai jam istirahat berbunyi Chan tatap memilih memainkan ponsel. Guru kebetulan tidak masuk, jadi kelas bebas untuk satu hari. Earphone yang menyumpal pada kedua lubang telinganya membuat Chan sangat fokus menatap bawah tak peduli bahwa ia sekarang hanya berdua bersama seorang gadis berambut sebahu dengan warna sedikit pirang.

"Emangnya boleh sekolah warnain rambut begitu?"

Ting...

Pesan dari abangnya, Lee Seokmin.

Abang(krut)

|Abang(krut)
|Sekolah lo sblh mna sih anjg!

Chan hanya menghela nafas lelah. Kapasitas otak seorang Lee Seokmin sudah tidak mampukah untuk menampung lokasi sekolah adiknya sendiri? Padahal jauh-jauh hari sudah Chan beritahu. Dan sudah jauh-jauh hari pula abangnya itu selalu bertanya hal yang sama, itu sekolah sebelah mana sih? Gila kan? Jadi Chan memilih mendiamkan pesan abangnya dan fokus mencari kesibukan lain.

Untuk beberapa saat, tatapan itu terlihat damai. Namun tak lama kemudian Chan langsung dibuat beku. Tatapan yang tadinya damai langsung berubah menjadi dingin dan terkesan penuh akan kebencian.

"Kim Mingyu!" ucap Chan tenang sembari memperhatikan langkah seorang Kim Mingyu menghilang dari pandang.

"Kim Mingyu!" ucap Chan tenang sembari memperhatikan langkah seorang Kim Mingyu menghilang dari pandang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ditulis : 27/12/21
Jawa tengah, bernama wengi sekitar pukul dua dini hari.
magicho.

[𝟏]  𝐬𝐜𝐡𝐨𝐨𝐥 (𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐚𝐤 𝐭𝐞𝐫𝐥𝐢𝐡𝐚𝐭) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang