Malam ini serasa semakin mencekam. Chan tak yakin apakah pendengarannya bermasalah atau tidak—yang jelas pemuda itu mendengar berbagai macam suara yang bercampur menjadi satu. Menggema pada gedung tua. Menciptakan atmosfer yang berbeda.
Pemuda itu menatap sekilas pada jam dipergelangan tangan kiri. Tatapannya kosong ketika ia mengetahui bahwasanya jam menunjukan hampir pukul duabelas malam. Chan terjebak, seorang diri di dalam perpustakaan yang nyaris tak memiliki penerangan sama sekali. Bahkan rasa-rasanya pemuda itu sudah sangat pasrah kalau Mingyu menemukannya dan benar membunuh Chan seperti yang pemuda itu katakan tadi. Kaki Chan lemas, kini iris itu menatap lama pada bangku yang ia tata sedemikan rupa supaya menghalangi pintu masuk perpustakaan. Chan tahu usahanya akan percuma saja, karna semua bangku sampai meja yang ia jadikan penghalang pasti tidak sebanding dengan kekuatan Kim Mingyu.
Gimana keadaan Kak Jihoon?
Ia menunduk. Bulir berwarna bening berhasil jatuh dari sudut matanya. Chan terisak dikeheningan malam bersama berbagai macam suara menakutkan itu. Menangis karna sampai detik ini ia tak mengetahui bagaimana keadaan abangnya—Lee Seokmin. Apa pemuda itu selamat, atau justru menjadi korban kejahatan Kim Mingyu?
Chan tak tahu salah apa yang sudah ia perbuat sampai berujung berakhir seperti ini. Tolong, katakan kalau memang pemuda itu bersalah dalam berbagai macam hal. Supaya Chan juga bisa introspeksi diri dan menjadi lebih baik lagi kedepannya.
Sejenak pemuda itu bisa bernafas lega. Memejamkan mata letih untuk satu hari mengerikan ini. Chan ingin beristirahat—sebentar, sudah lebih dari cukup sebelum kembali melanjutkan tujuannya datang ke sekolah. Ya, Chan akan menuntaskan semuanya. Tak ada lagi kata menyerah karna Chan sudah berjalan cukup jauh untuk kembali dititik awal dan seolah tak mengerti apa-apa. Ia sudah terlanjut terjerumus ke dalam masalah besar ini. Maka Chan akan menyelesaikannya hari ini juga—mungkin?
"Chan?" suara lembut yang tak asing menyapa indra pendengarnya. Perlahan manik itu terbuka. Menyipit karna silau lampu yang menyala jadi penerang ditengah malam.
Jisoo, pemuda itu berdiri tepat dihadapan Chan. Mengulurkan tangan meminta Chan supaya segera meraihnya. Namun yang Chan lakukan hanya diam menatap kosong. Ia tak akan percaya terhadap siapa pun lagi kecuali dirinya sendiri. Mungkin saja pemuda dihadapannya bukan Hong jisoo yang asli, kan? Meningat ucapan Mingyu yang mengatakan bahwa Jisoo sudah lama mati, dan lenyap dari muka bumi ini.
"Bangun, jangan jadi manusia lemah."
"Bukankah semua manusia memang lemah, hmm?" iris mereka bertemu. Melempar tatapan yang sama-sama sulit untuk diartikan, "Kak, lo, bukan manusia kan?"
Jisoo diam. Berarti ucapan Chan adalah benar.
"Lo anak buah Kim mingyu?" pemuda itu kembali diam, namun Chan sadar bahwa kedua tangan Jisoo sudah mengepal dikedua sisi badan.
"Kalau begitu, sekalian aja lo bunuh gue disini sebelum Mingyu yang bunuh gue. Rasanya akan lebih baik kalau gue mati ditangan orang—yang sempat gue percaya daripada mati ditangan kotor Kim Mingyu itu." Chan tersenyum sarkas, menatap lekat pada Jisoo yang menunduk tak mengeluarkan sepatah kata pun.
"Mingyu itu brengsek," adu Chan. Jelas merasa dipermainkan. "dia seolah punya dua kepribadian yang nggak bisa gue mengerti."
Ya, mingyu berhasil memporak porandakan pertahanan seorang Lee Chan. Membuat ketakutakan pemuda itu sebagai ajang tontonan gratis yang begitu mengasyikkan.
Bajingan!
"Mingyu—"
BRUGH!!
Chan langsung terkapar kala Jisoo melayangkan sebuah pulukan keras. Pemuda itu meringis, mengusap pelan pada sudut bibir yang mengeluarkan cairan kental berbau amis.
"Lo benar-benar kaki tangan dia?"
"Berhenti bicara yang enggak-enggak tentang sahabat gue, Lee Chan! Lo nggak tahu kejadian aslinya. Lo nggak tahu seberapa besar perjuangan Mingyu. Lo—nggak akan tahu dan paham tentang ini semua!"
"KALAU BEGITU KASIH TAHU GUE TENTANG SEMUANYA. SUPAYA GUE TAHU, PAHAM, DAN MENGERTI. GUE KAYA BONEKA DI TEMPAT INI ASAL LO TAU!" nafas Chan memburu. Pemuda itu lekas bangkit untuk mensejajarkan tinggi tubuhnya.
"KETAKUTAN GUE, SEOLAH JADI AJANG TONTONAN GRATIS BUAT KALIAN. SAMPAI DETIK INI GUE BELUM TAHU GIMANA KEADAAN ABANG GUA YANG JUGA TERJEBAK. KAK JIHOON—" Chan tak melanjutkan ucapannya. Karna embun yang semakin berkumpul di sudut mata akhirnya kembali jatuh.
Jisoo langsung mendongak, tatapannya terlihat begitu khawatir. "Jihoon kenapa?"
"LEE CHAN JAWAB GUE!"
"Dia ngehalau Mingyu supaya gue bisa lari kesini."
Jisoo tak lagi bersuara. Pikirannya kalut, ia berjalan mendekati pintu perpustakaan.
"Mungkin dia udah hilang untuk selama-lamanya, Soo. Percuma lo kesana, karna mungkin aja lo bisa hilang detik ini juga."
Chan langsung menoleh ke sumber suara. Pemuda berkaca mata bundar berjalan ke arah jisoo, menepuk bahu pemuda itu seolah menyalurkan kekuatan.
"Jangan sia-siain usaha Jihoon dengan lo bertindak ceroboh. Dia udah nolong lo dari iblis itu, kan?" Jisoo hanya mengangguk. Tak berbuat banyak kecuali menyesali semua keterlambatannya.
"Gue nggak akan ceroboh, lo harus percaya sama gue kali ini, Won!" pemuda itu hanya mengangguk kecil. Dan jisoo langsung menembus pintu entah kemana tujuan pemuda itu.
Kini, hanya ada Chan dan dia. Tanpa suara, hanya saling tatap entah mencari apa.
"Semua tergantung lo, Lee chan. Keputusan yang akan lo ambil menentukan hidup lo sendiri." Chan tak menjawab. Ia terlalu sibuk bergulat bersama pemikirannya yang tak tentu.
"Lo percaya sama gue?" kali ini Chan menggeleng. Mundur beberapa langkah memberi jarak karna pemuda itu terus berjalan mendekat.
"Chan!"
"Jangan mendekat. Lo...sama anehnya seperti orang-orang yang gue temui!" ucap Chan menggema. Kedua tangan pemuda itu sudah berpegang teguh pada badan rak buku. Nafasnya masih memburu, getaran hebat yang menghantam sekuat tenaga berusaha tetap Chan sembunyikan. Karna bagi Chan, sakali saja ia terlihat lemah dihadapan seseorang maka akan semakin gampang pula bagi orang tersebut menjatuhkannya. Dan Chan tak akan membiarkan pemuda berkacamata bulat itu menjatuhkannya.
Jangan percaya sama siapa pun.
"Lo bisa percaya sama gue!" ucap pemuda itu tenang berusaha memberi pengertian untuk Chan.
"Manusia bukan tempat untuk menaruh rasa percaya, Jeon Wonwoo."
"Gue bukan lagi manusia seperti lo, Chan."
Ditulis : 30/12/21
Jawa tengah, siang menuju petang yang hendak menyambut malam. Sedikit ada keraguan namun tetap memaksakan.
magicho
KAMU SEDANG MEMBACA
[𝟏] 𝐬𝐜𝐡𝐨𝐨𝐥 (𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐚𝐤 𝐭𝐞𝐫𝐥𝐢𝐡𝐚𝐭) ✔
Horror[⁰⁰¹] [𝐟𝐭. 𝐋𝐞𝐞 𝐂𝐡𝐚𝐧-𝐃𝐢𝐧𝐨] "𝐤𝐚𝐫𝐧𝐚 𝐦𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚 𝐛𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐚𝐫𝐮𝐡 𝐫𝐚𝐬𝐚 𝐩𝐞𝐫𝐜𝐚𝐲𝐚."