"Yakin itu sekolah lo? Serem amat perasaan deh."
Chan hanya terus menatap tidak suka pada abangnya yang sudah berjalan lebih dulu lantas menjatuhkan diri di sofa ruang keluarga. Meraih remote menyalakan siaran televisi.
Gila!
"Gue lagi ngomong sama lo, Chan!" tegas Seokmin tanpa menoleh sama sekali.
"Gue sibuk!"
Dari banyaknya tingkal menyebalkan seorang Lee Seokmin, Chan tak pernah sampai sedongkol ini terhadap abangnya itu. Biasanya Chan hanya akan mengiyakan atau membiarkannya saja. Dan Seokmin akan diam dengan sendirinya. Tapi kali ini pemuda Lee itu terus mengatakan hal yang tidak-tidak mengenai sekolahnya.
"Ini sekolah chan?"
"Lokasi pasti sekokah lo di mana sih?"
"Bangunan tua ini?"
"Chan kayaknya lo perlu pindah."
"Ngelantur nih anak, pasti! Yakin seratus persen gue!"
"Gue nyasar Chan. Habisnya sekolah lo nyempil dibelahan bumi mana sih?"
Itu hanya sebagian dari sekian banyak omongan tidak jelas yang sudah Lee Seokmin lontarkan hari ini. Dari banyaknya orang-orang aneh yang Chan temui di sekolah, nyatanya abangnya itu masih memegang rekor nomor satu sebagai orang teraneh itu sendiri. Rasanya percuma saja, kan? Kalau Chan ingin menguak fakta tersembunyi mengenai sekolahnya lewat bantuan Seokmin. bukan sebuah jalan keluar yang Chan dapatkan justru sebaliknya.
Chan merebahkan raganya di atas kasur berukuran sedang. Maniknya terpejam erat menikmati hembusan angin yang masuk dari celah jendela. Chan membiarkannya saja. Memilih tetap pada posisi awal sembari memikirkan hal-hal yang sekiranya dapat membantu.
"Apa gue tanya Kak Jisoo aja?"
Hening.
Tapi itu ide yang bagus. Walaupun pertemuan mereka hanya sesingkat chat dari doi, Chan merasa cocok kalau sudah berada di dekat Hong Jisoo.
"Kalau dia juga jahat?"
Tok...tok...tok...
"Gue masuk ya, Chan?"
"Ada apa lagi sih, Bang? Mau ngatain gue? Mau bandingin sekolah gue sama sekolah lo yang bagus itu? Iya gue tahu gue goblok dan—"
Seokmin mendengus, "Cerewet!" cibirnya sebelum berjalan untuk menutup jendela kamar sang adik. Duduk dibangku belajar lantas menatap Chan lekat. Tatapan yang mengisyaratkan pertanda bahwa Seokmin sedang dalam mode serius.
"Chan?"
"Hmm."
"Gue minta maaf, ya? Gue nggak ada maksud ngejelekin sekolah lo atau semacamnya. Cuma..." Seokmin menjeda ucapannya lantas menoleh pada Chan yang sudah mengubah posisi menjadi duduk. Siap mendengarkan kelanjutan bicara abangnya.
Seokmin tak tahu harus mengatakan ini atau tidak. Ia tak mau Chan terus mengira dirinya main-main mengenai sekolah pemuda itu. Tapi di lain sisi Ia tak mau melihat Chan kecewa dan yang lebih parah lagi jika sampai pemuda Lee itu membencinya. Tapi apa Chan akan percaya? Karna apa yang Seokmin katakan, lihat, juga sangat tidak masuk akal. Pemuda itu bahkan sampai mengira bahwa ia sungguhan gila.
"Ini bukan sih jalannya?" Seokmin kembali merapatkan jaket yang ia kenakan. Tangan pemuda itu sudah menyelinap masuk ke dalam saku jaket untuk mencari kehangatan karna memang malam ini terasa begitu dingin.
Chan sama sekali tak membalas pesannya. Mungkin adiknya itu marah karna mengira ia terus bermain-main? Padahal, semua yang Seokmin katakan berdasarkan fakta. Ia seolah amnesia jika diminta mengingat lokasi sekolah Chan. Bahkan jalan yang ia telusuri sore menjelang malam ini begitu sepi. Hanya ada rerumputan liar yang mulai memanjang dan tanaman rambat yang memenuhi pagar besi lampuk karna dimakan usia.
Langkah Seokmin terhenti tatkala melihat punggung tegap dari jarak cukup jauh berjalan ke arah barat. Buru-buru ia berlari lantas mencekal lengan pemuda yang ia yakini adalah Lee Chan.
Tepat!
"Mau kemana?"
"Bentar Bang. Hp gue ketinggalan."
"Di mana?"
"Sekolah!" tunjuk Chan pada banguan tua itu. Seokmin ikut memperhatikan arah jemari Chan yang menunjuk pada bangunan tua tepat dihadapan mereka berdua. Seokmin ingin melontarkan tawa saking terkejutnya bahkan pemuda Lee itu juga sempat mengira bahwa Chan hanya mempermainkannya. Namun tatapan serius Chan membuat Seokmin mengurungkan niat.
Chan tidak bermasalah, kan? Atau Seokmin yang sudah gila? Karna dihadapan mereka, seperti apa yang Seokmin lihat saat ini memang bangunan sekolah. Hanya saja apakah masih bisa dikatakan kayak huni ketika hampir setiap penjuru ditanami rumput liar? Bahkan gapura yang terpampang jelas di depan mata itu sudah setengah patah.
"Besok aja Chan."
"Cuma sebentar Bang," tukas Chan bersikeras ingin kembali masuk.
Seokmin menahannya. Berpikir sangat keras bagaimana cara agar Chan tidak masuk ke dalam bangunan menyeramkan itu. "Emm, pasti udah dikunci sama pak satpam. Lagian nih ya, lo nggak takut disangka maling karna dateng ke sekolah magrib, magrib, begini?"
Adiknya itu justru tertawa mencemooh, "Kalau gue emang nggak ngambil apa-apa ngapain mesti takut?"
"Ya..."
"Lo yang takut, kan, Bang?"
Sialan! Seokmin berhasil mengumpat dalam hati.
"Oke, iya, gue jujur. Puas lo? Buruan ih pulang."
"Terus nasib HP gue gimana?"
"Yaelah HP butut aja kaya punya lo itu nggak akan ada yang mau ambil."
"Nggak jadi," putus Seokmin akhirnya.
Terlihat dengan jelas bahwa Chan memutar bola mata malas. Pemuda Lee itu memilih menarik selimut tebal lantas menutup seluruh tubuhnya, "Pergi. Gue mau tidur."
"Chan?"
Hening.
Seokmin tahu adiknya itu belum tidur, "Udah tidur ya? Kalau gue minta lo pindah sekolah gimana? Gue...khawatir. karna apa yang gue lihat mungkin aja beda sama apa yang lo lihat."
Seokmin lantas berdiri dari duduknya. Menepuk selimut tebal itu beberapa kali sebelum benar-benar keluar dari kamar sang adik.
Selepas kepergian abangnya, Chan langsung menyibak selimut tebal itu. Menatap lekat pada pintu coklat yang sudah tertutup rapat.
"Yang lo perluin itu melihat semua situasi disekitar lo."
Ucapan Jisoo—kakak tingkatnya langsung terlintas dalam angan.
"...karna apa yang gue lihat mungkin aja berbeda dari apa yang lo lihat."
Disusul ucapan abangnya barusan.
Ditulis: 28/12/21
Jawa tengah, pagi menuju siang.
magicho
KAMU SEDANG MEMBACA
[𝟏] 𝐬𝐜𝐡𝐨𝐨𝐥 (𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐚𝐤 𝐭𝐞𝐫𝐥𝐢𝐡𝐚𝐭) ✔
Horror[⁰⁰¹] [𝐟𝐭. 𝐋𝐞𝐞 𝐂𝐡𝐚𝐧-𝐃𝐢𝐧𝐨] "𝐤𝐚𝐫𝐧𝐚 𝐦𝐚𝐧𝐮𝐬𝐢𝐚 𝐛𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐚𝐫𝐮𝐡 𝐫𝐚𝐬𝐚 𝐩𝐞𝐫𝐜𝐚𝐲𝐚."