I wanna live with you
Even when we're ghosts
'Cause you were always there for me when I needed you most
I'm gonna love you 'til
My lungs give outNada dering yang berbunyi di tengah kesunyian membuat sang pemilik ponsel tersebut segera keluar dari dunia mimpinya.
Dengan gerakan cepat dia bangkit dari posisi tidurnya, mengambil benda yang berbunyi tersebut lalu menjawab panggilan dari sang penelpon.
"Pelangi?"
Tidak ada jawaban dari sebrang sana, membuat Hujan khawatir, "Halo, Pelangi?"
"Hujan-"
Kali ini terdengar jawaban, walaupun hanya namanya yang disebut lalu selanjutnya hanya suara tangisan terdengar. Sepertinya Hujan tau apa yang terjadi.
"Pelangi, kamu masih bisa gerak kan? buka kuncian pintu balkon kamu sekarang."
Setelah mengeluarkan titah tersebut, Hujan menekan tombol loud speaker dan membiarkan hp nya tergeletak di atas kasur. Matanya memandang jam yang terletak di nakas samping tempat tidurnya, jam menunjukkan pukul 02.30 pagi.
"Hm? lebih lambat dari biasanya."
Tak ingin menghabiskan banyak waktu dengan berspekulasi. Kakinya segera mengambil langkah lebar menuju balkon kamar membuka pintu tersebut lalu berjalan keluar dan menutup kembali pintu balkonnya.
Untung saja jarak balkon kamarnya dan Pelangi tidak terlalu jauh, jadi disetiap keadaan darurat dia selalu menggunakan jalan ini untuk menemui Pelangi.
Dengan sedikit usaha, akhirnya dia sudah berada di balkon Pelangi. Mencoba menggeser pintu tersebut- berhasil. Saat pintu terbuka hal pertama yang dia lihat adalah Pelangi yang terduduk di lantai, terlihat memburu oksigen untuk masuk ke dalam paru-parunya.
Melihat hal itu Hujan segera menggendong Pelangi untuk diletakkan di kasurnya
"Pelangi, Hujan udah disini." ucapan disertai elusan lembut di pucuk kepalanya, membuat Pelangi tersadar dari lamunan.
Netra milik keduanya bertemu, Hujan dapat melihat penampilan Pelangi yang kacau. Wajah pucat, keringat yang membasahi sekujur tubuh, mata yang terlihat sembab.
"Hujan, m-mimpinya-" belum selesai melanjutkan kalimatnya, Pelangi kembali menangis. Tanpa sadar dia mencengkeram erat tangan Hujan.
Sakit.
Tapi tak mengapa, asalkan Pelanginya tidak melakukan hal itu kepada dirinya sendiri.
Satu tangannya yang bebas ia gunakan untuk mendekap tubuh Pelangi, berusaha memberi kenyamanan.
"Sst, cukup. Kamu jangan maksa cerita hal yang paling kamu benci." bagaikan mantra. Setelah ucapan itu, tangisan Pelangi perlahan mulai mereda, deru nafasnya juga mulai teratur sehingga cengkraman pada tangan Hujan juga mengendur.
Menyadari akan hal itu, Hujan membetulkan posisi Pelangi menjadi posisi tidur. Tangannya ia gunakan untuk menggenggam lembut tangan Pelangi.
Akhirnya Pelangi kembali tidur, tapi Hujan tidak akan langsung meninggalkan nya begitu saja. Ia akan menunggu sampai sekitar 30 menit. Takut Pelangi kambuh lagi.
Tangannya tak pernah berhenti mengelus surai halus Pelangi. Bahkan saat tertidur, Pelangi tetap terlihat cantik.
Hujan jadi teringat pertemuan pertama mereka yang terjadi ketika mereka berumur 6 tahun.
Pertemuan itu masih terekam jelas diingatan Hujan. Pelangi kecil yang menggemaskan.
Sibuk mengenang masa lalu, sampai ia tak sadar bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 04.25 pagi. Ah, sepertinya dia sudah harus segera beranjak dari posisi nyaman nya.
"Cup." satu kecupan dilayangkan pada buku jari Pelangi, menjadi salam perpisahan yang cukup manis.
-🌼
![](https://img.wattpad.com/cover/289455521-288-k346435.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DANDELION
General FictionBertemu denganmu adalah sebuah ketidaksengajaan, mencintai mu adalah takdir yang aku rencanakan. "Pelangi, kamu hanya manusia biasa, jangan paksa diri kamu untuk tetap terlihat kuat kalau memang kamu sudah dititik lelah." ucapan samar yang menyapu i...