Kenangan di Pulau Jeju

304 48 24
                                    

"Jongin.."

"Oh, Kyungsoo, kau membuatku takut."

"Maafkan aku, aku pergi ke toilet sebentar dan dia menemaniku sepanjang waktu."

Telunjuknya menunjuk salah seorang penjaga wanita yang menundukkan kepalanya saat Jongin menatapnya untuk berterima kasih.

Jongin mengingat, bahwa hujan tidak turun pada hari itu, atau dalam bulan Februari tujuh tahun lalu.

"Jangan pernah menghilang dariku."

Dia memberitahu Kyungsoo dengan tatapan yang lebih tepatnya seperti sebuah permohonannya seumur hidup.

"Pesawat sudah siap, Bos."

Jongin menggenggam Kyungsoo jauh lebih erat dan mereka meninggalkan Edinburgh dengan keadaan tak tenang.

Butuh waktu.

Dan waktu tak pernah menyembuhkan apapun, luka yang diderita semakin terbuka, menganga seperti lubang hitam yang menyediakan rasa sakit yang jauh lebih mematikan dari saat pertama kali. Matahari yang dirindukannya di bulan-bulan sebelum Agustus, Jongin mengingatnya tanpa belas kasih, saat awal dia bertemu Jinri yang dikenalkan Ayahnya, seorang perempuan yang baru menginjak masa mekar, malu-malu dengan kebaikan hati mengikat Jongin sebagai pendamping hidupnya, mereka hanyalah sepasang muda yang tak memahami cara orang dewasa menghadapi roda kehidupan.

Jongin mengingatnya lagi, kopi gunung yang dicampur satu seloki cane liquor yang tak pernah dia sukai setelahnya.

Menghadapi sebuah kenyataan, di usianya yang masih baru menginjak dua puluh tahun, terjebak dalam klise yang membuatnya menjadi tahanan. Dia terjatuh bersama, menggantikan kematian seorang anak yang tak berdosa, yang telah dianggapnya bagian dari darahnya. Namun, Jinri adalah neraka itu, yang membakar Jongin bertahun-tahun.

"Kau baik-baik saja?"

Jongin membuka mata perlahan, menghentikan pikirannya yang mengenang segala hal yang terjadi di masa lalu, dan merasakan jemari Kyungsoo membelai wajahnya.

"Kau berkeringat terlalu banyak."

Seperti setiap hari yang dilalui Jongin, mual-mual di malam hari, dan kepalanya akan siap meledak kapanpun.

Karena itu Jongin selalu menyibukkan dirinya dengan pekerjaan; demi satu hal.

Kyungsoo jauh lebih mengerti untuk membiarkan Jongin diam dan menutup matanya lagi. Segala hal yang ada di dalam ikatan mereka sekarang takkan merubah Jongin seketika, Kyungsoo memahami itu.

Jam telah berdentang enam kali dan lampu jalanan masih menuala. Pada dahan-dahan pohon dan tumpukan salju di pinggiran jalan setapak menuju rumah mereka seperti menunduk untuk menghormati perjalanan mereka. Rumah yang telah Jongin perkenalkan pada Kyungsoo, yang jauh lebih hangat dari manapun, Kyungsoo di dalam mobil mulai gelisah dengan sikap Jongin yang mendiaminya sejak berada di pesawat, melewati bandara, dan hampir tiba di rumah ini.

Mereka memasuki halaman, disambut dengan beberapa pelayan dan penjaga yang jumlahnya jauh lebih banyak dari rumah Ibunya. Kyungsoo menarik mantel tipisnya dan membiarkan koper-koper mereka diseret oleh dua pelayan. Lalu, melangkah mengikuti Jongin yang masuk tanpa ragu.

"Matahari sudah hilang."

Kyungsoo menutup pintu kamar berbahan kayu yang dicat warna putih itu pelan dan hanya menimbulkan suara sedikit.

Jongin meneliti jendela, kamar ini adalah kamarnya yang tak memiliki kenangan apapun, hanya dirinya sendirian setiap hari selama tujuh tahun mematikan itu. Hanya dirinya yang dikunjungi Jinri tanpa mampu saling bicara. Meski itu kesalahan Jinri, dia tak mampu menghilangkan rasa bersalahnya pada anaknya yang malang.

Mr. KimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang