Di bawah payung hitam yang melindunginya dari rintik hujan yang berubah semakin deras, dia menatap jalanan Seoul yang mulai lembab dan menjengkelkan. Terus menyusuri trotoar, berusaha memastikan rokok di jemarinya masih menyala untuk membuat tubuhnya hangat.
Mobil-mobil nampak enggan berkeliaran di jalanan dingin itu. Satu detik berubah menjadi satu menit. Dia melihat alroji mahal di tangan kirinya sejenak, sebelum dapat menyeberangi lampu lalu lintas bersama anak-anak yang baru saja akan pulang dari sekolah.
Dia berhasil menyeberang. Melihat lurus kembali trotoar yang hampir membuat sepatu kulitnya kotor, lalu dengan sembarangan menjatuhkan abu dari rokoknya ke tanah. Ponselnya berdering lagi, setidaknya selama menyeberang tadi suara itu terdengar terus-menerus, membuatnya menjatuhkan payung, dan menarik pintu sebuah kafe yang biasa dikunjunginya.
"Halo?"
Dia menunjuk satu menu di display, kemudian mendapati seorang pria di balik mesin uang menunggu reaksinya lagi untuk segera menutup pembicaraan itu dan tidak membuat antrian lebih panjang.
"Debit."
Pria itu mengangguk, kemudian melihatnya menekan pin, dan berlalu ke sisi kiri untuk menunggu kopi panasnya datang.
"Aku butuh kopi dan ketenangan."
Seorang pelayan mengernyit, membawa satu cangkir kebingungan, itu adalah pesanan dine-in, tapi pria dengan jas hitam di depannya mengantri di antrian take-away.
Pria itu membalik tubuhnya dan berusaha segera menutup sambungan itu. Namun, dia tak bisa begitu saja.
"Mom, aku baru saja tiba di Seoul, jangan mengganggu pekerjaanku. Aku akan menemuimu satu jam lagi, sampai jumpa."
Pelayan itu bernapas lega, kemudian mencoba menegur, namun pria dengan jas hitam itu melirik cangkirnya, di sana kopinya sudah kehilangan busa yang membuat seleranya menurun.
"Aku pesan satu lagi yang super panas."
Pelayan itu mencegahnya kembali ke kasir, menjelaskan kopi itu masih sangat layak untuk diminum.
"Buat Anda saja dan oh kopi yang sama."
Dia menunjuk display itu lagi, membuat sang juru kasir tak dapat menolak permintaannya. Kemudian menjelaskan dan segera menunjuk arah di mana pelanggan dine-in harus duduk.
Pria itu mengangguk, kemudian membuang struk di tangannya, merogoh kantong celana untuk mencari bungkus rokok. Sial itu menghilang.
"Silahkan, Tuan."
Pria itu mengangguk, parasnya yang rupawan membuat beberapa pengunjung berbisik, dan menopang dagu ingin berkenalan dengannya.
"Hei..kau.."
Pelayan itu kembali, memegang nampan, menutupi perutnya. Kemudian dengan sedikit gugup menanyakan ada apa.
"Duduklah di sini."
"Y-ye?"
"Duduklah di sini, di seberangku, ambil kopi tadi."
"Tapi..t-tapi, Tuan, saya tidak bisa."
Pria itu jengkel, dia hampir mengumpat karena tak menemukan bungkus rokoknya, ditambah lagi pelayan ini tak menuruti kemauannya.
"Aku akan bayar."
Sial, apa dia pikir semua bisa dibayar dengan uang?
"Ambil kopimu dan temani aku duduk di sini."
Pelayan itu sedikit terseok kembali ke dapur, menjelaskan perintah aneh itu kepada rekannya, dan mendapati manajer yang merapikan kancing jasnya berdiri di samping sambil menyandarkan bahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Kim
RomansaDia hanyalah seorang pria yang selalu membuat kecewa. "Kim Jongin." Begitu cara Kyungsoo mengejanya. Kisah romansa di antara mereka tak berjalan dengan baik. Setelah terpisah begitu lama, Jongin tersenyum pada Kyungsoo dengan kesedihan itu. Cinta m...