Napasnya tersengal, berlari menghindari kejaran beberapa prajurit kerajaan sungguh menguras energi. Andai saja gaunnya bisa digantikan dengan sebuah celana mungkin dirinya tak akan kesusahan untuk melangkah lebih lebar saat berlari. Gemericik air mulai terdengar, ah benar ada sungai di sekitar sini. Kaki mungilnya berjalan riang ke arah sumber suara tersebut, siulan ringan terdengar seirama dengan langkah kakinya.
Setelah menarik gaunnya setinggi lutut gadis bermanik light hazel tersebut menghempaskan pantatnya pada rerumputan, di pinggir sungai. Kakinya dibiarkan menggantung untuk menyentuh segarnya air sungai. Rasa perih pada telapak kakinya mulai terasa, berlari dari kejaran prajurit lebih baik tanpa alas kaki jika tak ingin tertangkap. Perlahan ia menunduk memperhatikan kakinya yang sedari tadi diterpa air sungai, anak rambutnya berterbangan ikut menari bersama angin sepoi yang lewat. Satu helaan napas lolos dari hidung mancungnya.
Matanya membulat ketika seekor ikan mas baru saja melewatinya, senyumnya mengembang. Bergegas ia turun ke dalam sungai, tentu saja untuk mengejar ikan mas tersebut, sayang sekali ia tak dapat menangkapnya. Kepalanya kembali terangkat untuk menoleh ke sekeliling, memperhatikan hal menarik apa yang dapat ia temui, namun tidak ada. Sungai ini tidak terlalu dalam, tak sampai sebatas lutut orang dewasa. Air sungai begitu jernih dan nampak menggiurkan sekarang, kedua tangan mungilnya berusaha menampung air dan buru buru meminumnya. Benar saja rasanya segar sekali.
Setelah mengusir dahaga gadis yang belum genap berumur sebelas tahun tersebut bergegas naik, sedikit kesusahan namun akhirnya ia berhasil setelah menemukan pijakan yang tepat. Gaunnya terasa lebih berat ketika basah, sebuah ide terlintas begitu saja. Ia mengangkat gaunnya sedikit tinggi dan menahannya dengan satu tangan, sedangkan tangan lainnya meraih sebuah belati - dari sarungnya - yang sedari tadi diikatkan di paha kanannya. Bibirnya tersenyum miring, ia memangkas asal gaunnya hingga sebatas lutut. Setelah puas dengan hasil karyanya ia mengembalikan belati yang panjangnya tak sampai dua belas centimeter ke dalam sarungnya, terikat pada paha sebelah kanan nya.
Perih masih terasa sesekali tapi langkanya mantap menyusuri hutan, mengikuti aliran air. Sepuluh meter berjarak dari tempat ia berdiri terdapat serumpun pohon apel, buahnya nampak merah dan segar. Kedua ujung bibirnya terangkat naik, bergegas ia mendekat untuk melihat lebih jelas. Benar banyak sekali buah apel yang sudah matang pohon, gadis dengan rambut berwarna keemasan itu memutar otak ketika mengamati salah satu pohon apel tersebut.
Setelah menemukan celah untuk memanjat, dirinya segera naik dan duduk di salah satu dahan pohon yang terlihat kokoh. Setelah meraih satu buah apel segera ia menggigit apel tersebut, mengetahui rasa buah apel tersebut manis semakin lahap pula ia memakannya. Setelah puas menghabiskan beberapa buah apel tak lupa ia juga menyimpan empat buah untuk diberikan pada Bibi Pearl. Langkanya riang berjalan kembali menuju istana.
Ekor matanya menangkap makhluk tak asing, iya itu binatang buas. Bulunya sedikit kumal, nampak binatang tersebut tengah asik meminum air sungai. Terlintas sebuah ide jahil. Sembari menggendong empat buah apel gadis dengan kulit putih bersih tengah asik memperhatikan targetnya sembari mengendap-endap demi mendekati hewan tersebut. Tangan kanannya terangkat, seringai jahil jelas terlihat dalam air mukanya. Kaki kanannya sedikit dimajukan ke depan, tangan kanannya juga membentuk seperti cakar bersamaan dengan itu sebuah ucapan keluar dari bibir kecil dengan warna semanis cherry miliknya.
"Dorr!" Gadis tersebut membuat suara seperti tembakan.
Terdengar tawanya yang begitu puas menyebar di udara kala anak singa di hadapannya sedikit gelagapan. Seperti tak mau kalah anak singa tersebut bersiap mengejar dengan mengambil sedikit ancang-ancang. Adhel tentu sudah tahu apa yang akan terjadi, dia berlari sejauh mungkin sembari tertawa lepas saat anak singa tersebut mengejarnya. Tawa bahagianya hanya bertahan hingga beberapa detik kemudian sebelum kakinya tersandung sebuah batu yang membuat badannya terjungkal dan menghantam tanah yang terselimuti rerumputan.
"Aww …. Shhh" desisnya pelan.
Setelah merubah posisinya menjadi setengah terbaring ia baru menyadari bahwa kaki kirinya luka, nampaknya terkilir. Tak berselang lama Adhel baru sadar anak singa tersebut hanya berjarak beberapa jengkal dari jari kaki kanannya. Ada satu buah apel di genggaman tangan kirinya, sedangkan yang lainnya sudah jatuh berceceran bahkan ada yang masuk kedalam sungai. Refleks Adhel melempar apel tersebut ke arah anak singa tersebut.
"Bugh …." Cukup keras lemparan tersebut jika diukur dari suaranya.
Lemparan tersebut mengenai pelipis kiri anak singa tersebut, membuat nya lari tunggang langgang. Entah kekuatan apa yang membuat Adhel kembali tertawa setelah melihat tingkah anak singa tersebut, terlihat konyol di mata Adhel. Tak berselang lama rasa nyeri kembali menghampiri, bibir tipisnya tertarik sedikit membentuk sebuah ringisan. Perlahan ia bangkit sambil memungut dua apel, memaksa kakinya yang terasa sangat nyeri untuk terus berjalan. Langkahnya tertatih, hari mulai sedikit petang. Terlihat sebuah cahaya temaram dari lampion kerajaan, jaraknya hanya sekitar lima meter. Adhel paham betul siapa yang mencarinya ke sini.
"Bibi Pearl! Aku di sini!" Tangan kanannya melambai, wanita yang dipanggil 'Pearl" tersebut langsung menoleh ke sumber suara. Langkahnya tergesa mendekati Adhel. Terdengar helaan napas lega ketika dirinya sudah berada di hadapan sang putri. Di tengah temaram pencahayaan dan hari yang semakin petang mata Pearl memperhatikan kondisi Adhel.
"Putri Ellona … Astaga Raja akan memarahi saya lagi jika tahu keadaan Putri yang sekarang." Nada panik jelas terasa dalam setiap kata yang diucapkan oleh Pearl.
Adhel hanya terkekeh sembari menjulurkan kedua tangannya untuk memberikan dua buah apel kearah Bibi Pearl, "Aku hanya menyobeknya sedikit Bibi Pearl, lalu jatuh tersandung batu yang cukup besar. Aku hanya tidak memperhatikan langkahku. Panggil Adhel saja, tidak ada raja di sini."
"Baiklah. Boleh tolong kau bawa dulu apel itu? Naiklah ke punggungku, tolong bawakan juga lampionnya ya. Sekitar satu jam lagi makan malam siap, aku akan kena marah Raja jika kamu belum berada dalam area kerajaan. Apalagi dengan baju compang camping begitu."
Adhel hanya mendengarkan ocehan Bibi Pearl dengan senyum yang terlihat sedikit menyebalkan sembari menurut pada beberapa permintaan pengasuhnya itu. Sebenarnya jarak umur mereka cukup jauh, tiga puluh empat tahun lebih tua Bibi Pearl. Petang itu mereka pulang menuju istana dengan Adhel berada di atas punggung Bibi Pearl. Dengan pencahayaan temaram dari lampion kerajaan yang dibawa Bibi Pearl.
***
Hello!
Sejauh ini gimana ceritanya?
Apa pendapat kalian soal Adhel?030122
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐍𝐀𝐏𝐎𝐋𝐄𝐎𝐍
Fantasy. "Saya merasa pernah melihat wajahmu. Wajahmu familiar, Nona. Atau karena wajahmu pasaran?" Sungguh jika Anneliese berharap pria tampan di depannya akan memujinya dia salah besar. Seharusnya dia tidak berharap pada pria yang tak lebih dari kut...