Anneliese begitu sibuk membersihkan sebuah saputangan, diberikan sedikit lebih banyak pewangi pada kain berbentuk persegi tersebut. Setelah kain tersebut bersih dan wangi Anneliese memasukan kain tersebut pada sebuah lemari yang cukup besar mungkin lebarnya satu meter setengah, setelah menggantungkan kain tersebut pada tempat yang tersedia Anneliese mulai memencet tombol yang terdapat pada pintu sisi kiri. Setelah di setting untuk mengeringkan selama lima belas menit Anneliese beranjak keluar dari ruang mencuci, meninggalkan mesin sebesar lemari untuk mengeringkan kain persegi.
"Nona Metta?"
"Ada apa Lucina? Aku sedang berada di dapur, kemarilah." Seperti biasa Nona Metta selalu enggan berbicara dengan kalimat santai, dia juga mengenakan bahasa santai hanya untuk situasi tertentu.
Tangan Anneliese mulai membuka alat pemotong buah otomatis, terdapat beberapa potong apple tanpa kulit. Anneliese hanya duduk pada salah satu kursi kosong yang terdapat pada mini bar, menatap Nona Metta yang tampaknya sibuk sendiri. Setelah menghabiskan beberapa potong barulah Anneliese mulai meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa sedikit tegang. Mata Anneliese menyipit, menunggu Nona Metta menyadari bahwa dirinya telah menunggu wanita tersebut lebih dari dua puluh menit tanpa ada pembicaraan satu katapun.
"Nona Metta?" Sekali lagi Anneliese berucap demi memanggil wanita berusia tiga puluh tahunan itu.
"Katakan saja Lucina, saya sudah menunggu sedari tadi. Menit-menit terbuang hanya untuk menunggumu bercerita, Luci." Jawaban yang dilontarkan Nona Metta cukup membuat Anneliese tergelak.
"Ayolah Nona, bicara santai aja, dong. Tau nggak ... iya juga kan Luci mau cerita ini. Tadi kan batal ketemu Luna, sebel banget, ish. Habis itu Luci pergi ke perpustakaan, eh malah memu harta karun. Nona Metta masa Tuhan nemuin jodoh Luci sama Luci gampang banget sih?" Nada bicara Anneliese cukup untuk memberikan gambaran bahwa pria tersebut tampan.
Nona Metta tampak cukup tertarik, setelah menoleh ia berucap, "Fashion nya bagus? Wangi? Tinggi? Atau .... Bentuk rambutnya lucu?"
Anneliese jelas tertawa lepas nampaknya Nona Metta sudah begitu hafal dengan tabiatnya, Anneliese menggelengkan kepalanya perlahan. "Bukan itu Nona, aish. Dia paket hemat! Lengkap aja gitu tapi nggak dijual."
"Ada-ada saja kamu. Dia bukan makanan cepat saji, memang bisa dibeli sampai kamu bilang paket hemat itu?" Walaupun berucap demikian Nona Metta tetap tersenyum tipis melihat kelakuan nyonya kecilnya.
"Ya mangkanya itu Luci ngga bisa beli dia, lagian kalau diperjualbelikan ilegal dong. Hiii malah serem ... " Anneliese memperagakan gerakan bergidik ngeri sambil berjalan meninggalkan dapur.
Anneliese tersenyum tipis saat mengetahui mesin tersebut sudah selesai bekerja. Setelah mengambil kain persegi dari dalam lemari Anneliese berjalan masuk ke kamarnya. Setelah memastikan pintu tersebut dikunci Anneliese mulai mencari kotak yang sudah cukup lama ia sembunyikan. Senyumnya mengembang kala menemukan kota berwarna merah maroon berukuran tiga puluh lima sentimeter dengan sebuah tulisan di bagian pojok kanan atas.
"Joyeux anniversaire ma chère, Lucina."
Begitulah kalimat yang disana, hadiah ulang tahun dari Nona Metta saat umurnya baru menginjak tujuh belas tahun. Anneliese membawa kotak tersebut dalam pangkuannya ketika ia merebahkan diri pada kursi bersantai. Setelah dibuka kotak tersebut berisikan peralatan menyulam seperti satu set jarum jahit, benang dalam beberapa varian warna, widangan, gunting, rader dan karbon jahit, pita ukur, bidal, unpicker, kapur jahit, dan pemasang benang. Setelah mencari posisi nyaman Anneliese memulai kegiatan menyulam bagian berlubang pada sapu tangan tersebut.
Sebuah sulaman berbentuk kepala singa yang cukup menggemaskan kini telah menjadi pelengkap saputangan tersebut. Anneliese tertawa kecil saat ingatannya membawa dirinya kembali pada kejadian saat ia tak sengaja menyenggol pria tinggi bermata amber. Setelah membereskan alat menyulam dan mengembalikan pada tempat persembunyian sebuah ide gila muncul begitu saja dari kepala Anneliese. Disemprotkan parfum favoritnya tepat di atas hasil karyanya, aroma menyegarkan dari pink pepper, orange blossom, dan pear membuat siapapun yang mencium aromanya akan langsung menoleh belum lagi keluarnya aroma coffee, jasmine, vanilla, patchouli, dan cedar yang bercampur membuat kesan hangat, lembut, elegan dan menenangkan.
***
Menyeruput secangkir kopi ditemani dinginnya udara pada awal tahun merupakan masa paling nyaman bagi pria tampan dengan rambut brunette tersebut. Sudut bibirnya sesekali terangkat ketika manik kembarnya memperhatikan kejadian lucu di luar jendela tempat ia bersinggah. Jika dihitung ini menjadi cangkir ketiga yang dipesannya, membuat pikiran bebas tanpa beban dengan bersantai dan menikmati kopi sudah menjadi agenda rutin baginya. Bahkan pegawai cafe sampai hafal apa yang dia pesan dan tempat favorit yang dipilihnya untuk menikmati cangkir demi cangkir kopi yang dipesan.
Penunjuk waktu pada pergelangan tangannya sudah menunjuk angka enam pada jarum pendek sedangkan jarum panjang sibuk bergerak menangkap angka dua belas. Cukup banyak waktu yang digunakan untuk melamun dan menikmati kopi serta sebuah keik untuk mengganjal perutnya yang meraung ingin diberikan sebuah makanan berat. Setelah membayar pria berjaket jeans tersebut bergegas meninggalkan cafe tentu setelah mengenakan tudung jaketnya. Hujan salju turun, sialnya hari ini ia lupa membawa payung. Terpaksa harus menembus hujan salju, sebenarnya bisa saja menaiki kendaraan umum atau memesan robot pengantar namun ia terlalu enggan untuk berbicara atau hanya satu ruang dengan orang-orang.
Langkah lebarnya tiba-tiba saja berhenti saat menyadari sesuatu dalam saku jaketnya hilang. Raut panik jelas terlukis dalam wajahnya, tanpa berpikir panjang ia berlari kembali ke arah cafe tersebut. Napasnya memburu, setelah memasuki cafe tersebut pandangannya mengedar. Tujuan utamanya adalah mencari benda tersebut pada kursi yang beberapa menit lalu menjadi tempat persinggahan. Nihil, benda tersebut tak kunjung ditemukan. Sebuah tepukan pada bahu kanannya membuat nya menoleh, wajahnya memerah sedikit dibalut emosi.
"Ini Tuan Haider. Saya yang menemukan dompet anda, saya menyimpannya sembari menunggu anda kembali" ucap ramah seorang pegawai pria sembari memberikan dompet berwarna coklat gelap tersebut pada Haider.
Helaan napas lega keluar dari hidung mancungnya, "Syukurlah ... terimakasih banyak ya."
Setelah mengantongi dompet tersebut pada saku kiri jaketnya, Haider kembali mengenakan tudung jaketnya dan bergegas untuk pulang. Udara dingin begitu menusuk, untung saja ia berhasil pulang sebelum terserang flu. Setelah melepaskan jaketnya, pria berperawakan tinggi tersebut mulai menyalakan api unggun menggunakan potongan kayu. Setelah api tersebut menyala Haider mulai memposisikan diri di dekat perapian, cukup menenangkan duduk sembari menerima hangatnya api unggun.
***
Gimana gimana? menurut kalian kepribadian haider seperti apa? sampai sini bagaimana tanggapan kalian? semoga suka ya dekk.
17|01|22
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐍𝐀𝐏𝐎𝐋𝐄𝐎𝐍
Fantasy. "Saya merasa pernah melihat wajahmu. Wajahmu familiar, Nona. Atau karena wajahmu pasaran?" Sungguh jika Anneliese berharap pria tampan di depannya akan memujinya dia salah besar. Seharusnya dia tidak berharap pada pria yang tak lebih dari kut...