"Terkadang kita butuh jarak, agar memahami rasa sebenarnya. Seperti kata-kata yang butuh spasi, agar sanggup terbaca dengan baik."
{Emha Ainun Nadjib}
***
Delapan tahun lalu.
Gibran duduk diam mengamati ponselnya. Membaca ulang pesan elektronik itu. To Muhammad Gibran Aziel, Kyoto University accepted you.
Berulang kali sejak kemarin, Gibran terus mengulang judul e-mail itu. Seperti ketidakmungkinan, tapi juga tak masuk akal kalau e-mail sepenting itu salah alamat. Ditambah e-mail dari beasiswa yang Gibran daftar.
Gibran memberi tau bu Tri selaku guru BK yang juga mengurus hal semacam ini. Dan jawaban dari bu Tri hanya ucapan selamat atas kelolosannya.
Bingung. Itulah satu kata yang dapat mewakilkan perasaan Gibran sekarang. Disaat pejuang kuliah dan beasiswa diluar sana berlomba-lomba untuk mendapatkannya dengan susah payah, Gibran malah mendapatkan itu semua dengan gampang.
"Mas, lagi nungguin suratnya siapa si? Kayaknya dari kemarin buka e-mail terus." Araa tiba-tiba duduk di samping Gibran. Meletakkan kopi hitam buatannya di meja.
"Bukan siapa-siapa kok!" Gibran mematikan layar ponselnya dan ia letakkan di atas meja.
Hening beberapa detik saat Gibran mencoba kopi buatan Araa untuk pertama kali. Jujur saja Gibran tak menyukai minuman berasa apapun, kecuali air putih.
"Ra! Kalau misal aku ke Jepang, boleh?" pertanyaan Gibran sukses membuat Araa mematung.
"Kamu ngomong apa si, mas?"
Mungkin lebih baik Gibran terbuka kepada Araa sekarang. "Aku diterima Universitas Kyoto, Jepang." Gibran membuka kembali ponselnya dan menunjukkan isi e-mail yang dari kemarin ia baca.
"Ga!" jawaban yang singkat dan jelas. Meski Araa tau kalau kuliah di Jepang adalah salah satu impian Gibran dulu. Tapi Araa tak mau ditinggal Gibran begitu saja usai pernikahannya yang baru semingguan.
"Ya gak apa-apa." Gibran tersenyum menatap Araa. Senyuman rasa sakit karena tenyata keinginannya bertolak belakang dengan Araa.
"Araa ga mau ditinggal lagi mas." lirih Araa, menunduk sambil mengingat sesusah ini mendapatkan Gibran kembali.
Hening lagi, cukup lama sampai hanya terdengar jarum jam yang berdetik.
"Bukannya Araa ngelarang mas kuliah. Mas boleh kuliah asal jangan jauh-jauh." bulir bening itu meluncur sebelah.
Rasanya aneh, tapi ijin kepada istri bukan sebuah kesalahan kan?
Gibran bingung hendak berekspresi seperti apa di depan Araa. Ia hanya duduk mendekat dan memeluknya.
Perihal kuliah itu berhasil membuat Araa kepikiran berhari-hari.
Hingga suatu hari, Gibran dan Araa membuat kesepakatan kalau untuk S1 Gibran harus di Indonesia. Sedangkan S2 nanti, kalau Gibran mampu, boleh di manapun termasuk Jepang.
Akhirnya, Gibran memilih melanjutkan sarjananya di Universitas Indonesia. Sesuai perjanjiannya dengan Araa.
Hingga realitanya, sekarang Gibran ada di Jepang sudah dua tahun. Melanjutkan impiannya yang tertunda enam tahun lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haruka: Love in Japan [PERBAIKAN]
Romance[Sequel cerita Saranghae, Gus Gibran! Dapat dibaca terpisah tapi lebih baik baca cerita awal mereka di Saranghae, Gus Gibran!] SEDANG DALAM MASA PERBAIKAN! [Jangan lupa follow dan tinggalkan jejak untuk info cerita terbaru by Intan Naai] *** Happy...