Suasana halaman sekolah sore ini terlihat cukup ramai, banyak anak-anak Ekstrakurikuler yang sedang latihan, di antaranya anak basket, futsal, dan terlihat juga anak jurnalis yang sedang merekam keadaan di SMA Lentera Bangsa.
Sudah kurang lebih satu bulan Ray bersekolah di sini, membuatnya tau apa saja kegiatan di SMA Lentera Bangsa. Ray bukan anak basket, juga bukan anak futsal yang didambakan banyak orang di sekolahnya yang sekarang, ia hanya anak pindahan pada umumnya dan belum banyak yang kenal dengan dirinya selain teman yang satu kelas dengannya.
Lain halnya dengan anak-anak Ekstrakurikuler yang datang ke sekolah sore ini untuk latihan, Ray datang ke sekolah hanya untuk mengambil barang yang tertinggal di kelas.
Setelah mengambil barang, Ray duduk di tepi lapangan bola basket yang sedang diisi oleh anak-anak basket, menikmati angin sore yang asri dengan campuran suara pantulan bola dan juga derap langkah kaki yang bersautan serta sorak-sorai dari mereka yang sedang latihan. Ray memilih untuk menghabiskan sorenya di sekolah saja, karena tak ada yang penting juga jika ia pulang ke rumahnya.
"Ray!"
Panggilan itu membuat Ray mengalihkan atensinya, mencari sumber suara yang tadi memanggil namanya. Ia beranjak dari duduknya lalu menghampiri orang yang memanggilnya tadi.
"Apa kabar Ray?" lelaki itu menyapa Ray dan langsung menjabat tangannya.
"Alhamdulillah bang baik. Lo juga apa kabar, kak Eza?" Tanya Ray balik sembari duduk dan mempersilahkan lawan bicaranya duduk.
"Baik gw. Kapan pindahnya Ray?"
"Kurang lebih udah satu bulan lah," jawabnya.
"Gimana kepengurusan angkatan lo dulu?" Pertanyaan Eza mengundang helaan nafas pelan dari Ray.
"Aman, tapi lo tau lah apa masalahnya bang," gelak tawa Eza terdengar menyebalkan di telinga Ray, hanya Eza yang berani menertawakannya dari dulu, dan hanya Eza yang tau jati diri Ray yang sebenarnya.
"Di serbu fans lo? Hahaha Ray, masih stuck di situ aja?" Tanya Eza masih terkekeh pelan.
"Hmm,"
"Jangan sok dingin, lo itu cuma sadboy yang gamon di mata gw."
Keduanya terdiam, hening beberapa detik menyelimuti dua lelaki yang terlihat sudah kenal lama itu. Pikiran Ray kembali kepada seseorang yang selalu ia tunggu, walaupun tak pernah mendapatkan kabarnya lagi 3 tahun terakhir. Eza, saksi kisah Ray yang sampai kini tak tau apa titik temunya. Eza lah yang tau dan paham dengan apa yang dipendam Ray selama ini.
"Ray, jangan nyiksa diri lo sendiri. Gw emang gak pernah ngalamin kayak lo, tapi berlarut-larut dengan masa lalu juga gak baik." Ray masih terdiam. Eza selalu saja menasehatinya seperti ini, walaupun apa yang dikatakan Eza itu benar, tapi tetap saja Eza tak tau bagaimana rasanya jadi seperti Ray. Ray yakin, Eza pasti akan melakukan hal yang sama sepertinya jika merasakan di posisi Ray.
"Misi, Bang Eza dipanggil sama Bang Razzan di ruang OSIS,"
Gadis berbaju Nafi hitam, dengan tulisan MPK di belakangnya itu menghentikan perbincangan serius antara dua lelaki tadi. Ray dan Eza serentak melihat ke arah gadis itu, membuat sang empuh menampakkan tatapan tajam kala melihat siapa yang menjadi lawan bicara orang yang dia panggil tadi.
Ray hanya menatap malas gadis yang selalu membuatnya kesal selama satu bulan bersekolah di sini.
"Udah kenal ya? Baru aja mau gw kenalin," ucap Eza menghentikan kegiatan tatap tatapan antara Ray dan gadis itu.
"Kalau suka lapor gw dulu La, biar gw bantu. Gw tau nih seluk beluk si Ray dari SMP," ucap Eza lagi.
Eza beralih menatap Ray, "Si Lala ini juga banyak fans sama kayak lo dulu, Ray. Gw ramal kalian cocok."
Eza berlenggang pergi begitu saja, meninggalkan Lala yang melotot kaget dan Ray yang menatap datar kepergian Eza. Rasanya ingin Ray bungkam dengan kaos kaki mulut kurang akhlaknya Eza—abang kelas SMP nya dulu. Sedangkan Lala masih melotot tak percaya dengan seniornya yang asal ngomong seperti tadi, Mana mungkin Lala suka dengan Ray yang datar seperti tembok hidup.
"Apa lo?!" sembur Lala garang.
"Freak," ucap Ray singkat.
Lala mencibir, "Lo kali yang freak, ngomong aja irit, dih."
Merasa tak ada balasan dari Ray, Lala memutuskan untuk pergi, berdiaman bersama cowo es kayak Ray itu hanya membuang waktu secara cuma-cuma.
Lala menghentikan langkahnya ketika merasakan ada yang mencekal pergelangan tangannya.
"Lepasin," ucap Lala tanpa menoleh ke belakang.
"Rayyanza Yensa, gw bilang lepasin?!" Lala menoleh ke belakang, kini Lala benar-benar muak melihat muka datar yang tak merasa bersalah sama sekali itu kini menatapnya.
"Sekali aja lo ngelangkah, nyungsep."
Lala melihat ke arah Ray yang kini sedang mengarahkan pandangannya ke bawah, lebih tepatnya ke arah sepatu Lala. Kini ia paham, apa makna nyungsep yang Ray katakan tadi. Demi apapun, Lala benar-benar malu! Bisa-bisanya ia marah padahal Ray secara tidak langsung menyelamatkannya dari peristiwa nyungsep yang bisa saja terjadi jika Lala tak mendengarkan perkataan Ray.
"Jangan baper, gw cuma kasian sama korban lo selanjutnya." ujar Ray lalu pergi begitu saja.
"Sumpah ya, tuh cowo tingkat percaya dirinya di atas rata-rata. Siapa juga yang baper sama tembok begitu!"
***
"Nyebelin banget tau gak sih! Lo itu nyebelin Ara, tapi cowo tembok itu lebih nyebelin 5 kali lipat dari lo, bisa-bisa naik darah gw kalo ketemu sama dia terus!"
Setelah selesai rapat OSIS MPK, Lala langsung menemui Ara yang juga baru selesai kegiatan Jurnalis. Seperti sekarang ini, Lala sedang mengoceh tentang Ray yang ia sebut dengan panggilan "cowo tembok" itu, menceritakan kejadiannya tadi bersama Ray. Ara hanya menghela nafasnya pelan, resiko punya teman yang suka ngoceh ya gini, harus siapin telinga yang kebal biar tahan dengerin omelannya.
"Udah deh La, ngoceh mulu dari tadi. Lagian ya, salah lo juga yang selalu lupa ikat tali sepatu. Masih untung si Ray itu ngingetin, mau lo nyungsep di depan anak basket?" Ujar Ara.
"Tapi kan Ra, di-"
"Cewe Freak." potong Ray yang tiba-tiba berhenti di sebelah Lala dan Ara, lalu melajukan motornya lagi ke luar dari gerbang sekolah Lentera Bangsa yang sudah mulai sepi.
Lala menggerutu kesal, "Tuhkan Ra, gak jelas banget. Gw cekek juga tuh anak!"
"Hahaha lucu banget sih kalian, cocok tau La. Btw, ganteng juga tuh cowo tembok lo," timpal Ara lalu terkekeh geli.
"Dih, lo ketularan freak Ra."
Mereka duduk di halte dekat sekolah, menunggu jemputan.
"Tadi rapat apa La? Rapat mulu kerjaan lo," ujar Ara.
"Minggu depan LPJ, gak lama lagi gw lengser dari MPK," jawab Lala seadanya.
"Terus nanti lanjut gak?"
Lala menghela nafas kasar, "Gw cape sebenarnya, tapi lo tau kan bokap nyokap gw gimana? Anak sulungnya ini harus ikut organisasi, biar terlatih katanya. Terlatih kagak, setress iya."
Ara menatap sendu temannya itu, dia paham bagaimana posisi Lala saat ini.
"Semangat dong. Jadi Ibu MPK dua periode! Gw dukung nih!" ucap Ara menyemangati. Lala hanya tersenyum dan mengangguk pelan.
__________________
Thank you for Reading<3
Jangan lupa vote dan komen ya hihi:D
KAMU SEDANG MEMBACA
Are U Okay?
Teen Fiction"Are U Okay, La?" -Ray "I'm not Okay. But it's okay." -Lala Azalea Starla Calista, anak sulung yang selalu mewujudkan semua ekspetasi kedua orang tuanya, dipaksa menjadi kuat, bisa segala hal, dan harus menjadi contoh yang baik buat adiknya. Terlalu...