Sakit

255 62 38
                                    

Lala memejamkan matanya erat-erat kala pusing menyerangnya, kepalanya terasa berat dan pandangannya buram. Tangannya beralih memicit pelipisnya yang terasa hangat, berusaha agar pusing ini segera lenyap. Jika ia membiarkan pusing ini terus menyerang, bisa-bisa semua jadwal hari ini tidak bisa ia tuntaskan.

Lala memiliki beberapa jadwal yang lumayan padat hari ini, mulai dari bimbingan kimia bersama Bu Ifah dan satu anak lainnya, setelah itu juga ada rapat kandidat bersama Bu Mika dan juga para kandidat lainnya. Bukan hanya itu, sepulang dari sekolah, ia harus menemani adiknya untuk pergi ke toko buku. Dan terakhir, dia ada jadwal menemani Ara  pergi ke panti asuhan untuk menyelesaikan tugas jurnalisnya. Belum lagi ia akan mengerjakan tugas di malam hari yang bisa saja menyita waktu tidurnya.

Tapi nyatanya gadis itu tidak pernah memikirkan kesehatannya. Raganya terus dipaksa untuk beraktivitas penuh dari pagi hingga malam. Ia memang pandai dalam menyusun jadwal dengan rapi, tapi tidak pernah memikirkan konsekuensi yang akan diterima oleh tubuhnya.

Seperti hari ini, ia merasa pusing karena tadi malam hanya tidur kurang lebih 3 jam saja. Ia mengorbankan waktu tidurnya untuk merancang visi dan misi yang akan ia umumkan di event kampanye nanti. Apalagi ia di calonkan menjadi ketua, pasti ia akan bertanggung jawab penuh untuk wakilnya yang tentunya masih duduk di kelas 10 dan masih perlu banyak bimbingan darinya.

Selalu memikirkan orang lain, tak pernah memikirkan diri sendiri.

Lala masih terpejam, rasa pusingnya belum juga hilang, sekedar reda saja tidak. Jari-jarinya semakin kuat memijit pelipisnya, sudah tak perduli dengan keberadaannya yang sedang duduk di koridor umum, tempat siswa-siswi berlalu lalang.

"Kenapa lo?" Suara bariton yang sudah tak asing lagi terdengar samar.

Ray mendekati Lala yang masih terpejam meredam pusing. Tangannya hinggap dibahu Lala, mengelusnya lembut menyalurkan ketenangan.

"Kalau lo sakit gak usah dipaksain" ucap Ray yang masih setia menunggu Lala membuka matanya.

"Udah, gw gak kenapa-napa" jawabnya, membuka mata saat sudah merasa pusingnya lumayan reda.

"Lo ngapain di sini? Jam pelajaran lagi" tanya Lala.

Bukannya menjawab, Ray malah menuntun pelan Lala untuk berdiri.

"Eits, mau lo bawa kemana gw?" Tanya Lala heran. Ia sedari tadi rela menahan pusingnya di sini untuk menunggu Bu Ifah yang akan mengajarnya dalam bimbingan Kimia. Tapi Ray seenak jidatnya saja menuntunnya untuk pergi dari sini, dan tak tau mau dibawa kemana.

"Jangan sok kuat. Ayo cepet jalan, mau gw gendong?" ucap Ray. Jika kalian berpikir cowo tembok itu berbicara dengan nada khawatir seperti cowo-cowo pada umumnya, kalian salah besar. Ray, si cowo tembok itu tetap setia dengan muka dan juga nada bicaranya yang datar. Tidak ada unsur khawatir sama sekali.

"Dih, ogah" Lala mengikuti Ray yang menuntunnya mengarah ke ruang UKS, untung saja ini masih jam pelajaran, jadi tidak ada yang melihat mereka berdua.

Senyum tipis terpasang di wajah Lala, mengingat lagi-lagi Ray bersikap manis padanya. Walaupun cowo itu dingin, tembok, freak, tetap saja Lala baper jika diperlakukan seperti ini. Tapi kembali lagi pada kenyataan, semua sikap Ray kepadanya itu murni manusiawi, iya kan?

Ray membuka pintu UKS, tak terlihat seorang pun di sana. Ia berbalik menatap Lala sebentar, "Lo tiduran aja" ucapnya lalu kembali menuntun Lala ke arah kasur UKS.

"Tapi, gw mau bim-" ucapan Lala terpotong dengan suara denyitan pintu yang kini sudah tertutup, pastinya Ray yang melakukannya.

"Bu Ifah ada urusan, bimbingan kimia nya gak jadi" jawabnya.

Lala mengerutkan alisnya, "kok lo tau?"

"Banyak tanya lo, tidur gih" ucap Ray ketus lalu duduk di kursi penjaga.

"Lo bukan cewe penakutkan?" tanya Ray mengintimidasi.

Sontak saja Lala menggelengkan kepalanya, berita hoaks dari mana itu yang mengatakan seorang Lala adalah cewe penakut?

"Yaudah" Ray langsung menenggelamkan wajahnya dalam lipatan tangan di atas meja.

"Gw kan bilang, gw bukan cewe penakut Ray. Gak perlu dijagain!" Lala menatap kesal ke arah Ray yang tak meresponnya.

Karena terlanjur kesal, Lala langsung saja membaringkan badannya dan menutup mata. Pusingnya memang belum hilang, ditambah lagi melihat sikap Ray yang menyebalkan, pusingnya malah bertambah.

"Jangan geer, gw juga mau bolos" suara Ray yang terdengar terpendam, sepertinya masih dalam keadaan kepala yang menangkup.

Lala yang tadinya sudah ingin terlelap langsung melotot. Demi apa pun ia benar-benar malu, mengapa ia bisa sepercaya diri itu, menganggap Ray akan menjaganya di sini?! Siapapun, tolong bawa Lala pergi dari sini!

***

Akhirnya Lala tumbang. Pusingnya ia kemarin sudah cukup menjadi awal dari sakitnya Lala sekarang. Sekarang Lala hanya dapat berbaring di kasur tercintanya, tak ada aktifitas apapun yang ia lakukan selain bermain handphone. Rasa bosan menyelimuti gadis cantik yang tak pernah memiliki jadwal kosong itu, membuatnya harus menggerutu kesal di balik selimut tebal yang sedang membungkus dirinya.

Perihal Lala yang sakit, memang belum diketahui kedua orang tuanya sebab keduanya pergi bekerja sebelum anak-anaknya bangun. Asisten rumah tangganya lah yang melarang Lala pergi ke sekolah dan memerintahnya untuk istirahat di rumah saja.

"Suntuk banget ya ampun" ucap Lala menghela nafas kasar.

Makan sudah, minum obat juga sudah, terus apalagi yang harus ia lakukan? Badannya memang terasa pegal-pegal dan juga suhu tubuhnya bisa dibilang tinggi. Tapi rasa bosan Lala lebih besar daripada rasa sakit itu sendiri.

Sekarang sudah siang, Lala memutuskan untuk turun ke bawah. Tujuan utamanya adalah dapur, ia akan membuat sereal untuk ia makan di kamar. Lala memang sungkan menyuruh asisten rumah tangganya jika itu masih bisa ia kerjakan sendiri.

Gadis itu menuruni tangga, dan matanya menangkap ada kedua orang tuanya yang sedang duduk di kursi makan.

"Loh Lala, kenapa udah ada di rumah? Bukannya jadwal pulang sekolah dua jam lagi ya?" Tanya Bunda.

"Ehehe, itu bun... Lala... S-sakit" jawab Lala sungkan.

"Sakit apa nak? Sini-sini" Lala melangkah mendekati sang Bunda yang menampakkan kekhawatiran.

"Panas Yah, kita bawa ke dokter aja" ucap Bunda kepada Ayah.

Ayah menyentuh kening sang anak, "Iya La, kita ke dokter ya?" Usul Ayah.

"Lala gak papa kok yah, palingan besok sembuh" jawab Lala.

"Yaudah, kamu istirahat aja ya, biar cepat sembuh. Udah ketinggalan bimbingan hari ini, lombanya udah dekat. Cepat sembuh sayang" Bunda mencium kening Lala lembut, lalu pergi ke kamar bersama Ayah.

Lala tersenyum getir, apakah lebih penting bimbingan daripada kesehatan anaknya? Padahal tadi Lala hanya basa-basi, kenapa malah di-iya-kan?

__________________________

Thank you for Reading, dont forget to Vote, coment, and share<3

Are U Okay?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang