Disudut kamarnya yang temaram akan pencahayaan, Nathan duduk meringkuk dengan isak tangisnya yang pilu. Pada genggaman tangannya, terdapat figura kecil yang berisikan potret menawan Nichole. Figura itu, Nathan dekap erat-erat sebagai pengganti tubuh sang adik yang kini telah menyatu dengan bumi.Terhitung 10 hari sudah sejak dikebumikan-nya Nichole. Iya, Nicholas Eric Andreas, bungsu kesayangan keluarga Andreas, saudara kembar yang sangat dicintai Nathan, kini tubuhnya menyatu dengan bumi dan jiwanya tinggal damai di alam keabadian.
Rasanya bagai sepersekian detik saja, semua terjadi begitu cepat. Takdir menang, takdir lebih dulu bertindak tanpa mendengar permohonan Nathan untuk meminta kesempatan merubah skenario kehidupan.
Tak ayal, takdir memang demikian, terlalu banyak memberi kejutan dan skenario yang tak terduga, (juga duka yang tak diinginkan hadirnya).
Kepergian Nichole, menjadikan Nathan bak kaca yang hancur berkeping-keping. Nathan hancur, hancur sehancur-hancurnya. Terdapat luka yang menganga lebar di hatinya, rasanya begitu perih dan menyakitkan. Air mata dan isak pilu menjadi dua hal yang bersatu, sebagai gambaran atas kondisi Nathan yang jauh dari kata baik.
Bagi Nathan, kehilangan Nichole sama halnya dengan kehilangan separuh bagian kehidupannya. Nichole adalah poros hidup Nathan, dan kini Nathan justru kehilangan poros hidupnya.
"K-kenapa adek gini....? k-kenapa adek ninggalin kakak sendirian? k-kakak sekarang nggak p-punya poros untuk berotasi lagi, dek..." Nathan melirih dengan suara bergetar, belah ranumnya yang kering mengucap kalimat itu dengan nada getir bercampur pilu.
Ada setitik penyesalan di hati Nathan kala mengingat detik-detik terakhirnya bersama Nichole──tepat sebelum adik kembarnya itu memasuki ruang operasi. Mulai dari suara lembut nan tulus saat memaafkannya, permintaan pelukan yang sangat jarang terucap begitu saja, pun senyum menawan saat mereka bersitatap sebagai komunikasi tersirat untuk saling menguatkan. Nathan sungguh tak menyangka, ternyata hari itu menjadi kesempatan terakhirnya untuk melihat hadirnya Nichole di depan mata.
"J-jahat, adek jahat.... a-adek ninggalin kakak.... a-adek ingkar janji....."
"Shh-sakith, sakit banget dek.... k-kamu pergi ninggalin bekas luka buat kakak,"
Kemudian kepalanya itu menunduk dalam, Nathan sembunyikan wajahnya di kedua telapak tangannya. Isak tangis yang bergetar pilu terus berlanjut, dan mungkin akan tetap begitu hingga air matanya kering.
"Mm-maaf, maaf karena nggak pernah tau kesakitan yang kamu tanggung.... k-kakak nggak pernah nanyain k-kondisi kamu yang ternyata nggak baik-baik aja,"
"M-maaf, maaf— hikss~"
Seluruh tubuhnya bergetar, pun tangisnya semakin kencang. Nathan tak sanggup, hatinya sungguh sakit. Ranum kembarnya yang kering itu ia gigit sampai terluka, semata-mata hanya untuk menahan isak pilunya yang kian mengeras. Nafasnya memburu, pun paru-parunya terasa penuh. Nathan sesak nafas karena terlalu banyak menangis.
Menit demi menit telah berlalu, dan Nathan masih bertahan pada kondisinya yang demikian.
"Adek.... apa boleh kakak nyusul kamu?"
Nathan mulai tak terkendali, kepalanya dipenuhi doktrin buruk atas kepergian Nichole hingga membuatnya tidak bisa berfikir jernih.
"Adek masih ingat kan sama janji kita? janji buat sehidup semati,"
"Kita udah saling janji, dek.... tapi kenapa, kenapa kamu ingkar?"
"Adek jahat, jahat banget— hAHAHAHAHA"
Tawa itu, terdengar sumbang dan menyakitkan. Nathan kacau, ia hilang kuasa atas dirinya sendiri.
"Kamu tau, dek? kata Ayah, janji itu harus ditepati. Tapi, kenapa kamu nggak nepatin janji, dek?"
Menghela nafas berat Nathan lakukan, pemuda itu berusaha meminimalisir rasa sesak di dadanya.
"Kakak..... boleh nepatin janji kita, dek? seenggaknya kalau kita nggak bisa sehidup, kita masih bisa semati. Kakak nyusul kamu, ya?"
"Kakak nggak punya alasan lagi untuk tetap hidup kalau kamu-nya udah pergi, dek. Kakak nyusul kamu aja, ya. Kakak bakal nemenin kamu supaya kamu nggak sendirian di sana, tungguin kakak, ya"
Maka setelah berucap demikian, Nathan bangkit perlahan dan melangkah tertatih menuju kasurnya. Merunduk, diambilnya seutas tali tambang panjang bekas kegiatan kepramukaan yang tersimpan apik di bawah kolong kasurnya itu.
Nathan membuat simpul jerat dengan piawai, kemudian digantung-nya pada langit-langit kamar. Mengambil kursi belajar dan memposisikan-nya tepat di bawah simpul jerat, Nathan menaiki kursi tersebut dan mulai memasukkan kepalanya pada simpul jerat buatannya itu.
Tindakan yang ia lakukan, apalagi kalau bukan ingin gantung diri.
Yang terjadi sekarang adalah kisah kelam masa lalu. Nathan menjadi gambaran Joshua pada beberapa tahun silam.
Satu kaki telah melayang di udara, Nathan menengadah sembari mengatur nafas.
"Tuhan, ampuni hamba karena memilih jalan ini,"
"Ayah, Aunty..... maaf,"
"Nichole, adek kesayangannya kakak.... jangan marah, ya. Kakak milih jalan ini atas kehendak sendiri, tungguin kakak, ya"
Menjatuhkan tubuhnya dari kursi, kini tubuh Nathan menggantung dengan tali tambang yang menjerat kuat lehernya. Nafasnya terengah-engah, ia mulai kehabisan nafas.
"A-adek.... k-kakak d-datangh"
Nathan tersenyum getir, sebelum pada akhirnya gelap menjemput untuk mengantarkannya pada Nichole.
Nathan ikut pergi menyusul Nichole, atas dasar menepati janji mereka.
◐◑───end.
note. yihaa ending!! ending yang sangat mengesalkan :D
tAPI— jangan di delete dulu ya dari library-nya, karena masih ada bagian epilog.[[ kolom menumpahkan kekesalan part.2 ]]
next, epilogue.
KAMU SEDANG MEMBACA
patibrata.
FanfictionPatibrata ; dalam bahasa Sansekerta berarti sehidup semati. © 2021