5 Trauma

914 197 4
                                    

"Memiliki kecemasan tentang kematian adalah hal yang normal dalam kondisi manusia. Namun, bagi Emma, pandangan tentang kematian menyebabkan ketakutan dan ketakutan yang intens. Seperti misalnya ketakutan berpisah, menghadapi kehilangan, atau khawatir ditinggalkan oleh orang yang dicintainya."

Dokter menjelaskan keadaan Emma kepada Gabriel setelah pemeriksaan dilakukan.

"Mungkin ini terjadi karena pembunuhan yang orangtuanya alami. Hal itu menyebabkan ketakutan yang luar biasa jika kamu juga mengalaminya, dan akan pergi meninggalkannya. Kamu satu-satunya keluarga yang Emma punya."

"Itu sebabnya Emma sering bermimpi buruk tentang kematianku? Lalu sampai kapan? Sudah setahun pengobatan ini berjalan, dan tidak pernah ada perubahan."

"Kita sudah melakukan terapi sebaik dan sesering mungkin, tapi jika dalam diri Emma menolak berdamai dengan masa lalu, itu akan susah. Dampingi saja dia, buat dia percaya bahwa semua akan baik-baik saja. Karena saat ini hanya kamu yang Emma percaya."

Gabriel menatap Emma yang sedang menunggunya di sofa depan, seraya merebahkan diri karena bosan. Wanita itu bersenandung dengan suara cemprengnya yang tetap terdengar merdu untuk Gabriel. Tingkah Emma selalu dapat membuatnya tersenyum kagum.

"Makasih atas pemeriksaannya Dok. Jika terjadi sesuatu lagi, akan saya kabari anda."

Gabriel keluar dari ruangan dokter dengan membawa vitamin untuk Emma. Ia mendekati wanita itu, lalu memintanya bangkit dari sofa tersebut.

"Kamu lama banget!"

"Sorry, ayo bangun, kita jalan-jalan." Gabriel mengacak rambutnya sambil tersenyum manis.

Emma spontan bangun dari tidurnya, ketika Gabriel berjongkok. Karena itu berarti Gabriel akan menggendong dirinya menuju mobil.

Tanpa basa-basi Emma langsung menemplok di punggung kekar prianya. Memeluknya sambil memejamkan mata dengan rasa nyaman. Memang hanya Gabriel pusat dari segala kenyamanan di hidupnya.

Gabriel menatap anak buahnya yang sudah berada disegala sisi untuk mengawalnya dan Emma. Gabriel sengaja meminta bodyguardnya menyamar, agar Emma tidak menyadari jika kemanapun pergi mereka selalu di kawal dan diikuti.

Sesuai aturan ayahnya bukan? Para wanita tidak perlu tahu. Yang penting mereka bahagia dan tak terbebani dengan profesi yang bisa dibilang membahayakan itu.

Jika Emma tahu, keadaan psikisnya pasti akan lebih parah. Emma akan semakin ketakutan untuk kehilangannya.

"Gab, kok aku merasa diikuti ya, setiap pergi kemanapun? Sekarang saat sama kamu, aku juga merasa diikuti. Apa jangan-jangan mereka pembunuh mama dan papa?"

Gabriel menoleh ke arah wanita yang sedang berbicara tepat disamping telinganya.

"Perasaan kamu aja, jangan terlalu takut."

"Aku serius, kamu lihat pria berkaos abu-abu itu? Dibelakang kita?"

"Biar aku tegur jika kamu merasa seperti itu." Ujar Gabriel iseng. Dari puluhan bodyguard yang ada, hanya satu yang Emma lihat? Wanita ini benar-benar ceroboh.

Emma memukul kepala Gabriel sambil menggeleng ketika pria itu akan membalikkan badan.

"Jangan!"

"Katamu dia mengikuti kita?"

"Kalau dia bawa pistol terus bunuh kamu?" Ujar Emma berkaca-kaca.

"Kamu pikir aku bisa mati? Nggak akan bisa sayang, meski seribu peluru menusuk jantungku sekalipun. Kenapa? Karena aku udah janji buat jagain kamu. Jadi selama kamu masih bernafas, aku juga akan bernafas buat kamu."

Emma meneteskan airmatanya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya tanpa Gabriel. Itu adalah sebuah mimpi buruk yang tak ingin ia alami.

"Gabriel, aku cuman punya kamu. Setelah nenek dan kakek tiada, setelah mama dan papa juga tiada, aku tidak memiliki siapapun. Bagaimana jika kamu juga tiada?"

"Aku udah bilang bahwa aku akan bernafas buat kamu bukan? Itu bukan hanya sebuah omong kosong dan bualan." Gabriel menatap Emma dengan raut serius.

"Bagaimana jika bukan meninggal cara aku kehilangan kamu? Bagaimana jika ada wanita lain yang mengambilmu? Bagaimana jika kita.... bertengkar dan kamu pergi? Aku tau aku egois, maaf, tapi aku benar-benar tidak sanggup kehilangan kamu dengan cara apapun." Emma meraih wajah Gabriel dan membelainya dengan perlahan.

Gabriel hanya diam menatap Emma yang saat ini sudah kembali menangis di pundaknya. Andai Gabriel bisa mengatakannya, bahwa ia juga tidak mau kehilangan Emma, tidak akan pernah.

Hanya saja ia belum bisa jujur dengan perasaan itu. Gabriel takut salah langkah. Gabriel takut melukai hati ayah dan ibunya. Meski menahan perasaan seperti ini juga melukai hatinya dan Emma.

Tanpa berkata-kata Gabriel mengecup bibirnya, memagut lidahnya sekilas, lalu kembali mengalihkan pandangannya kedepan.

Emma termenung, ia memegangi bibirnya sendiri. Benarkah Gabriel menciumnya terlebih dulu?

"Gab... "

"Mau jalan-jalan kemana?" Potong Gabriel mengalihkan pembicaraan.

"Pulang aja, aku lelah, ingin istirahat." Emma tersenyum sendu. Bukan lelah fisik, tapi perasaan. Sampai kapan Gabriel akan selalu memberinya harapan palsu seperti ini?

"Baiklah, kita makan malam bersama."

"Oke." Balas Emma singkat.

Gabriel kembali merasa bersalah dan merutuki dirinya. Lagi-lagi ia membuat Emma sedih dan sakit hati. Oke, beri ia waktu sebentar lagi, Gabriel harus meyakinkan hatinya untuk mengungkap perasaanya selama ini.

Emma harus tau bahwa cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, Gabriel juga sangat.... mencintainya.

"Mau ikut minum?" Tawar Gabriel. "Aku ingin alkohol malam ini." Lanjutnya yang tak seperti biasanya.

Emma menatapnya bingung. Bukannya Gabriel selalu melakukan aktivitas itu sendirian? Di ruang kantornya yang membosankan itu?

"Sedang ada masalah?" Tanya Emma penasaran.

"Mau ikut?" Gabriel tak mau berbasa-basi. Ia langsung bertanya dengan to the point.

"Minum dirumah? Hanya berdua?"

"Tentu saja, hanya berdua." Balas Gabriel singkat.

Emma kembali memasang wajah bingungnya. Gabriel tidak pernah mengajaknya minum bersama, sekalipun. Tapi mungkin itu terjadi karena udara New York sedang sangat dingin, dan juga momen ulangtahunnya.

Setelah sampai dimana mobil mereka terparkir, Tommy membukakan pintu sambil menunduk sopan. Ia mempersilahkan keduanya masuk sebelum mengantar kedua boss besarnya pulang.

Tommy juga memberi kode kepada para bodyguard untuk segera mengawal mereka di perjalanan. Semua hal dapat terjadi bukan? Musuh bisa datang kapan saja. Perlindungan itu perlu, meski bossnya hanya pergi lima langkah dari rumah.

"Tommy terlalu berlebihan, sampai menunduk seperti itu. Memangnya kita presiden?"

"Biarkan saja, dia memang terlalu sopan." Balas Gabriel sambil terkekeh.

Selama ini Emma hanya tahu bahwa Tommy asisten dan juga supir pribadi Gabriel. Emma tidak tahu jika sebenarnya Tommy adalah tangan kanan boss mafia yang saat ini paling disegani.

Dari kejauhan, Edwin mengepalkan tangan melihat semua adegan mesra mereka. Benar dugaannya, Gabriel menciumnya? Itu hal gila! Mereka pasti mempunyai hubungan khusus selain kakak dan adik.

Tidak bisa dibiarkan, Edwin harus segera bertindak untuk merebut Emma dari Gabriel. Hanya dia yang pantas memiliki Emma, dia yang lebih dulu menyimpan rasa untuknya, Gabriel tidak boleh mengambil Emma begitu saja!

"Kamu harus bersamaku Em, aku akan membawamu pergi jauh dari Gabriel dan juga orangtuaku. Aku akan menjauhkanmu dari mereka, kita akan bahagia bersama." Lirihnya dengan senyuman smirk.

Edwin rasa ia harus menyusun strategi untuk membuat hubungan Emma dan Gabriel memburuk. Membujuk orangtuanya membunuh Gabriel, lalu ia akan membawa Emma pergi.

Hanya Emma yang ia pedulikan, Edwin tidak peduli sisanya.

Forbidden DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang