Emma lagi-lagi menatap foto-foto mesra Gabriel bersama Diana yang entah siapa pengirimnya, dengan sendu. Biasanya Emma akan menangis, namun malam ini ia sudah tidak lagi mengeluarkan airmatanya. Rasa sakitnya sudah terlalu kebal.
Emma menghabiskan waktunya di kamar seorang diri setelah kepergian Gabriel hari itu. Dan sudah hampir sebulan Gabriel tidak pulang. Pria itu menjahuinya tanpa sebab yang jelas.
Apa kesalahannya sehingga Gabriel berbuat seperti ini padanya? Melihat foto Gabriel bersama Diana, membuat Emma yakin bahwa mereka telah bersama saat ini. Meninggalkannya sendirian, untuk melarikan diri dari janji-janjinya.
Tapi karena kepergian Gabriel sebulan ini, membuat Emma sadar bahwa pria itu tidak mencintainya. Gabriel tidak benar-benar serius.
Dan mungkin... ini adalah saat yang tepat untuk move on. Bukankah angannya untuk menjadikan Gabriel pria pertamanya sudah terwujud? Setidaknya meski mereka tidak bersama, Gabriel lah yang menjadi pria pertamanya. Itu cukup, karena Gabriel adalah satu-satunya pria yang Emma cintai.
Emma membuyarkan lamunan ketika mendengar suara mobil memasuki halaman rumah. Ia mengintip sosok yang datang dari jendela kamar, yang ternyata adalah Edwin. Meski Emma telah mengusirnya hampir setiap hari, tampaknya Edwin tidak juga menyerah.
Bersamaan dengan itu, ternyata ada orang lain yang datang. Gabriel? Pria itu datang dengan penampilan berantakan. Bajunya, rambutnya, serta rambut-rambut halus yang tubuh di wajahnya dengan tidak beraturan.
Entah kenapa melihat Gabriel seperti itu, kesan tampan dan sexy malah semakin melekat. Aura menawan dalam diri Gabriel tidak pernah hilang.
Meski rindu, bahagia, Emma tidak berharap banyak akan kedatangannya. Emma tidak mau lagi mencintai ataupun menaruh harapan walau hanya sedikit. Untuk apa, jika akhirnya Gabriel akan menyakitinya?
Lebih baik ia memberi kesempatan kepada Edwin yang selama ini jelas-jelas sabar mendekatinya bukan?
Emma mengusap airmatanya lalu berlari kedepan untuk membuka pintu. Ada dua pria ada dihadapannya saat ini. Dan wajah mereka tidak ada yang bersahabat.
"Kamu pulang Gab?" Sapa Emma ramah, cuek, lalu beralih ke Edwin. Ia mengambil bingkisan yang Edwin bawakan, dan spontan mencium bibirnya tanpa ragu. Entah kekonyolan apa yang Emma lakukan sekarang.
"Makasih ya Win?"
"No probelm." Edwin mengusap kepalanya.
Gabriel hanya memasang wajah dingin lalu masuk kedalam rumah. Ia bahkan tidak menyapa keduanya, namun Emma juga tidak peduli. Ia tidak akan lagi berharap padanya.
"Belum makan, kan?" Edwin mengusap wajah Emma lembut.
"Makan bersama?"
"Yakin? Tidak mengusirku lagi?"
"Kurasa tidak." Emma menarik Edwin masuk kedalam rumah, menuju ruang tamu. Ia membuka bingkisan berisi hot dog tersebut lalu memakannya dengan lahap.
Edwin tau Emma melakukan ini hanya ingin membuat Gabriel cemburu. Tapi tidak apa, yang penting tujuannya untuk membuat keduanya berjauhan, sudah berhasil. Hubungan keduanya tidak akan membaik sampai kapanpun.
Apalagi setelah email yang ayahnya kirim kepada Gabriel sebulan lalu. Foto-foto mesra Gabriel bersama Diana, semua itu cukup untuk memisahkan keduanya. Sekarang adalah kesempatannya untuk mendekati Emma serta hatinya.
"Kamu lahap banget makannya." Edwin terkekeh melihat Emma makan dengan mulut penuh dan cepat.
"Ini enak!"
"O ya?"
"Besok bawain lagi ya?" Ujar Emma antusias, lalu menyandar di pundak Edwin dengan manja.
"Aku bawain banyak kalau kamu suka." Edwin mengusap bibir Emma yang belepotan, lalu mendekatkan diri dihadapan wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden Desire
RomansaDua geng mafia berperang untuk saling menjatuhkan, merebut kekuasaan, dan membalaskan dendam. Namun ternyata kisah kehidupan mereka tidak hanya seputar itu. Para pemimpin mafia malah terjebak dengan hasrat terlarang ditengah-tengah misi perebutan k...