"Kamu seharian ini kayaknya kesakitan jika berjalan. Kenapa? Kaki kamu sakit? Gabriel tidak menyakitimu kan?"
Emma memicingkan mata, ketika pertanyaan itu keluar dari mulut Edwin. Ia ingin sekali berkata jika bagian intimnya yang terasa sakit. Tapi tidak mungkin kan? Itu terlalu privat. Kalaupun ia mengadu, pastinya hanya kepada Gabriel.
Emma juga penasaran apa yang terjadi semalam. Apa ia marah-marah dan melakukan hal bodoh sampai seluruh tubuhnya terasa remuk?
"Aku jatuh di kamar mandi semalam. Kakiku terbentur kloset, sakit sekali meski tidak berbekas." Ujar Emma asal, dengan wajah memelas.
Edwin spontan menarik kaki Emma, lalu membawanya kepangkuan. Pria itu memijatnya dengan penuh perhatian.
"Pegal?"
"Kamu nggak perlu seperti ini... kita udah nggak ada apa-apa. Aku nggak mau kasih kamu harapan, karena aku tahu bagaimana rasa sakitnya."
"Tidak apa Em, kita masih bisa temenan meski udah putus. Lagian, kita tidak pernah benar-benar pacaran." Edwin menahan pergerakan Emma, ketika wanita itu ingin menarik lepas kakinya.
Emma jadi merasa bersalah kepada Edwin. Yah, dia memang telah mempermainkannya selama ini. Ia menerima Edwin sebagai kekasih, tetapi hubungan mereka tak terlihat seperti itu. Emma selalu menolak Edwin untuk bermesraan atau melakukan hal yang terlalu intim.
Entah kenapa hanya Gabriel yang ada dikepalanya. Hanya Gabriel yang Emma harapkan untuk melakukan itu. Meski malam ini, pria itu telah mematahkan hatinya.
"Cemberut terus." Edwin menarik pipinya, lalu membawa Emma masuk kedalam pelukannya. "Aku sangat mencintaimu Emma. Aku harap, kita dapat bersama suatu hari. Kamu dapat menerimaku dengan sepenuh hati, dan kita tinggalkan kota ini."
Emma hanya diam. Meninggalkan New York? Bahkan meski ia dibujuk untuk tinggal di Paris, kota idamannya, Emma tidak akan bisa. Karena hatinya berada disini. Gabriel disini, makam orangtuanya disini, Emma akan tinggal apapun yang terjadi.
"Edwin, sebaiknya kamu mencari wanita lain. Jangan menungguku." Bisik Emma sendu.
"Semustahil apapun hubungan kita, aku tidak akan menyerah."
"Makasih hari ini udah nemenin aku nonton film, makan, jalan-jalan, aku sangat bahagia." Ujar Emma tulus. Ia tidak berbohong, penghiburan Edwin hari ini sangat berarti untuknya. Apalagi saat Edwin mengajaknya bermain di arkade. Meski itu sederhana, tapi sangat menyenangkan.
Emma menatap jam digital yang ada di meja ruang tamu. Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam, dan Gabriel belum kembali setelah pergi tanpa berpamitan sejak pagi. Kemana pria itu?
"Aku ngantuk." Emma menyipitkan mata agar Edwin menyangka bahwa ia mengantuk. Bukannya Emma ingin mengusir, tapi keadaan sedang genting.
Gabriel jarang sekali menginap diluar. Emma khawatir plus takut jika pria itu mabuk atau terjadi sesuatu yang buruk. Emma perlu mencari tahu keberadaanya. Bagaimana jika Gabriel kecelakaan atau dilukai oleh pembunuh orangtuanya?
"Gabriel belum pulang tuh, perlu aku tungguin?"
"Aku mau tidur aja. Lagian Gabirel emang udah sering pulang pagi. Jadi jangan khawatir."
"Baiklah, aku akan pulang kalau begitu." Edwin mengecup puncak kepalanya. "Langsung istirahat." Bisik Edwin lagi, seraya mendekatkan wajahnya kepada Emma. Namun karena spontan Emma menolehkan wajah, Edwin mengulurkan niat untuk mencium bibirnya.
"Aku pulang."
Emma menatap wajah kekecewaan pada pria itu. Tapi ini lebih baik daripada Emma menerima ciumannya, untuk sebatas rasa kasihan bukan? Selama ini hal bodoh itu yang Emma lakukan. Menerima perlakuan mesra Edwin hanya karena rasa kasihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden Desire
RomanceDua geng mafia berperang untuk saling menjatuhkan, merebut kekuasaan, dan membalaskan dendam. Namun ternyata kisah kehidupan mereka tidak hanya seputar itu. Para pemimpin mafia malah terjebak dengan hasrat terlarang ditengah-tengah misi perebutan k...