10 Guardian

1K 197 4
                                    

"Dua anak buah kita terbunuh lagi semalam, kepala mereka terpenggal."

Gabriel menatap tajam ke arah Tommy yang sedang menjelaskan kronologis kejadiannya. Gabriel meremat jari-jari seraya berpikir, siapa sebenarnya penghianat itu.

"Siapa kira-kira pelakunya? Mereka seperti sengaja mengirim teror dengan membunuh dua anak buah kita setiap bulan."

"Saya yakin mereka orang yang sama dengan pembunuh orang tua anda."

"Aku juga berpikir demikian. Tapi kecurigaanku tetap kepada keluarga Edwin. Kau awasi terus mereka."

"Ngomong-ngomong tentang Edwin, pagi tadi ia datang. Tapi hanya sebentar, setelah itu ia kembali pergi meninggalkan rumah anda."

Gabriel tertawa mendengar perkataan Tommy. Jadi si brengsek itu kemari tadi pagi? Apa ia tahu hubungannya bersama Emma sekarang? Bagus! Dengan begitu Edwin seharusnya sadar diri akan posisinya.

"Jangan biarkan mereka sembarangan lagi masuk kerumahku. Keluarga mereka tidak boleh sembarangan bertamu."

"Apa itu tidak akan mempengaruhi hubungan kalian nantinya?" Tommy mengingatkan.

"Kamu pikir aku peduli? Perusahaan mereka hampir bangkrut. Geng mereka sedang ada dalam masalah keuangan. Aku curiga mereka berhianat merebut tahta kita, untuk menopang keekonomian perusahaannya."

Ditengah pembicaraan itu, suara panggilan Emma untuknya membuat fokus Gabriel langsung teralihkan.

"Tommy, kamu pergi dulu. Kita bicarakan lagi nanti. Ingat perkataanku, jangan biarkan keluarga mereka sembarangan masuk. Umumkan kepada semua penjaga. Aku tidak peduli jika ini mereka artikan sebagai pengibaran bendera perang. Lagipula mereka miskin sekarang, kita tidak akan bisa dikalahkan." Gabriel tertawa geli.

"Baik boss." Ujar Tommy sopan, lalu beranjak pergi dari sana.

Gabriel pun menyambut kedatangan Emma yang masih memasang wajah mengantuknya. Gabriel mendekati wanita itu, lalu menggendongnya menuju meja makan.

"Sarapan yang amat sangat telat." Gabriel mengecup pipinya, lalu menyiapkan roti bakar dan juga segelas susu.

Emma tersipu dengan perlakuan manis Gabriel padanya. Emma memakan roti yang Gabirel siapkan tanpa berkata-kata, selain hanya senyuman yang terus ia tunjukkan.

"Kenapa kamu tidak mau bicara?" Gabriel bertanya sambil menopangkan dagu dengan wajah genit. Padahal wanita itu biasanya sangat cerewet, dan suka sekali bermanja-manja padanya. Lalu ada apa dengan pagi ini?

"Aku harus bicara apa?"

Gabriel hanya menggeleng ketika Emma bertanya dengan wajah yang semakin memerah, namun serius. Kenapa ia jadi ikut-ikutan gugup seperti ini?

"Hari ini mau kemana?"

"Ke--kemana?" Emma bertanya lagi.

"Kamu tidak ingin pergi kesuatu tempat?"

"Sebenarnya aku aja janji dengan Edwin untuk sarapan bersama. Tapi... "

"Oh yaudah, kamu telfon dia aja, kalian bisa sarapan berdua sekarang." Gabriel memasang wajah cuek lalu berjalan menjauh dari meja. Mereka barusaja bersama, kenapa harus Edwin yang Emma pikirkan?

Emma mengangkat alisnya heran dengan perubahan sikap pria tersebut. Apa Gabriel cemburu? Emma pun langsung berdiri, dan berlari untuk memeluk prianya dari belakang.

"Kamu marah?"

"Nggak!"

"Maaf Gabriel, aku nggak ada maksud seperti itu. Lagipula, aku bersama Edwin karena kamu selalu menolakku. Aku patah hati, dan aku putus asa."

Forbidden DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang