3. Awal

35 7 1
                                    

Senyum dulu, eh manis,'kan kalo senyum.

.

"Aw!"

Bak terlempar ke luar angkasa. Laura merasakan sakit yang teramat dalam di seluruh tubuh. Suara kicauan burung serta seseorang sedang bernyanyi membuat Laura terdiam membisu. Laura sedang berada di mana sekarang? Kenapa tubuhnya bisa tiba-tiba bisa berada di sisi danau, bukannya ia berada di sel dalam penjara dan pada saat itu, mara bahaya sedang mendatanginya.

"Ku tak bisa.. jauh, jauh, darimu."

Laura mengendarkan pandangan mata mencari titik celah dimana suara itu berasal. Entah kenapa Laura merasa familiar dengan suara serak kebasahan itu. Pandangan Laura terhenti saat menangkap dengan jelas sosok punggung tegap membelakanginya.

Tak ingin basa-basi lagi, Laura langsung menghampiri si penyanyi danau itu. Laura menyentuh pundaknya secara kasar membuat si dia melihatnya.

"Cih, lo ganggu lirik gue!"

Mata Laura seakan-akan ingin lepas dari tempat saat melihat dengan jelas siapa yang berada di depannya. Kenapa Laura harus bertemu dengannya lagi? Bahkan selama lima tahun di penjara, Laura tak pernah bertemu dengannya lagi.

Dia bangkit dan membereskan gitar kecil yang sedari tadi berada di pangkuannya. Dia menyodorkan tangannya pada Laura membuat Laura semakin tak mengerti dengan tingkahnya.

"Nanti mama sama papa lo nyariin lo lagi. Eh, ngapain sih kudu ada acara pake nyebur segala ke danau, gue tau lo jago berenang, tapi gak di sini juga, 'kan?" ujarnya.

Mama dan papa?

Aura dingin mulai menyerang Laura. Ia semakin tak mengerti dengan kondisi ini, bahkan kenapa ia harus bertemu dengan Ryan, sahabat masa kecilnya dulu yang meninggalkan dirinya tanpa alasan sama sekali.

Ryan memberikan jaketnya pada Laura. "Kita pulang ya, gue gak mau harus diomelin papa lo lagi," kata Ryan sambil menarik tangan Laura.

Laura bergerak membiarkan Ryan membawanya pulang. Rasa penasaran membuat Laura hanya diam mengikuti setiap langkah Ryan.

Selang tiga puluh menit, Laura menatap bangunan megah. Mata Laura memanas saat mengingat setiap perlakuan mereka terhadapnya. Ryan tersenyum lalu kembali menarik tangan Laura untuk ikut serta.

Hawa dingin dan panas membuat keringat ketakutan muncul dari benak Laura. Kejadian ini seperti deja vu bahkan sangat-sangat. Sekelebat ingatan membuat Laura menghentikan langkahnya, apa ia berada di masa lalu?

Tapi, mana mungkin.

"Nak Ryan, kamu dicariin mami kamu, tadi dia nelepon ke tante soalnya," celetuk seseorang.

Sosok ibu sosialita menyambut kedatangan Laura dan Ryan. Ryan tersenyum lalu mengangguk dan berpamitan untuk pulang. Laura sama sekali tidak berani mendongak menatap mata ibu kandungnya.

"Ampun, Laura. Kamu mama didik keras biar jadi gadis yang bener, ini malah makin jadi-jadi. Gimana kalo papa kamu liat keadaan kamu sekarang? Mama gak mau ya terus-terusan di maki-maki papa kamu karena gak becus di----" teguran Salina terpotong saat Laura membalas dengan bentakan.

"Aku capek, Ma!!" bentak Laura.

"Kamu berani bentak mama kamu sendiri?!" ujar Salina tak terima. Laura mengusap wajahnya gusar. "Terserah Mama!" Tanpa berkata apapun, Laura langsung meninggalkan Salina dengan hati yang kacau lembur.

Suasana kamar yang sangat nyaman. Laura langsung mencari keberadaan kalender, entah kenapa seperti ada yang mengganjal di pikirannya.

Laura berhasil menemukan kalender kecil miliknya. Tubuh Laura menegang melihat tanggal yang tertera di sana.

"22 februari 2017."

Laura luruh ke lantai, sebenarnya apa yang terjadi? Seharusnya ia berada di tahun 2022 bukan tahun 2017. Apa keberadaan mesin waktu itu ada? Laura mengusap air matanya, di tahun ini adalah tahun dimana ia belum di penjara bahkan awal mula dari segala kesakitannya. Laura menatap foto keluarga yang bagian mama dan papanya sengaja ia coret-coret dengan spidol dulu.

"Berarti gue masih kelas dua belas."

Kesempatan bagus untuk memperbaiki masa depannya yang suram. Laura terjengkit saat pintu kamarnya kembali terbuka dengan lebar.

"Ini apa Laura? Kenapa lagi-lagi kamu bikin papa malu!" Andra memperlihatkan hasil ulangan Laura yang benar-benar mengenaskan.

Laura bangkit. "Bisa gak sih kamu sedikit aja banggain papa?! Gak bisa, heh?! Papa capek-capek sekolahin kamu biar kamu bisa sukses, Laura!" teriak Andra.

Lagi-lagi nilai yang dipertanyakan.

"Aku gak pernah minta Papa buat seko------"

PLAK

"BERANI KAMU MELAWAN PAPA?!"

"AKU BERANI KARENA PAPA SENDIRI YANG BIKIN AKU KAYAK GI---"

PLAK

Dua tamparan Laura terima dari tangan papa kandungnya. Kenapa ia harus dilahirkan jika harus menanggung beban seperti itu.

"TAMPAR AKU LAGI, PA! TAMPAR PA! DENGAN BEGITU PAPA BAKALAN PUAS, 'KAN?!'  teriak Laura sambil menunjuk bekas tamparannya.

Tanpa berkata apapun, Andra pergi meninggalkan Laura. Kenapa masa lalu menyambutnya dengan sebuah PERTENGKARAN? Selalu saja pertengkaran yang terjadi di dalam rumah semegah ini. Laura melempar tubuh ringkihnya ke kasur, menatap langit-langit, masih tak pernah dengan apa yang terjadi saat ini.

Tubuhnya berada di masa lalu.

Apa Tuhan memberinya kesempatan untuk memperbaiki?

Laura beranjak lalu berjalan menuju balkon rumah. Udara yang sejuk membuat Laura terlena berada di tempat, suasana yang sangat berbeda lima tahun ke depan, sangat jelas perbedaannya. Laura menatap burung-burung yang silih beterbangan di sekitaran komplek perumahan, suara anak-anak sedang bermain di samping rumahnya, karena tepat di sana adalah taman mini milik keluarga yang terbuka untuk umum.

Setetes air mata turun mengenai pipi tirus Laura.  Andai saja keluarganya tidak di isi dengan pertengkaran, mungkin ia akan menjadi anak yang sangat beruntung di dunia.

Bukan seperti ini.

Selalu saja di tuntut menjadi sempurna dan melebihi orang lain. Harus terbiasa memakai dres, sedangkan Laura sendiri lebih suka memakai celana jeans yang sangat nyaman.

Terlahir di keluarga yang selalu menuntut ini-itu membuat Laura sendiri menjadi gadis pembully di sekolahnya. Entah berapa kali orang tuanya marah karena ia telah membully dengan cara sadis.

Namun, entah kenapa melakukan hal itu, membuat Laura sedikit tenang atas apa yang ia lakukan. Laura kembali masuk, kemungkinan besok ia harus pergi ke sekolah, walau seharusnya ia bukan anak SMA lagi.

"Langit gak selamanya akan mendung."

Kata-kata yang selalu Laura ucapkan saat suasana di dalam hatinya sedang gundah.

Mungkin ia lebih baik berada di tahun sekarang, tahun dimana Laura belum masuk penjara karena suatu perkara. Namun, apa perkara itu akan terulang lagi.

Laura harap, semua itu takkan terjadi lagi. Ia hanya ingin melakukan apa yang seharusnga tidak ia lakukan dulu.

"Alin, apa mungkin dia mangsa gue? Gak seharusnya gue kayak gitu sama dia," gumam Laura. Laura menatap dinding kamar yang penuh foto semua korban bullyannya. Hanya satu yang Laura benci di salah satu foto itu, bahkan ia sendiri tak suka untuk meminta maaf atas apa yang menimpanya.

















..
...





Baca dan komen, Mbak Bro!

MEET YOU AGAIN? (FANTASI-ROMANCE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang