18. Unanimous Decision

30 16 1
                                    

Ujian tahap akhir sudah bisa dihitung dengan jari. Mereka semua berlatih keras agar bisa menuntaskan ujian ini. Bagi mereka,ujian ini adalah lintasan menuju jenjang selanjutnya,sedang bagi dua gadis itu,ujian ini adalah penentu hidupnya.


"AYO!! SEMANGAT ADEK GUE YANG PALING KECE SEDUNIA, YA GIMANA NGGAK KECE SIH?! ORANG ABANGNYA AJA CHANYEOL EXO" Teriak dari pinggir lapangan,seorang Agra Winarki Bagaskara.


"Bisa nggak diem aja!" Fardan yang memang daritadi duduk di samping Agra yang berdiri terusik dengan suara cemengkling milik Agra.


Agra berkacak pinggang, "Suka-suka gue dong! Mulut-mulut gue,ini lapangan juga bukan punya nenek moyang Lo" Sewot Agra lalu meneriaki Via dan Ember yang sedang berlari mengelilingi lapangan. Jika sudah berhadapan dengan sang biang onar satu ini, Fardan memang harus pasrah dan menyerah. Ia tidak akan bisa menandingi ucapan Agra yang sebelas dua belas dengan Lambe Turah.

Via dan Ember tepat berhenti di depan keduanya dengan napas tersengal-sengal. Keringat bercucuran hingga membuat kaos yang dipakai keduanya,yah sedikit terawang(?).

"Udah sesi latihannya, kalian boleh balik" Mereka berdua mengangguk.

"Kak! Boleh pinjem jaketnya nggak?" Tanpa basa-basi Agra langsung meminjamkan jaketnya dan menyampirkannya di bahu Via.

"Ayo!" Agra,Via,dan Ember melangkah meninggalkan Fardan. Baru Lima langkah, Ember merasa ada seseorang yang menariknya ke belakang. Ternyata itu Fardan yang hendak menyampirkan kemeja berwarna biru polos di bahu Ember.

 Ternyata itu Fardan yang hendak menyampirkan kemeja berwarna biru polos di bahu Ember

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

                  (Visual kemejanya)








"Lain kali jangan diem aja, nanti kalo Lo tetep kayak gitu, di lorong sana Lo bakal di cegat oleh anak laki-laki, dan setelahnya...." Bisik Fardan tepat di telinga Ember setelah ia menyampirkan kemejanya.

Ember otomatis mengangguk kaku, ia sedikit bergidik ngeri membayangkan hal-hal yang bakal terjadi dan jangan lupakan, Fardan yang berucap tepat di telinganya,itu membuat ritme jantungnya berdetak tak karuan.


"M_ma_makasih" Ember lalu berjalan dengan cepat menyusul Agra dan Via yang tadi mendahuluinya. Dan Fardan hanya terdiam di tempat melihat punggung Ember yang semakin menjauh dari pandangannya.


"Gue nggak yakin bisa ngelakuin itu" Monolognya sebelum pergi dari lapangan tersebut untuk menemui Sir.







*******








Fardan kini berada di perpustakaan berhadapan dengan lelaki paruh baya.

"Sir, apa yang ingin Anda bicarakan?" Tanya Fardan yang sedari tadi hanya diam melihat Sir yang membaca buku tebal dengan kacamata bulat miliknya.

Sir menutup bukunya lalu membenarkan posisi kacamata nya yang sedikit melotot itu, "Begini, aku sudah membicarakan ini dengan Aghasa tempo lalu. Tentang ujian tahap akhir" Bahu Fardan menegang.

"Kamu nggak akan mengikuti ujian itu lagi, tenang saja" Sir sedikit tertawa melihat Fardan yang mode tegang.

"Kamu hanya menjadi proctor untuk dua gadis itu. Aghasa akan mengikuti ujian lagi, dan dia tidak keberatan soal itu. Karena untuk Zahlen,anggotanya lebih sedikit dari Rätsel." Ucap Sir dengan tangan yang yang dilipat di depan dada dan punggung yang menyender pada senderan kursi.


"Setelah itu, hanya mereka yang bisa menentukan takdirnya" Fardan hanya bisa mengangguk. Pikirannya berkecamuk.

"Aku tau kamu mengkhawatirkan salah satunya" Fardan mendongak, terkejut dengan ucapan Sir barusan.

"Tidak perlu terkejut, aku tau segalanya" Fardan berdehem untuk menetralisir kegugupannya.

"Aku hanya memberikan peringatan untukmu, jangan memilih jalan yang salah" Tatapan mata Sir begitu tajam. Menandakan ia tidak main-main dengan ucapannya.


"Itu semua tergantung pada kehendak ku. Jika aku berkehendak yang sangat merugikanmu, jangan menyesal memilihnya" Sir membuka kembali bukunya.

"Kamu boleh pergi" Fardan berdiri lalu membungkukkan badannya dan berjalan menjauh dari Sir.

Saat hendak meraih knop pintu, Fardan berhenti saat mendengar ucapan Sir. "Aku harap kamu bisa menentukan mana yang harus kamu perjuangkan,karena hidup ini hanya sekali" Tanpa disadari, tangan Fardan terkepal kuat sampai menampilkan otot-otot tangannya yang tercetak jelas. Lalu ia melenggang pergi dari sana.








******







Di bawah bentangan malam yang gelap, dua lelaki duduk di bangku kayu dengan ditemani kopi panas. Asap menyembul di permukaan kopi lalu beradu dengan dinginnya udara malam. Tidak ada perbincangan antar keduanya, hanya menikmati udara malam saja. Entah bagaimana dan alasan apa membuat mereka berdua duduk bersama setelah beberapa tahun enggan menyapa bahkan bertatap muka.


"Bisa berdamai gak?" Ucap salah satunya sambil menyeruput kopi yang tadi ia tiup dahulu.

Yang ditanya masih diam, bimbang, dan di sini mereka hanya sebatas salah sangka tanpa tau kejadian sebenarnya.

"Semuanya rekayasa" Ucapnya sambil tersenyum getir.

"Ini udah mau berakhir, Lo nggak mau berjuang sama gue? Gue butuh temen kalau nanti gue mati sebelum sampai tujuan" Lagi-lagi ia kopi itu ia seruput hingga kandas.

"Gue nggak peduli nanti Lo mati atau nggak, seenggaknya urusan gue kelar"

"Gue tau Lo suka Via, bukannya lebih baik kita berjuang bersama-sama"

"Nggak semudah itu Fardan, Lo nggak tau sekejam apa Sir kalo udah menyangkut kayak gini" Ucap Aghasa yang enggan meminum kopinya itu.

"Udah gue bilang, gue nggak takut walaupun nyawa gue jadi taruhannya, gue mau tujuan gue terkabul"

Aghasa tertawa, "Lo bakal mati sebelum tujuan Lo terkabul" Ia berhenti tertawa lalu tersenyum remeh ke arah Fardan.

"Setidaknya sebelum gue mati, gue bisa melihatnya lagi"

"Ini belum berakhir, Lo gunain waktu yang ada untuk menyusun rencana, lainnya biar gue yang urus"

"Lo mau kerja sama bareng gue?"

"Gue sih nggak ikhlas, tapi karena gue kasihan sama Lo, ya gue terima aja" Aghasa berdiri dari duduknya diikuti oleh Fardan.

"Kita nggak akan jadi korban seperti tragedi sebelumnya. Gue jamin itu" Setelahnya Aghasa melenggang pergi meninggalkan Fardan yang hanya menatap kosong ke langit.

"Ini yang harus gue perjuangin, nggak peduli apa konsekuensinya"


'Bahkan nyawa gue sekalipun' Batinnya.































Hello~
Lama tak jumpa!
Nunggu lama nggak nih?
Vote,komen ditunggu teman!!!

Memory is True Light : Eternal Story'✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang