Aida Rais

757 66 2
                                    

"Sudah pulang, Da?” Aida melebarkan daun pintu.

“Assalammualaikum.” Laki-laki itu masuk tanpa menoleh pada Aida.

“Waalaikummusalam.” Aida menutup pintu kembali.

Rais langsung masuk ke kamarnya. Aida pun melakukan hal yang sama. Perempuan yang selalu terlihat alami tanpa polesan apa-apa itu juga masuk ke kamar Amanda. Ia membuka mukena, melipatnya dan meletakkanya di sandaran kursi belajar Amanda. Setelah itu ia kembali keluar menuju dapur. Ia membuat goreng telur bulat yang diberi cabe.

Rendang dan goreng belut masih tersedia. Rendang telah dipanaskannya tadi pagi. Goreng belut yang kemarin dimasukkannya ke dalam kulkas, juga dipanaskannya beberapa menit dengan api kecil di atas Teflon. Setelah itu, ia memasak sayur buncis dan wortel. Karena hanya tinggal itu sayuran yang tersedia di kulkas.

Aida menghidangkan semua masakan di atas meja. Baru saja ia selesai menata semuanya di meja makan, Bu Ani datang dengan baju yang sudah basah sampai ke pinggang.

“Uni masak apa?”

“Sayur, Bu.”

“Kenapa nggak nunggu Ibu dulu?”

“Nggak apa-apa, Bu. Kita kerja sama aja, Bu.” Aida tersenyum tulus. Bu Ani menarik napas dalam.
 
“Aku ke kamar dulu, Bu. Siap-siap mau zuhur.”

“Iya, Uni. Silakan.”

Aida berjalan menuju kamar Amanda seraya meilirik pintu kamar Rais yang tertutup rapat. Sampai di kamar, azan zuhur berkumandang. Aida langsung masuk kamar mandi untuk berwudu.
Selesai wudu dan memakai mukena, Aida dikejutkan dengan pintu kamar yang dibuka tiba-tiba.

“Uni, apa kabar?!” Amanda berdiri di ambang pintu dengan tangan mengembang. Gadis tinggi semampai itu langsung memeluk Aida.

“Alhamdulillah, baik. Kamu datang sama siapa?” Aida melongok ke luar kamar. ia merasa cemas jika Bundo Rasuna dan Bapak Djamaris juga ikut serta dengan Amanda. Sementara ia tidur terpisah dengan Rais.

“Aku dengan Uda Arsyad. Tadi dijemput ke Lubuk Buayo, karena travelnya mau antar penumpang yang lain dulu.”

“Oh. Ya, udah, shalat cepat. Habis itu kita makan. Aku udah masak banyak tadi.”

“Siap, Uni. Jadi lapar.” Amanda meletakkan tas ranselnya dan bergegas masuk kamar mandi. Aida melangkah ke luar kamar menuju ruang shalat. Ia shalat zuhur di ruangan berwarna putih bersih itu. Karpet tebal warna coklat terhampar memenuhi seluruh lantai. Sebuah kaligrafi dari kayu jati berisi untaian ayat kursi tergantung di dinding sebelah barat.

Selesai shalat zuhur dan shalat sunah, Aida kembali ke kamar. ternyata Amanda juga telah selesai shalat. Aida mengganti mukenanya dengan jibab instan warna milo.

“Ayo!” Aida mengajak Amanda ke luar.

“Oke, Uni.” Amanda menurut. Amanda mengekori Aida dari belakang.

“Panggil dulu Uda Rais dan Uda Arsyad.” Aida memberikan intruksi.

“Siap, Uni.” Amanda pun menuju kamar Rais. Setelah mengetuk pintu kamar udanya itu, Rais keluar dengan wajah kusut khas orang baru bangun tidur.

“Kapan datang?” Rais menyisir rambutnya dengan jari-jari tangan.

“Barusan. Ayo, makan siang kata Uni.” Amanda menarik tangan Rais.

“Uda shalat zuhur dulu.”

“Ya, azan udah dari tadi, belum juga shalat.”

“Uda tertidur tadi.”

“Oke, kami tunggu di meja makan, ya.” Amanda pun berlalu dari hadapan Rais. Lalu gadis cantik itu menuju kamar Arsyad dan melakukan hal yang sama. tetapi, tidak ada jawaban.

“Uda Arsyad ke masjid, Dek.” Bu Ani memberikan informasi.

“Oh, belum pulang, ya, Bu?” Amanda berjalan menuju meja makan.

“Paling bentar lagi, Dek.” Bu Ani menjawab seraya berlalu menuju halaman belakang.

“Gimana, Uni? Kerasan tinggal di sini?” Amanda mencomot kerupuk udang. Ternyata sepeninggal Aida shalat tadi, Bu Ani menggoreng kerupuk udang.

“Alhamdulillah, betah.” Aida tersenyum. Perempuan itu sedang mengisi gelas dengan air putih.

Setelah semua tersedia, nasi, piring, air minum dan tentu juga lauk, Aida ikut duduk di samping Amanda.

“Bagaimana kabar orang di kampung?”

“Baik, Uni. Bundo dan Ayah sehat. Mak Ina dan Pak Etek Muis juga sehat. Mereka semua titip salam buat Uni.”

“Waalaikummusalam.”  Hati Aida senang mendengar kabar dari Amanda.

“Wah, makan besar nih.” Tiba-tiba Arsyad sudah berada di hadapan mereka.

“Ih, Uda, masuk nggak ngucapin salam.” Amanda mencibir.

“Sudah tiga kali Uda ngucapin salam, tapi, nggak ada yang menjawab.” Arsyad mengambil tempat duduk.

Amanda terkikik.

“Iya, kah? Kami lagi asyik cerita.”

“Cerita apa? Ceritain Uda, ya?” Arsyad melirik Aida dengan tatapan mata yang tidak pernah berubah. Aida menunduk. Sedari dulu laki-laki itu selalu menatapnya seperti itu. Lembut dan dalam. Membuat desiran halus di dadanya kembali berirama.

“Geer.” Amanda kembali mencibir. Arsyad terbahak. Ia tertawa untuk menyembunyikan perasaannya.

“Kamu kapan sampai, Arsyad?” Rias yang baru sampai di meja makan, langsung bertanya pada Arsyad.

“Sudah dua hari.”

“Oh.” Rais menjawab singkat.

“Mari kita makan.” Amanda berucap dengan penuh semangat.

“Gimana dengan ponselnya, Aida? Sudah bisa menggunakannya?” Tiba-tiba Arsyad bertanya pada Aida. Aida mengangkat wajahnya dan melirik pada Rais dengan perasaan tidak enak. Laki-laki itu ternyata juga sedang melihat ke arah dia.

“Sudah paham sedikit-sedikit, Uda.” Aida menjawab dengan dada bergemuruh.

“Kamu punya ponsel? Kemarin waktu aku tanyakan, katanya nggak punya?” Rais menatap Aida dengan tatapan tajam.

“Dua hari lalu dia memang belum punya ponsel. Tetapi, dua hari lalu juga aku memberikan ponsel kepada dia. Nggak mungkin di zaman sekarang orang nggak punya ponsel.” Arsyad berucap dengan sinis. Wajah Rais langsung memerah.

“Kalian makan duluan. Aku ada perlu.” Rais berdiri dengan kasar dan meninggalkan ruang makan dengan langkah lebar. Arsyad dan Amanda saling pandang. Ada apa dengan uda mereka yang biasanya selalu cuek itu.

Sementara Aida meremas jemari tangannya dengan perasaan bingung. Ia ingin menyusul Rais dan mengatakan kalau ponsel itu bukan gratis, tetapi, dibelinya dengan harga yang memang agak murah.

Bersambung ....

Ajari Aku CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang