Ponsel untuk Aida

834 66 2
                                    

Untuk beberapa saat suasana di meja makan menjadi hening. Arsyad terlihat sudah menyendok nasinya.

“Ayo, Un, kita makan.” Amanda menepuk lembut pundak Aida.

“Eh, iya.” Aida tersadar. Aida mendesah lirih. Hatinya tidak tenang mengingat sikap Rais yang tiba-tiba pergi meninggalkan meja makan.

“Bentar, ya. Uni liat Uda Rais dulu. Takutnya Uda belum makan apa-apa dari pagi.” Aida bangkit dan meninggalkan meja makan tanpa menunggu jawaban dari Amanda. Amanda mengangkat bahu. Pernikahan ternyata serumit itu. Sementara Arsyad menatap kepergian Aida dengan hati perih. Aida ternyata benar-benar telah menerima kehadiran Rais sebagai suami.

Sampai di depan pintu kamar Rais, Aida mengumpulkan segenap keberanian sebelum akhirnya mengetuk pintu kamar yang tertutup rapat itu.

“Siapa?” Terdengar sahutan dari dalam kamar. Aida menarik napas dalam. Lalu dengan tangan gemetar memutar gagang pintu. Perempuan itu melangkah masuk dengan kaki yang terasa begitu berat. Rais yang sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur terlihat kaget melihat kedatangan Aida.

“Uda, maaf. Tentang ponsel itu, sebenarnya aku mengembalikan uangnya kepada Uda Arsyad. Aku nggak menerimanya secara cuma-cuma.”

“Hai, aku nggak peduli apakah kamu membelinya kepada Arsyad atau menerimanya secara cuma-cuma. Lakukan apapun yang ingin kamu lakukan.”

Aida yang sedari masuk tadi hanya menunduk kini mengangkat wajahnya dan menatap Rais dengan mata yang terasa panas. Kali ini hatinya benar-benar berdarah. Rasanya amat perih.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Aida berbalik dan melangkah keluar dari kamar Rais. Tetapi, ia tidak menuju ruang makan. Ia kembali ke kamar Amanda. Sampai di kamar, tidak dapat lagi ditahannya air mata. Ia menangis terisak di atas kasur. Aida tidak mengerti, mengapa Rais terlihat begitu membencinya. Kalau boleh jujur, ia juga tidak menginginkan semua ini terjadi. Sekalipun ia tidak pernah bermimpi apalagi berharap menikah dengan laki-laki itu.

Amanda dan Arsyad yang telah selesai makan, merasa heran karena Aida tidak kunjung kembali. Amanda menyusul Aida ke kamarnya. Arsyad mengikuti dari belakang. Begitu pintu dibuka, Amanda dan Arsyad sama-sama mendengar suara tangis Aida. Amanda masuk dan duduk di pinggir tempat tidur. Sementara Arsyad mengepalkan tangan.

Laki-laki itu berbalik dan berjalan tergesa menuju kamar Rais. Dibukanya pintu kamar abangnya itu dengan kasar.

“Jika Uda membencinya, lepaskan dia. Aku yang akan melindunginya. Jangan menyakitinya terus menerus.”

Rais mengangkat wajahnya dengan kaget.

“Kamu menyukainya?”

“Bagaimana perasaanku, itu tidak penting.”

Rais turun dari tempat tidur.

“Kalau kamu bisa meyakinkan Bundo, silakan. Aku tidak bisa menjamin bisa bersikap baik kepadanya. Karena aku tidak menyukainya.”

“Aku pastikan suatu saat Uda akan menyesal dengan ucapan Uda hari ini.”

Arsyad berbalik dan meninggalkan kamar Rais dengan langkah lebar. Hatinya benar-benar terasa panas. Selama ini, sebagai adik, ia selalu menghormati udanya itu. Tetapi, sikap Rais sejak hari pertama menikahi Aida sudah membuat ia merasa sakit hati. Arsyad tahu, jika Rais selalu mengabaikan Aida. Apalagi sekarang ia melihat sendiri jika mereka tidak tidur satu kamar. Arsyad semakin yakin jika Rais tidak memperlakukan Aida dengan baik.

Sementara Amanda yang duduk di pinggir tempat tidur tidak tahu harus melakukan apa. Aida masih membenamkan wajahnya  di bantal.

“Uni, sudah. Jangan menangis lagi. Uda Rais kan memang seperti itu. Keras dan kaku. Dia tidak seperti Uda Arsyad yang baik hati.” Amanda mengusap pundak Aida dengan lembut.

Ajari Aku CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang