Ponsel untuk Aida 2

1.3K 95 8
                                    

Rais melangkah ke luar kamar dengan membawa ponsel tersebut. Meski ada rasa sayang melepas ponsel seri terbaru itu, tetapi, apa yang dilakukan Arsyad benar-benar menampar wajahnya sebagai seorang laki-laki. Walau bagaimana pun, sebagai seorang kakak, seorang suami dan yang terpenting sebagai seorang laki-laki Minang, ia tidak boleh merendahkan harga dirinya di hadaoan adik-adik dan perempuan yang telah menjadi istrinya itu.

Baru saja sampai di luar kamar, terlihat Amanda dan Aida sedang melangkah menuju pintu depan. Masing-masing sudah terlihat berpakaian rapi.

“Kalian mau ke mana?” Rais menatap Amanda dan Aida bergantian. Aida hanya menunduk tidak membalas tatapan Rais.

“Kami mau jalan-jalan, Da, keliling Kota Padang. Terus mau main ke pantai menyaksikan sunset.” Amanda menggandengan tangan Aida.

“Oh, berdua aja?”

“Iya, cuma Uda Arsyad mau ikut juga katanya. Tapi, Uni nggak mau pergi kalau Uda Arsyad iku dengan kami. Jadinya, ya, kami pergi berdua. Aku pinjam mobil Uda, ya?”

“Oh, ya, udah. Kuncinya di kamar, ambil aja.”

“Oke, bentar, ya, Un.” Amanda melepaskan genggaman tangannya dan melesat menuju kamar Rais.

“Ini ponselnya, kamu boleh pakai.” Rais mengulurkan ponsel di tangannya pada Aida. Aida mengangkat wajahnya dengan kaget.

“Tapi, itu ponsel baru. Uang aku nggak akan cukup untuk menggantinya.” Aida berucap dengan polosnya. Wajah Rais langsung memerah mendengar ucapan Aida.

“Kamu itu, ya, memang nggak bisa menghargai niat baik orang.” Rais berucap dengan kesal dan meletakkan ponsel yang masih berada dalam kotaknya itu di atas meja ruang tamu. Lalu dengan gerakan kasar laki-laki itu berbalik melangkah lebar menuju kamarnya. Aida terpana, ternyata dia salah bicara lagi.
“Ada apa?” Amanda yang baru keluar dari kamar Rais menatap raut keruh wajah Aida dengan heran.

“Eh, nggak ada. Itu Uda Rais ngasih ponsel yang dijanjikannya tadi.” Aida menunjuk kotak ponsel di atas meja tamu.

“Wah, ponsel keren ini. Nanti kita foto-foto pakai kamera ini, pasti hasilnya cantik.” Amanda langsung mengambil kotak ponsel itu dari atas meja dengan wajah semringah. Aida menarik napas panjang.

“Ayo, Un. Kita jalan.” Amanda kembali menggandeng tangan Aida. Berdua mereka melangkah ke luar rumah menuju garasi. Aida bergegas membuka pagar begitu Amanda masuk ke dalam mobil. Setelah mobil mundur dan ke luar dari gerbang pagar, Aida menutup gerbang pagar kembali. Lalu setelah itu bergegas naik ke mobil. 

Mobil meninggalkan jalan perumahan dan masuk ke jalan raya Kota Padang. Mata Aida langsung menikmati setiap sisi Kota Padang. Jalannya tidak terlalu lebar, tetapi, kendraan juga tidak terlalu padat. Bis kota dan oplet (angkutan kota) menjadi pemandangan yang cukup menarik. Karena kedua mobil tambang tersebut dicat dengan warna-warna yang unik, terutama penggunaan stikernya yang terlihat begitu ramai dan norak.

Suara dentuman musik dari kedua angkutan umum tersebut terdengar sampai ke dalam mobil yang diduduki oleh Aida.
Satu hal yang khas juga, yang tidak ditemui Aida di kampungnya adalah jalur kereta api yang mengular di pinggir sebelah kiri jalan. Dan sekian lama berkendara, akhirnya Aida melihat juga kendraan panjang berwarna hitam itu lewat dengan mengeluarkan suara puputnya.

Amanda senang melihat Aida begitu menikmati semua pemandangan yang mereka lewati. Kota Padang sebenarnya tidak terlalu besar. Bangunan-bangunan rukonya juga tidak banyak perubahan dari tahun ke tahun. Tetapi, kotanya terlihat asri oleh pohon-pohon pelindung yang tumbuh di sepanjang jalan.

Amanda membelokkan mobil ke arah Khatib Sulaiman. Di jalan yang ditumbuhi pohon-pohon pelindung besar ini, ditempati oleh berbagai kantor pemerintahan maupun swasta. Mulai dari lembaga kursus, Universitas Swasta, bank, hotel, kantor Telekomunikasi, Kantor Pos, sampai kantor Gubernur.

Ajari Aku CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang