Dua minggu yang lalu hari ulang tahunku. Akhirnya hari itu datang juga. Kami tidak merayakannya dengan balon-balon dan semua kemeriahan ulang tahun pada umumnya. Umurku sudah 23 tahun sekarang. Tak ada yang spesial kecuali semua orang yang mengelilingiku dengan kasih sayang.
Kami berkumpul di halaman belakang rumahku. Ada ibu, Bang Rusli, Kak Ika, Bulan, Kale, dan juga Zafran. Hanya itu-itu saja, segelintir orang yang kupercayai. Tidak ada yang mengenakan pakaian formal dan indah, semuanya biasa-biasa saja. Aku ingat sekali, bahkan Bang Rusli hanya mengenakan kaus hitam dan celana pendek andalannya.
Aku mendapat kalung dari ibu. Semacam kalung yang bisa dibuka dan ada foto di dalamnya—aku yakin tak ada diantara kalian yang tidak tahu. Sebuah senyuman tipis langsung muncul begitu saja pada wajahku saat aku pertama kali membuka dan melihat ada foto keluargaku disana. Ibu yang sedang tersenyum lebar sambil menggendongku yang saat itu masih bayi. Ada bapak yang berdiri di samping ibu dengan bahagia, menggandeng tangan Kak Ika yang menjilat permen loli dengan polosnya.
Aku juga mendapat sebuah jam tangan dari Kale. Sebuah jam tangan yang begitu kau lihat kau langsung bisa menyimpulkan bahwa itu barang mewah. Kale bocah kaya, tentu saja hadiah yang diberikannya padaku tak murah.
Bang Rusli memberikanku bunga matahari, lengkap dengan potnya yang cukup cantik—tapi ia memasangkan pita biru di potnya kali ini. Entah dia paham warna atau tidak,
"Sssttt," Bang Rusli meletakkan telunjuknya di depan bibirku yang terbuka ingin menyuarakan protes. "Aku tahu, aku tahu. Kau pasti akan bertanya kenapa aku memilih pita biru ketimbang pita oranye, merah, atau hijau, kan?" aku pun menutup mulutku dan mengangguk. Ia menyilangkan tangannya.
"Warna kesukaan kau, hijau, kan?" aku kembali mengangguk. "Bunga matahari kuning, pitaku biru, biru dan kuning kalau kau campur, jadi warna apa?" aku terdiam. "Hijau!" ia bertepuk tangan dan menepuk-nepuk dadanya sambil tertawa dengan bangga.
Kak Ika menuntunku ke halaman belakang saat semua orang sedang asyik mengobrol dan menikmati kudapan di ruang tengah. Ia menunjukkan padaku sebuah kolam ikan kecil yang dipinggirnya terdapat hiasan batu-batuan. Aku selalu ingin memiliki kolam ikan sendiri dari dulu. Saat aku masih kecil, orang tua Bulan selalu mengajak aku dan Bulan duduk di dekat kolam ikan mereka dan berkisah tentang banyak hal. Lalu aku mengutarakan keinginanku itu pada ibu dan bapak—yang juga didengar Kak Ika. Tapi, mereka tidak punya cukup uang dan kami harus menunda keinginanku itu. Sampai akhirnya di ulang tahunku yang ke-23, Kak Ika memberikannya.
"Kapan kau mulai membangun kolam ikan ini, kak?" tanyaku.
"Sekitar, satu bulan yang lalu?" mulutku terbuka dan mataku membelalak secara tak sengaja.
"Hahaha, tak perlu terkejut. Aku menyuruh Rusli menggali tanah belakang ketika kau tak di rumah. Kau sering tak pulang, kan? Tidur di rumah Kale atau bahkan di jalanan. Kebiasaan burukmu itu, bahkan saat kau pulang penampilanmu persis pengemis, aku tak kenal. Kau juga jarang mengunjungi halaman belakang, hampir tak pernah seingatku. Sikap tak acuhmu itu berhasil membantuku. Terdengar mustahil, kan?"
Aku hanya bisa mengangguk. Bagaimana bisa selama hampir satu bulan aku tak mengetahui apa yang terjadi di rumahku sendiri. Aku ingat, setelah aku lulus dan menganggur selama beberapa bulan, Kak Ika selalu mengunci pintu yang mengarah ke halaman belakang. Jendelanya juga selalu tertutup ketika aku sedang di rumah.
"Tapi, bukankah satu bulan waktu yang terlalu lama hanya untuk membangun sebuah kolam ikan kecil?"
"Hei," Kak Ika menjitak kepalaku. "Kami harus melakukan ini diam-diam, agar kau tak tahu dan tak curiga. Aku dan Rusli bahkan bekerja sama dengan Ibu. Berterima kasihlah padaku."
Bulan, ia memberiku sebuah buku catatan. Entah apa tujuannya. Aku tak gemar menuangkan semua keluh kesah yang kurasakan pada tulisan. Dan Bulan tahu itu. Dia memang cukup unik. Terkadang aku merasa dia merahasiakan sesuatu dariku, jadi ia memberikan hal yang tak terduga padaku.
Ah, Zafran? Ia memberikanku sebuah kecupan manis di pipi sebagai hadiah.
***
Aku menerima cukup banyak hadiah selama satu tahun terakhir. Semenjak kolam ikan yang dibuatkan Kak Ika untukku sudah jadi, hampir tiap hari aku duduk disampingnya sembari menikmati secangkir kopi panas. Melihat ikan-ikan kecil berenang kesana kemari, selalu menghampiri bila aku menuang makanan mereka ke air.
Akhir-akhir ini, aku merasa sangat aneh. Aku sering kehilangan barang-barangku, apapun itu. Pernah suatu hari aku melaporkan kunci rumah yang hilang pada Bang Rusli. Sorenya, ia menemukan benda itu berada di pinggir bak mandi. Padahal selama benda itu hilang, aku sudah menuduh banyak orang telah mengambilnya.
Aku juga merasa penglihatanku mulai memburuk. Aku tak mampu membaca koran kalau tak menggunakan kacamata—jadi Kak Ika membuatkanku minum jus wortel setiap hari.
Keadaan Bulan menurutku semakin memburuk. Aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi padanya, tapi aku tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhnya. Kulitnya memucat, Bulan memang memiliki kulit putih pucat yang bersih, tapi tentu saja kau pasti bisa membedakan mana putih yang sehat dan tidak. Ia seperti vampir, bahkan warna kulitnya hampir seputih kertas. Tubuhnya juga melemah. Nafsu makannya hilang.
Sebelum semua ini terjadi, ia selalu mengajakku makan karena dia lapar setiap saat, sungguh. Tapi sekarang, justru aku yang merasakan kebalikannya.
"Ada sesuatu di dalam tubuhmu, An," Ujarku saat kami sedang duduk-duduk di halaman belakang rumahku. Ia menoleh, menatapku keheranan. "Kulitmu memucat, lihat," aku meraih tangannya yang sedang memegang es krim. "Memangnya orang tuamu pasangan vampir?"
Bulan tertawa, lama sekali. Membuat es krim yang dipegangnya meleleh.
"Bagaimana kau tahu?" ia kembali melahap es krimnya hingga tak bersisa. "Wah, identitasku terbongkar."
"Aku tidak sedang bergurau." aku memalingkan pandangan dan beranjak mendekati kolam ikan.
"Bum!"
"Hm?"
"Aku pakai krim pemutih, tahu!"
Aku sempat menoleh dan kembali fokus melempar makanan ikan ke permukaan air. "Bohong." lalu aku mulai membersihkan kotoran yang mengapung di permukaan air.
"Ah, ketahuan lagi."
Aku bisa mendengar langkah kakinya yang mendekat. Ia duduk di sebelahku, di atas bebatuan. Ujung mataku melihat dirinya yang sedang memainkan air dengan tangannya. Aku tersenyum kecil dan memperhatikannya. Dia memang Bulanku, yang selalu tampak cantik dengan segala keluguannya.
"Kenapa melihatku seperti itu? Rindu, ya?"
Aku berdiri dan melemparkan saringan ikan ke sampingnya.
"Bantu aku lah."
***
Hari sudah gelap, Bulan sudah kembali ke rumahnya. Dan aku disini, merenung sendirian. Ditemani suara jangkrik di luar sana. Waktu menunjukkan pukul 10 malam, hampir semua orang di rumah ini sudah terlelap. Kecuali Kak Ika, biasanya ia membaca atau menjahit.
Tanganku meraih buku catatan bersampul coklat dengan tulisan 'memories' di depannya, pemberian Bulan. Sudah dua minggu aku membiarkan buku ini tergeletak diatas meja belajar hingga berdebu. Aku sama sekali tak tertarik untuk menuangkan keluh kesahku pada sebuah buku yang nantinya hanya akan menjadi kenangan, membuat siapapun yang membukanya sedih saat aku sudah pergi. Aku tak ingin orang lain sedih ketika mengingat diriku, aku ingin mereka mengingat bagaimana hidupku, dan mengambil contoh dari semua hal baik yang telah kulakukan.
Aku membuka lembar pertama dan keningku berkerut secara otomatis.
Kutebak, sudah seminggu lebih kau baru membuka ini, ya tidak? Haha, selamat datang, Bum. Kau pasti bertanya mengapa aku memberimu buku catatan. Tulis saja apapun yang terjadi di hidupmu, setiap hari justru lebih baik. Turuti saja apa yang kukatakan, kau akan menyesal nanti kalau tidak. Serius, hehe. Ya sudah, semoga suka!
14 Januari 2001, Satelitmu
Aku tersenyum simpul, lalu mengambil pena dan mulai menyoretkan tinta.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
BUMI
Teen Fiction"Bum, aku ingin pelihara singa." "Kenapa?" "Karena singa kuat, dia bisa melindungiku kapanpun dan di manapun. Tapi singa juga bisa tampak lucu, rambutnya yang lebat itu bisa aku pegang atau bahkan mungkin aku bisa dibawanya berlari di atas tubuh bes...