prolog

12 2 0
                                    

Aku menghirup angin sore yang menerpa wajah. Langit hari ini sedang baik. Tak hujan seperti hari-hari sebelumnya. Justru cerah menampakkan matahari yang sedang bertengger di tempatnya.

Aku datang lagi. Menghampiri yang tak akan kembali. Membiarkan otakku memutar semua memori.

Mungkin aku akan segera menyusulnya. Aku akan menetap disini suatu saat nanti. Menemaninya berbincang ditemani matahari yang menurun di ufuk barat. Atau sekadar duduk menatap kehidupan dunia.

Hari ini hari Rabu, tanggal 13 Januari 2010. Aku duduk di sampingnya. Mulai mengingat semua kenangan yang tersisa.

***

"Hai! Apa kabar?"

Aku menoleh. Terganggu dengan sapaannya yang cukup klise. Siapa pula dia, muncul tiba-tiba dari angin yang lewat? Aku berdecak dan kembali menatap kertas di depanku. Tugas kuliah ini harus berakhir hari ini. Kepalaku dibuat pusing olehnya.

Dia membenarkan duduknya. Duduk dengan posisi yang lebih santai. Tadi dia memajukan tubuhnya saat menyapaku. Sebenarnya aku tak suka saat aku tak dipedulikan, jadi aku selalu berusaha peduli pada orang lain agar mereka melakukan hal yang sama. Tapi pengecualian untuk sekarang. Kepalaku pening tak terhingga.

"Aku Bulan, ingat?"

Aku memberinya tatapan 'hah?'.

"Rumah bercat hijau, si bocah berkacamata, ingat?"

Aku memberinya tatapan 'hah?' untuk kedua kali.

Dia memutar matanya.

"Kau memang sudah tua, Bum. Ya sudah kalau tidak ingat. Aku tak mungkin membuang-buang waktuku disini hanya untuk mengingatkanmu. Aku pergi dulu."

Dia pergi. Dan aku masih belum paham dengan apa yang dikatakannya. Aneh sekali makhluk di bumi akhir-akhir ini.

***

Tugasku selesai. Setelah tepat lima jam aku duduk disini sendiri. Menulis tanpa henti. Mual aku melihat tulisanku yang makin lama makin seperti cacing kremi.

"Hei, Ben."

Seorang pria menepuk bahuku. Dia tersenyum kecil. Tentu saja kubalas dengan senyuman yang langsung pudar begitu dia melemparkan kunci mobilnya padaku. Lalu menyuruhku berjalan mengikutinya.

Kami sampai di parkiran. Dia terus berjalan tanpa menoleh ke belakang—setidaknya memastikan apakah aku masih ada. Aku bisa kabur begitu saja kalau aku mau. Berhubung hari ini aku sedang baik, jadi aku tak melakukannya.

"Ben! Buka pintunya, lah. Bagaimana aku masuk kalau tak kau buka?"

Aku tergopoh-gopoh menyusulnya. Lalu ia tersenyum lebar. Kepalanya muncul dari balik pintu sebelum ia benar-benar menutupnya. Dan berkata,

"Setirkan aku ya."

***

BUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang