1

6 2 0
                                    

Namanya Rusli. Dia kakak iparku. Mungkin dia orang paling narsis satu kampung. Kemana-mana ia selalu menaiki mobil keren miliknya dan tak lupa, kacamata hitam yang selalu ia taruh di saku pakaiannya.

Dia bahkan tidak pintar—setidaknya itu yang kutahu. Tapi semua wanita di kampungku—termasuk kakak perempuanku, yang sekarang istrinya—terpikat dengan pesonanya. Padahal kalau ditelaah lebih jauh lagi, aku bagaikan paus dan dia adalah protozoa.

Dia menikah dengan kakak perempuanku tahun dua tahun lalu. Dan sekarang sudah dikaruniai seorang anak laki-laki yang semoga saja kedepannya tidak tumbuh seperti bapaknya.

***

"Kenapa harus aku lagi yang jadi supir? Aku bahkan tak punya SIM." Ujarku kesal padanya yang sedang asik makan apel di kursi belakang.

Dia mendekatkan tubuhnya pada kursi kemudi.

"Abang kau ini capek, Ben. Masa begitu saja kau tak tahu."

"Memangnya Abang ada kerjaan apa di rumah? Bukannya hanya tiduran? Membantu Kak Ika mengurus Zafran saja tak pernah. Semoga nanti Zafran tidak tumbuh besar seperti bapaknya."

"Enak kali kau bicara. Perhatikan saja jalanan di depan kau itu."

Aku mendengus sebal.

Sudah tiga hari aku dijemputnya. Tapi selalu aku yang menyetir.

Aku menginjak rem secara tiba-tiba. Membuat tubuh Bang Rusli yang sedang tiduran di jok belakang jatuh. Dia mengaduh, lalu aku keluar mobil tanpa bicara.

"Hei, Ben! Kau kabur?"

Aku bisa mendengar suaranya dari dalam mobil. Biar saja orang itu menyetir sendiri. Aku tak ingin menginjak pedal gas lagi.

Suasana kampung kami tetap sama seperti dulu saat aku masih suka menerbangkan layangan. Tetap asri. Tak ada yang berubah sama sekali kecuali gedung sekolah yang makin hari makin diperbarui. Baguslah.

Saat itu aku umur tujuh tahun. Gedung sekolah belum sebagus sekarang. Toilet sekolahku dulu baunya luar biasa. Tak banyak orang yang bersedia bekerja sebagai tukang bersih-bersih sekolah. Upahnya sedikit sekali.

Tapi sekarang, gedungnya bahkan sudah berubah. Dicat ulang, dibangun gedung perpustakaan baru, diberi lapangan, dan lain-lain.

***

"Bum?"

Seorang wanita muncul tiba-tiba dari belakangku. Aku menoleh dan berhenti sejenak.

"Wah, kita memang ditakdirkan untuk kembali bertemu." dia berjalan mengiringiku. Dialah perempuan yang tadi menemuiku. Dan sekarang kembali bertemu denganku di jalanan.

"Bagaimana? Sudah ingat aku? Apa masih butuh waktu?" tanyanya.

Langkahku terhenti. Dia memperhatikanku—aku tak menatapnya langsung, tapi ujung mataku bisa melihat gerak-geriknya. Aku menolehkan tubuhku, dan sekarang aku menghadapnya.

"Jujur, aku sama sekali tak mengingatmu. Mungkin bahkan tak mengenalmu. Siapa kau, di mana rumahmu, bagaimana kau tahu aku, aku sama sekali tak peduli." jawabku.

Dia terdiam. Lalu dia beralih menatap tanganku.

"Kau tahu, Bum? Itu dariku. Aku yang membuatkannya untukmu."

Dia meraih tangan kananku dan menaruh tangannya di sebelah tanganku.

Gelang yang sama. Sama persis. Inisial B ada di keduanya. Tapi aku masih tak bisa mengingatnya. Mungkinkah dia kawan kecilku?

BUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang