5

3 0 0
                                    

Aku terduduk di depan meja belajar, dengan pena di tangan kananku dan gelang di tangan kiriku. Sembari memainkan inisial B yang ada di gelang milikku, aku berpikir lama sekali. Apa yang sebaiknya kutulis lagi di buku ini? Aku hanya mendapatkan satu halaman kemarin, bahkan aku tidak menulis kisah. Seperti sebuah perkenalan di awal cerita.

Kalau begini caranya, aku ingin waktu berjalan cepat. Agar aku tahu apa yang harus kutulis tanpa berpikir keras seperti mengerjakan esai. Sekarang hari Sabtu, Kak Ika tidak pergi ke tokonya. Kau tahu? Aku masih menganggur. Sejujurnya aku tidak suka seperti ini, berdiam diri di rumah tanpa melakukan apa-apa. Hanya sesekali keluar dan menghirup udara segar.

Bulan tidak datang. Aku tidak tahu kenapa. Tapi tak masalah, dengan ketidakhadirannya, aku mampu menulis keseharianku dengan leluasa. Aku berencana merahasiakan hal ini darinya—kalau kau tanya kenapa, ini sederhana, aku malu, bung.

Aku meletakkan gelang dan pena yang daritadi kupegang ke atas meja. Kakiku melangkah membawaku ke depan jendela. Berdiri menatapi dedaunan yang terhembus angin pagi.

"Haa-i," aku menoleh, mendapati Kak Ika yang sudah duduk di ujung kasurku. Suara sapaannya terdengar sangat ceria. Aku membalikkan badan dan duduk di tepian jendela.

"Kenapa?"

"Antar aku ke toko, dong,"

"Aku dapat imbalan apa?"

Kak Ika menatapku sinis. "Roti isi." lalu ia pergi meninggalkanku.

Tanganku tergerak untuk mengambil buku catatan dari Bulan dan sebuah pena. Saat aku tiba di ruang tengah, Kak Ika sudah duduk menungguku dengan tenang.

***

Kali ini Kak Ika tak membiarkanku menyetir—aku belum punya SIM, kawan. Tapi bukan itu satu-satunya alasan Kak Ika tak mengijinkanku menjadi supirnya. Katanya, ada sesuatu di dalam tubuhku yang membuatku tidak dapat dipercaya untuk melakukan satu hal dengan baik. Tak tahu apa itu.

Kami memakirkan mobil di depan toko kue Kak Ika yang di depannya bertuliskan 'OPEN'. Aku tak ikut masuk dengan alasan sakit perut, aku tahu Kak Ika tak percaya—mana mungkin ia mampu kubodohi. Tapi ia membiarkanku menunggu di mobil.

Aku membuka-buka majalah Kak Ika dan menemukan sepatu mungil Zafran dibaliknya. Lucu sekali. Kak Ika bilang, ia ingin Zafran mempunyai adik perempuan. Sebagaimana Kak Ika ingin adik perempuan dulu, tapi justru aku yang terlahir ke dunia. Tadi aku sempat bertanya mengapa ia tidak mengajak Zafran,

"Apa guna Rusli kalau begitu?" Kak Ika mengatakan itu tepat di depan Bang Rusli. Aku tertawa, melihat Bang Rusli yang hanya bisa terdiam dengan Zafran di pangkuannya.

Kak Ika kembali dengan sebuah kotak di tangannya. Ia mengetuk kaca mobil dan menunjukkan kotaknya. "Kue mangkok!"

Kami belum melanjutkan pergi ke tujuan berikutnya. Kak Ika mengajakku makan kue mangkok di dalam mobil saja.

"Bum," aku mendongakkan kepala. "Apa kau merasa sakit?" aku tak menjawab apapun, hanya menaikkan sebelah alisku. Kak Ika membenarkan posisi duduknya.

"Begini, aku merasa ada yang aneh denganmu, bukankah begitu? Kau mulai sulit mengingat arah, bahkan ke kampusmu. Aku pernah menemukan pulpen di dalam pot bunga, aku yakin itu ulahmu. Kenapa begitu? Karena meskipun Rusli terkesan bodoh dan tak berguna, ia tak akan meletakkan pulpen di dalam pot bunga. Singkatnya, berapa umurmu sekarang?"

"23."

"Tepat! Bagaimana mungkin seorang yang masih sangat muda sudah sebegitu pikunnya?"

"Intinya?"

"Ayo periksa."

Aku memutar mata dan meletakkan satu gigit terakhir kue mangkokku di atas tempat tisu. Lalu kulepas sepatuku dan pindah ke kursi belakang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 19, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang