15

5.5K 1.9K 282
                                    

Semalaman aku tidak tidur. Mengelilingi jalanan lengang tanpa tujuan. Tahu ini tidak mudah bagi Jingga. Karena kebohonganku sangat besar. Dia tidak salah, aku dan masa laluku yang salah. Perempuan dari keluarga baik-baik mana yang bisa menerima? Dia pasti tengah menyesal menerima tawaran pernikahan dariku. Mungkin juga menyesali pertemuan kami. Malam terasa sunyi. Biasanya disaat seperti ini aku sudah terlelap sambil memeluk Jingga. Trauma akan hidup sendirian dan takut kehilangan Jingga menghantui pikiranku.

Kuputar radio, sebuah lagu lawas terdengar.

Akhirnya, kumenemukanmu. Saat hati ini mulai merapuh.

Akhirnya kumenemukanmu. Saat raga ini ingin berlabuh.

Kata-kata dari lagu itu mencerminkan diriku saat ini. Disaat aku sampai diujung lelah, kutemukan Jingga. Aku hidup tenang dan bahagia. Menikmati hari yang tak ingin berakhir. Sayang tidak lama. Tubuhku mulai lelah setelah beberapa hari tidak tidur. Tapi bukan itu hal utama, masalahku adalah tidak bisa tidur. Kehilangan mama, dan kini bisa saja kehilangan Jingga dan kasih sayang keluarganya.

Apa yang harus kulakukan untuk mempertahankan? Ke mana lagi harus pergi untuk mencari teman bicara? Apakah aku harus bicara tentang perpisahan dengan Jingga? Tidak—tidak, aku tidak akan pernah membicarakan itu. Seandainya pun dia meminta, aku tidak akan mau mengabulkan. Kubuang pikiran itu jauh-jauh. Pernikahan ini belum lama. Aku pasti masih bisa bertahan. Apapun akan kulakukan.

Kembali kuarahkan mobil pulang. Di sepanjang jalan aku berpikir. Bagaimana kalau Jingga menolak? Bagaimana jika saat sampai Jingga sudah menyusun barang-barangnya? Apa yang harus kukatakan? Tak sadar, aku sudah tiba di depan rumah. Sedikit tenang karena mobilnya masih terparkir di sana. Aku tidak berani masuk. benar- benar takut jika ada koper yang sudah penuh terisi. Hampir pukul lima pagi, saat tirai terbuka. Mata kami bertemu. Kulihat dia masih mengenakan piyama dengan rambut diikat seadanya. Rasanya ingin menangis saat tahu dia masih bertahan. Harapanku seketika muncul.

Jingga membuka jendela tapi tidak membuka pintu. Baru sadar kalau aku membawa kunci rumah. Bergegas turun dari mobil dan masuk ke dalam. Kuambil kunci mobil Jingga dan kupanaskan mesinnya. Saat aku tiba di dapur dia membuatkan segelas susu hangat dan roti. Ini saja aku sudah bersyukur, kumakan tanpa berkata apa-apa. Mungkin dia belum ingin bicara denganku. Setidaknya dia masih tinggal di sini. Selesai sarapan aku masuk ke kamar. Kembali lega karena tidak ada koper ataupun tas besar. Kubuka lemari, pakaiannya masih ada. Biarlah dia marah atau kecewa. Asalkan jangan pergi. Aku tidak akan punya alasan untuk memintanya pulang kembali.

Aku segera mandi, saat selesai, Jingga sudah menunggu. Aku bersiap-siap mengantarnya. Meski masih takut kalau dia meninggalkanku. Kukenakan kemeja putih dan celana panjang berwarna hitam. Selesai berpakaian, kutunggu dia di luar. Seperti biasa kumasukkan semua tas dan bekalnya ke dalam mobil. Tak lama kami berangkat.

***

Aku diam sepanjang jalan. Rey juga tidak bicara apapun. Jangankan saat kami punya masalah seperti ini. Dihari biasapun dia irit bicara. Jadi apa yang kuharapkan?

"Sampai kapan kamu akan mengantarku?" tanyaku akhirnya.

"Sampai kamu yakin kalau Anton tidak datang mengganggu."

"Dia tidak pernah muncul lagi."

"Kamu mau sendiri?"

"Dari pada kamu berangkat kepagian."

"Aku tidak masalah, yang penting kamu aman."

Aku diam, sampai akhirnya ingat tentang Naina.

"Waktu itu aku ketemu mantan kamu di supermarket. Dia menanyakan apakah aku tahu kamu di mana. Aku seperti orang bego di depannya."

ANTARA AKU, KAMU DAN MANTAN KITA /SUDAH TERSEDIA DI PLAY BOOK/OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang