2

6.3K 1.6K 91
                                    

Kutatap wajah Anton yang sejak tadi gelisah. Tidak biasanya ia seperti ini. Apalagi jika kami punya waktu untuk bertemu. Dia baru saja menyelesaikan S2-nya di Aussie. Dan ini pertama kali kami bertemu sejak kepulangannya dua hari yang lalu. Pada awalnya aku mengira akan mendapat tatapan rindu. Tapi tampaknya aku salah. Entahlah, sepertinya ia tidak menginginkanku.

"Maaf, Jingga. Aku tidak bisa meneruskan hubungan ini."

Akhirnya kalimat itu terdengar dan sukses membuatku mematung. Kutatap matanya yang tampak serius. Ini bukan becanda, kan? Atau dia sengaja menggodaku?

"Maksud kamu?"

"Aku ingin kita putus."

"Bagaimana bisa? Kamu nggak pernah ngomong apa-apa sebelumnya. Bahkan waktu kamu berangkat dan aku meminta kita break, kamu menolak. Berkali-kali aku tanya apakah kamu memiliki seseorang yang disukai di sana. Jawaban kamu, nggak ada. Lalu kenapa tiba-tiba bisa begini?" Teriakku panik.

"Aku berpikir untuk fokus pada karierku dulu. Setidaknya aku akan bekerja serius selama dua tahun lagi. Dan kamu pasti sudah lelah menunggu. Aku terlalu lama menggantung hubungan ini."

Aku terdiam, kenapa tiba-tiba seperti ini? Aku tahu orang tuanya tidak ingin kami menikah cepat karena selama ini dia adalah tulang punggung keluarga. Kemana janji-janjinya dulu?

"Ton, kita sudah pacaran empat tahun. Keluargaku juga tahu siapa kamu. Aku akan menunggu kalau kamu mau berkarier dulu. Apakah kantor kamu yang baru melarang untuk menikah?"

Anton menggeleng cepat. "Aku hanya tidak ingin memintamu menunggu lagi. Kamu perempuan, dan sudah berusia dua puluh tujuh. Maaf, aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita. Biarkan aku fokus pada satu hal. Mungkin di luar sana ada banyak laki-laki yang menginginkan kamu."

"Lalu selama ini kamu kira yang kulakukan apa?" teriakku penuh emosi. Beruntung kami berada di dalam mobilnya.

"Ngomong kalau kamu suka sama perempuan lain. Aku akan mundur. Tapi bukan begini caranya." Aku mulai menangis. Aku benci pada tubuhku yang tidak sejalan dengan pikiran. Sebenarnya ingin terlihat tegar di depannya. Air mataku sangat memalukan.

Hanya ada gelengan pada wajah Anton. Dia menatap ke arah lain.

"Atau kamu merasa kita tidak sepadan? Dengan aku yang hanya guru TK dan mengajar piano?"

Wajahnya terkejut namun kini aku merasa mengerti alasannya. Seketika rasa marahku bangkit. Aku yang sejak awal menemaninya meniti karier. Lalu sekarang setelah berada digerbang kesuksesan, ia meninggalkan aku. Seketika aku turun dari mobil. Aku muak pada Anton dan tidak akan mengemis. Ia mencampakkan aku setelah sukses. Segera aku turun lalu menyetop taksi yang lewat.

***

"Kamu bilang kemarin Anton sudah kembali dari Aussie. Kok nggak diajak mampir?" tanya mama keesokan paginya. Aku memang cerita kalau Anton sudah pulang. Aku benar-benar bingung harus menjawab apa.

"Kalian kenapa? Baik-baik saja, kan?"

Aku menggeleng lemah. Mama meletakkan cangkirnya.

"Maksud kamu?"

"Kami putus. Anton ingin fokus pada kariernya."

"Kamu yakin tidak ada perempuan lain?"

"Nggak tahu juga. Semua terlalu tiba-tiba."

"Kamu nggak pernah bilang sama mama."

"Nggak tahu ma, buat dia empat tahun ini tidak ada artinya. Aku juga kaget. Tapi mau bagaimana lagi?"

"Kamu mau mama menemuinya?"

"Jangan—jangan, nggak perlu. Semua sudah selesai, pasti akan memalukan kalau mama sampai ikut campur."

ANTARA AKU, KAMU DAN MANTAN KITA /SUDAH TERSEDIA DI PLAY BOOK/OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang