"I'm pregnant."
"Tunggu aku di sana. Jangan kemana-mana!"
Hera tersungkur di lantai, ponselnya tergeletak begitu saja. Tatapannya kosong, otaknya berkecamuk. Tangan kanannya meraba perut, seolah tidak percaya bahwa ada yang tumbuh di sana. Seorang bayi tak berdosa sedang berjuang tumbuh. Tetapi ini salah, dia seharusnya tidak tumbuh setidaknya sampai Hera siap.
Bak sebuah patung, tidak ada pergerakan berarti di sana. Pergerakan naik turun tulang rusuklah yang menandakan ada kehidupan. Semua tetap sama, seperempat jam berlalu Hera masih bersimpuh pada dinginnya lantai granit. Bola matanya tersembunyi dibalik lentiknya bulu disekitar kelopak mata.
"Hera," seru sosok yang sejak tadi ditunggu kemunculannya.
"Lona."
Halona menghampiri Hera, tanpa perlu repot mengajaknya berpindah tempat. Ia bersimpuh di depan Hera, menangkupkan kedua tangan pada wajahnya, memerintahkannya untuk melihat. Dua pasang mata itu kini bertaut, Halona mencari sesuatu pada mata lawannya. Sedikit kebohongan saja maka ia tidak segan melempar apa pun dalam jangkauannya pada Hera.
"Katakan sekali lagi," desaknya.
"Aku hamil Lon."
"Berapa alat yang kau habiskan?"
"Entah aku tidak menghitungnya, semua merek yang kulihat semua aku beli dan gunakan."
Halona melepaskan tangannya, Hera berkata yang sebenarnya. Sahabatnya itu hamil. Halona duduk termenung, pikirannya ikut berkecamuk. Ia tahu apa yang dikhawatirkan Hera ketika menghubunginya. Ia butuh pertolongan, entah dalam bentuk apa.
"Aku akan membantumu mengatakannya pada Ladon. Tenanglah dia pasti akan bertanggung jawab," putus Halona, ia mencari ponsel Hera.
Ya, dia rasa itu yang bisa ia lakukan sebagai langkah awal. Sebagai ayah dari bayi yang ada di perut Hera, Ladon harus tahu. Ladon pria yang bertanggung jawab, dia tidak akan meninggalkan Hera begitu saja.
"Tidak," cegah Hera saat Halona berhasil menemukan di mana ponselnya.
"Siapa ayahnya?" tanya Halona saat menyadari ada hal lain yang tidak Hera katakan.
"I don't know." ucap Hera lirih.
"HERA!" teriak Halona frustasi.
Halona berdiri, berjalan menjauhi Hera. Jendela diharap memberikan sedikit ketenangan pada ketegangan ini. Halona memandang gedung-gedung tinggi di luar sana, mencerna ucapan Hera. Ia kembali mendekati Hera, berkacak pinggang kesal.
"Bagaimana kau bisa kau tidak tahu siapa ayahnya? Kau bukan anak remaja yang baru mengenal sex, kau wanita berpengalaman. Dan kau mengatakan kau tidak tahu. It's not make sense Hera."
"Aku tidak tahu."
Halona kembali duduk di samping Hera, frustasi dengannya.
"Ayo kita ke dokter!"
***
"Delapan minggu Hera. Kau berhasil menghancurkan pernikahan impianku."
"Aku yang hamil bukan kau Lona, pernikahanmu akan baik-baik saja!" teriak Hera tidak terima dengan ucapan Halona.
"Pernikahan itu tidak sempurna jika salah satu bridemaids ku sedang hamil besar. Kau menghancurkan impianku. Entah kenapa kau begitu bodoh, kau sudah berpengalaman, setidaknya pakailah pengaman."
"I did it."
"And how this can happen. Bayi itu mustahil muncul begitu saja. Oh god ... Lantas apa yang akan kau lakukan sekarang. Kau bahkan tidak ingin terikat dalam sebuah hubungan, dan kau hamil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't....! (Complete)
RomanceHera hanya tidak ingin ada lagi perpisahan. Titik. Tidak ada kata yang lainnya. Warning: 18+, untuk pembaca dibawah umur dilarang keras membaca cerita ini. Copyright by: Luminous Lia, December 2016